Mojok
KIRIM ARTIKEL
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
Kirim Artikel
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Beranda Liputan Kampus

Sering Dibilang Bodoh karena Tuli, Kini Membuktikan Diri dengan Menjadi Wisudawan Tunarungu Pertama di Kampusnya

Ahmad Effendi oleh Ahmad Effendi
24 Oktober 2025
A A
wisuda, tuli.MOJOK.CO

Ilustrasi - Mahasiswa Wisuda (Ega Fansuri/Mojok.co)

Bagikan ke WhatsAppBagikan ke TwitterBagikan ke Facebook

Dulu aku sering dikatai bodoh karena aku tuli. Kini aku bisa membuktikan diri.

***

Aku masih bisa merasakan gemetar di ujung jariku saat itu. Selasa (21/10/2025) pagi, semua mata seolah tertuju padaku ketika aku naik ke atas mimbar di Universitas Muhammadiyah Pekajangan Pekalongan (UMPP). 

Ruangan itu penuh, tapi yang kudengar hanyalah kesunyian. Kesunyian yang menemaniku sejak kecil. 

Di sampingku berdiri seorang interpreter bahasa isyarat. Bersamanya, aku akan menyampaikan pidato kelulusan. Ya, aku bakal menjadi mahasiswi tuli pertama yang diwisuda di kampus ini.

“Perkenalkan,” kataku, melalui gerakan tangan yang sudah menjadi bahasaku sehari-hari. 

“Saya Ika Rizki Damayanti. Saya tuli sejak usia satu tahun. Alhamdulillah, hari ini saya bisa lulus D3 Manajemen Informatika UMPP.”

Interpreter di sebelahku menerjemahkan setiap isyarat ke dalam kata-kata. Suaranya menjadi jembatan antara duniaku dan dunia mereka.

Tepuk tangan menggema ketika aku menyelesaikan pidato. Namun, bagiku, semuanya hanya seperti bayangan yang bergetar di udara. Aku tahu mereka bertepuk tangan bukan bukan karena aku mendengarnya, tapi karena aku melihat gerak dan membaca senyum mereka.

wisuda mahasiswa tuli umpp.MOJOK.CO
Ika Rizki Damayanti menjadi mahasiswa tuli pertama yang berhasil wisuda di UMPP (dok. Muhammadiyah)

Tuli sejak usia setahun, tapi SD-SMP di sekolah umum

Sebelum aku sampai di titik ini, ada begitu banyak dinding yang harus aku panjat satu per satu. Aku lahir sebagai anak yang bisa mendengar. Tapi saat berusia satu tahun, demam tinggi datang seperti badai. 

Setelah itu, duniaku menjadi hening. Tak ada lagi tawa, tak ada lagi suara ibu memanggil namaku. Semua orang panik, tapi aku terlalu kecil untuk mengerti bahwa pendengaranku telah hilang selamanya.

Namun, aku bersekolah di SD dan SMP umum, bukan di sekolah luar biasa (SLB). Tidak ada juru bahasa isyarat di sana. Juga tidak ada sistem yang memfasilitasi anak tuli. 

Lantas, apa yang kulakukan? Aku belajar membaca gerak bibir, menebak-nebak maksud orang lewat ekspresi wajah, dan sering kali menulis di kertas hanya untuk mengatakan sesuatu yang sederhana seperti “saya tidak mengerti.”

Semua itu saya lakukan secara autodidak.

Iklan

Sering dikatai bodoh dan dianggap tak normal

Gara-gara kondisiku itu, banyak yang mengira aku anak bodoh. Mereka tak tahu betapa kerasnya aku berusaha memahami dunia yang tidak memberi ruang untukku. 

Ada hari-hari ketika aku pulang sekolah dengan mata bengkak karena menangis. Namun, di tengah kesunyian itu, aku belajar untuk bertahan.

Baru ketika aku masuk SMA luar biasa (SLB), aku menemukan rumah kedua. Di sanalah aku belajar bahasa isyarat–bahasaku sendiri. 

Untuk pertama kalinya dalam hidup, aku bisa bercakap tanpa menebak. Aku bisa tertawa tanpa takut salah paham. Aku bisa merasa “normal” dengan caraku sendiri.

Aku bertemu teman-teman tuli lain yang punya cerita mirip denganku. Kami punya luka yang sama, tapi juga semangat yang sama. Dari situ, aku belajar bahwa menjadi tuli bukan berarti kehilangan suara.

Kami hanya berbicara dengan cara yang berbeda.

Bangkit dan mendirikan komunitas tuli

Tahun 2020, sebelum aku lulus SMA, aku dan beberapa teman mendirikan Komunitas Tuli Muda. Awalnya kami hanya ingin saling berbagi. Tapi kemudian, kami menyadari, bahwa kami ingin dunia tahu kami ada. 

Maka, kami pun mulai membuka kelas bahasa isyarat untuk masyarakat umum. Per hari ini, sudah lima tahun kami melakukannya. Dan, setiap kali melihat orang dengan berusaha memahami isyarat kami, hatiku sangat bahagia..

Selain aktif di komunitas, aku juga sudah tiga tahun menjadi juru bahasa isyarat di program berita Batik TV. Di layar, aku membantu menerjemahkan informasi bagi teman-teman tuli. 

Rasanya seperti menjadi jembatan kecil yang menghubungkan dua dunia.

Sempat ragu kuliah di UMPP

Ketika aku diterima di UMPP, jujur aku sempat ragu. Aku takut tidak akan dipahami, takut tak bisa mengikuti pelajaran tanpa juru bahasa. Namun, perlahan tapi pasti, kampus mulai berubah. 

Dosen-dosen mencoba menyesuaikan cara mengajar mereka, teman-teman membantuku menyalin catatan, dan bahkan pihak kampus mulai menghadirkan interpreter dalam beberapa kegiatan. 

