Saat ini, jersey yang melekat dengan pewatakan Ucup yang lusuh, justru menjadi perkembangan fesyen yang patut dilirik. Mojok.Co ngobrol banyak perihal dunia jersey dan kultur suporter bersama dengan ketua komunitas Jogja Jersey Community. Mulai dari filosofi pembentukan komunitas ini hingga kisah diputus pacar karena sering nge-date pakai jersey.
JJC hadir sebagai wadah untuk penggiat sekaligus kolektor jersey di Jogja
Saya janjian dengan Axel Kevin Perdana (24), sebagai ketua sekaligus pengurus Jogja Jersey Community (JJC) di sebuah angkringan di pinggiran Bantul. Jam menujukan pukul satu pagi, itu tandanya laga antara Prancis kontra Jerman (16/06) akan segera dimulai.
Saya datang lebih dulu dengan menggunakan jaket tebal karena Bantul baru saja diguyur hujan pukul sepuluh tadi. Tidak perlu menunggu waktu lama, laki-laki berperawakan tegap dengan potongan cepak datang dengan langkah yang pasti. Derap langkahnya, barangkali bisa didengar oleh seluruh pengunjung angkringan yang malam itu hanya diisi oleh tiga orang, termasuk saya.
Ia biasa dipanggil dengan sebutan coach, dan itu merupakan semacam pembaptisan diri bahwa dirinya merupakan fan fanatik Coach Justin. Coach Axel datang dengan sedikit ngedumel, matanya tegas, tidak terlihat ngantuk—berbeda sekali dengan saya—namun mulutnya terus-terusan mencucu.
Ia menjelaskan sebab ia lama datang, katanya, ia harus memilih jersey yang sesuai dengan hatinya ketika hendak saya wawancara. Kenapa tidak memakai jersey Prancis atau Jerman saja? Katanya, ia tak mau memihak.
Padahal, blaaasss ia nggak telat sama sekali, bahkan ia terbilang tepat waktu. Axel terus ngedumel, seakan nggak suka bahwa saya datang lebih dulu dari dirinya. Dengan menggunakan jersey Barcelona GK edisi 2003-2004, air muka Axel mlotrok sekaligus nampak haus sampai pada akhirnya ia memesan es teh.
Beli jersey, bagi saya pribadi, barangkali bisa dihitung jari berapa kali. Di lemari pakaian saya, ya, hanya beberapa saja yang tersemat dan tergantung di lemari. Sebut saja jersey Japan 2019 edisi spesial Tsubasa Ozora, Liverpool GK edisi 2013-2014, dan beberapa klub Indonesia. “Oh, itu sudah bisa masuk syarat dan prasyarat gabung JJC,” kata Axel, menepuk punggung saya. Entah maksudnya apa, barangkali saya sudah diangkat jadi anggota terbaru JJC. Siapa tahu.
Sambil ngemil sate usus, sorot mata Coach Axel yang bersembunyi di balik kacamata itu berkilat-kilat, mulutnya bersilat-silat. “Komunitas ini mewadahi semua orang yang suka jersey, itu umumnya. Kalau sejarahnya sendiri ya komunitas ini berawal dan diprakarsai oleh kawan-kawan anggota PJKWL atau Pecinta Jersey KW Lokal. Nggak hanya KW, sih, ada juga yang original.”
Axel melanjutkan, dengan nama itu, skopnya terasa amat kecil, yakni penikmat jersey KW belaka. Lantas jadilah JJC yang menggandeng segala genre—terkhusus kecintaan terhadap jersey. Entah itu KW atau ori, Indonesia atau luar negeri, tim bola atau negara. “Seperti motto kami, berbeda-beda tetapi tidak dibedakan,” kata Axel.
Coach Axel berkata bahwa komunitas ini awalnya bergerak dalam media sosial WhatsApp sejak tahun 2015. “Sempat meet-up awal-awal, lantas sempat vakum beberapa waktu pula karena belum ada kepengurusan yang paten. Arah dan tujuan komunitas itu belum jelas. Mau apa dan kegiatan apa, rasanya kurang mantap berhubung kami semua punya kegiatan lain di luar,” jelasnya.
JJC sendiri mulai terlihat sebagai wadah yang jelas sejak tahun 2017. “Meet-up lah kami pada pertengahan tahun 2017 dan di sana kami membentuk sebuah kepengurusan. Inti tiap meet-up itu ya bertukat cerita, layaknya meet-up pada umumnya. Dari cerita kan bisa bermuara ke lain hal semisal trasfer ilmu, kalau cocok ya terjadi transaksi jual-beli.”
Axel menemukan manfaat dari komunitas ini, terkhusus masalah jual-beli. “Kan biasanya kalau beli online harga bisa sesuai tetapi produk bisa saja ada cacatnya, kalau offline barang cocok tapi harga tidak cocok, nah kalau di sini kami bisa nego sesuai kemampuan masing-masing. Pun meminimalisasi penipuan yang terjadi,” pungkasnya.