Aku melihat sendiri bagaimana UMPP berusaha menjadi kampus inklusif.

Hari itu di mimbar, aku berkata melalui tangan, “Tuli dan dengar itu sebenarnya sama. Hanya berbeda pilihan bahasa. Seperti orang Indonesia, orang Inggris, dan orang Arab, semuanya berbahasa berbeda, tapi tetap manusia yang sama.”

Aku bisa melihat beberapa orang menunduk, mungkin terharu. Aku tahu mereka mulai mengerti maksudku.

Simbol perjuangan inklusivitas

Setelah pidato itu, banyak orang datang menghampiri. Beberapa mengucapkan selamat, beberapa meminta foto bersama. 

Bagiku, hari wisuda itu bukan sekadar hari kelulusan. Ia adalah simbol kecil bahwa perjuangan untuk inklusivitas sedang diusahakan.

Aku tahu jalan masih panjang. Tapi aku juga tahu, setiap tangan yang bergerak dalam bahasa isyarat, setiap kampus yang mulai membuka ruang, adalah langkah menuju dunia yang lebih adil bagi kami.

Kini, aku berharap UMPP benar-benar menjadi kampus ramah difabel, bukan hanya dalam visi, tapi juga dalam tindakan. Karena inklusif bukan soal belas kasihan, melainkan soal kesempatan yang setara.

Tulisan ini diolah dari tutur cerita Ika Rizki Damayanti yang dimuat dalam laman Muhammadiyah, Rabu (22/10/2025)

Penulis: Ahmad Effendi

Editor: Muchamad Aly Reza

BACA JUGA: Mahasiswa Lain Akrab dengan Kafe dan Bioskop, Saya Anak KIP Kuliah Harus Jualan Semalaman demi Bahagiakan Ortu meski Dicaci Orang atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan

Terakhir diperbarui pada 24 Oktober 2025 oleh

Tags: mahasiswa tuliMuhammadiyahumppuniversitas muhammadiyah pekajangan pekalonganwisuda umpp
Ahmad Effendi

Ahmad Effendi

Reporter Mojok.co

Artikel Terkait

Keindahan Semu di Kaki Gunung Semeru, Lumajang saat erupsi. MOJOK.CO
Aktual

Keindahan Semu di Kaki Gunung Semeru

21 November 2025
Apa yang Terjadi Jika Muhammadiyah Tidak Pernah Ada? MOJOK.CO
Esai

Fakta Menyeramkan Jika Muhammadiyah Tidak Pernah Lahir di Indonesia

5 Oktober 2025
Anggota PSHT Iri dengan Perguruan Tapak Suci yang Dianakemaskan Muhammadiyah karena Merasa Dikucilkan di UMM. MOJOK.CO
Ragam

PSHT Tetap di Hati meski Belajar di Lingkungan Muhammadiyah yang Punya Tapak Suci

16 Juli 2025
Gubernur Jawa Tengah Ahmad Luthfi dalam acara jambore relawan bencana Muhammadiyah. MOJOK.CO
Kilas

Langkah Pemerintah Provinsi Jawa Tengah Mengantisipasi Tingginya Bencana Sepanjang 2025, Mulai dari Banjir hingga Karhutla

27 Juni 2025
Muat Lebih Banyak
Tinggalkan Komentar

Terpopuler Sepekan

Lagu Sendu yang Mengiringi Banjir Bandang Sumatera Barat MOJOK.CO

Lagu Sendu dari Tanah Minang: Hancurnya Jalan Lembah Anai dan Jembatan Kembar Menjadi Kehilangan Besar bagi Masyarakat Sumatera Barat

6 Desember 2025
Pelaku UMKM di sekitar Prambanan mengikuti pelatihan. MOJOK.CO

Senyum Pelaku UMKM di Sekitar Candi Prambanan Saat Belajar Bareng di Pelatihan IDM, Berharap Bisa Naik Kelas dan Berkontribusi Lebih

3 Desember 2025
UB Kampus Liar, UGM Ajari Mahasiswa Gak Omong Kosong MOJOK.CO

Pengalaman Saya Menjadi Mahasiswa yang Jago Bertahan Hidup di UB, lalu Tiba-tiba Menjadi Pintar ketika Kuliah di UGM

9 Desember 2025
Sayonara, JogjaROCKarta.MOJOK.CO

Sayonara, JogjaROCKarta

8 Desember 2025
Kuliah Jurusan Pendidikan Bahasa Mandarin di Unesa. MOJOK.CO

Sulitnya Masuk Jurusan Bahasa Mandarin Unesa, Terbayar usai Lulus dan Kerja di Perusahaan Tiongkok

3 Desember 2025
Lulus S2 dari UI, resign jadi dosen di Jakarta. MOJOK.CO

Lulusan S2 UI Tinggalkan Karier Jadi Dosen di Jakarta, Pilih Jualan Online karena Gajinya Lebih Besar

5 Desember 2025
Summer Sale Banner
Google News
Ikuti mojok.co di Google News
WhatsApp
Ikuti WA Channel Mojok.co
WhatsApp
Ikuti Youtube Channel Mojokdotco
Instagram Twitter TikTok Facebook LinkedIn
Trust Worthy News Mojok  DMCA.com Protection Status

Tentang
Kru
Kirim Artikel
Kontak

Kerjasama
Pedoman Media Siber
Kebijakan Privasi
Laporan Transparansi

PT NARASI AKAL JENAKA
Perum Sukoharjo Indah A8,
Desa Sukoharjo, Ngaglik,
Sleman, D.I. Yogyakarta 55581

[email protected]
+62-851-6282-0147

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.

Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal Mojok
  • Mau Kirim Artikel?

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.