Es teh pesanan Axel pun datang. Kami memakan nasi kucing yang rasanya begitu eco kala disantap ketika lapar. Teri, sambel, tempe, dan guyonan Axel berupa jersey-jersey yang dibeli dan menurutnya memiliki cerita di baliknya. “There is history behind a jersey,” ujarnya sambil ngunyah bakwan yang karib bersama ludah dalam mulutnya.
“Pakai jersey ini seperti minum es teh, Mas,” katanya sambil nunjuk-nunjuk logo Barcelona di dada. Jakunnya naik turun menikmati racikan es teh khas angkringan ini. Tanpa ditanya mengapa pakai jersey seperti minum es teh, ia langsung menjawab sendiri. “Rasanya jadi segar. Kalau minum es teh menyegarkan dahaga, kalau pakai jersey ini menyegarkan hati dan perasaan.”
Jersey dan mencintai klub kebanggaan
Selembar kain jersey, bagi Coach Axel, adalah hidup dan mati bagi para kolektor. “Bukan bermaksud berlebihan, Mas. Tapi ini perihal bagaimana cara mendapatkan, cara menjaga, dan cara menikmati satu kain jersey,” katanya sambil terus membusungkan dada.
“Dukung sepak bola itu sifatnya universalisme. Ingat, dukung sepak bola. Perihal ngoleksi jersey, itu bukan universalisme,” katanya. Saya terus menggali, apa makna universalisme baginya? Coach Axel berkata, sesuatu yang merekatkan, yang membuat dirimu menggilai sepak bola. Dan jersey, baginya, hanya salah satu faktor dari universalisme.
Mari kita lari menuju pendapat beberapa ahli. “Suporter sepak bola di Indonesia berani bertelanjang dada, entah kondisi hatinya bagaimana, ketika timnya berhasil menciptakan gol,” begitu sekiranya yang dikatakan oleh Antony Sutton dalam Sepakbola: The Indonesian Way of Life.
Lebih jauh lagi, buku itu adalah kisah perjalanan blio selama memutari Indonesia, menyambangi stadion demi stadion, dan menggambarkan betapa fanatiknya suporter sepak bola di Indonesia. Universalisme sepak bola—terkhusus Indonesia—bagi Sutton, lebih ke gairah.
Itu kata Sutton, beda lagi dengan Zen RS. Katanya dalam artikel Rabun Dekat dalam Budaya Menonton Sepakbola via PanditFootball. “Sepakbola adalah permainan global, tapi cara menikmatinya bisa sangat lokal. Pendek kata: ada universalisme dalam sepakbola, tapi ada relativisme dalam cara menikmati sepakbola.”
Universalisme dalam mendukung klub bola favorit, menurut Axel dengan bijak, bukan dari cara ia membeli jersey mahal atau pun murah. “Universalisme dukung klub bola itu ya mencintai tanpa jera. Kalah, menang, imbang, ya tetap mendukung. Perbedaannya amat tipis dengan masokis. Nah, beli jersey itu sebagai bonus dan itung-itung mendukung pemasukan klub tersebut.”
Axel melanjutkan, karena beli jersey itu nggak semua orang mampu. Sekadar beli KW mungkin semua suporter klub bisa, tapi jersey KW nggak menyokong bagi perkembangan finansial klub. “Nah, makanya beli jersey itu bukan bentuk universalisme dukung klub bola favorit, namun loyalitas itu yang harusnya menjadi bentuk universalisme. Toh, mencintai klub bola, tiap manusia punya proses dan ceritanya masing-masing,” katanya.
Diputus pacar saking seringnya pakai jersey
Laga antara Prancis kontra Jerman dimulai. Ah, betapa indahnya nonton sepak bola dengan komentator yang memanjakan telinga dan otak.
Walau laga sudah dimulai, Axel masih terus melantunkan cerita. Saya kaget ketika Axel bilang sering menggunakan jersey ketika kuliah sampai kegiatan karang taruna di desanya. “Lho, kenapa harus malu?” katanya tanpa imbas-imbis.
Axel bahkan sering kali menggunakan jersey ketika presentasi di ruang kuliahnya, “Lha dosennya saja nggak keberatan. Kan aku pakai jersey yang berkerah. Malah dikira polo dan ditanya beli di mana.”
Saking seringnya pakai jersey dalam acara-acara di kampus, desa, maupun sekadar nongki bersama kolega, kawan-kawan Axel merasa aneh semisal ia datang ke sebuah acara nggak memakai jersey.
“Sebegitunya, ya, Coach?” kata saya sambil mendelik, mreteli tepung yang menempel di tempe goreng karena hal itu amat satisfying. Sama satisfying-nya kala melihat Toni Kroos mengirimkan umpan atau N’Golo Kante menjegal lawan-lawannya.
“Tapi ada salah satu bagian seru, sih,” katanya sambil tersenyum. Ah, akhirnya Axel tersenyum. “Cerita yang sedikit memalukan bagi saya, tapi ya biasa aja, sih, sebenarnya,” katanya.
Saya pun bertanya mengapa, nggak butuh waktu lama bagi Coach Axel untuk bercerita. “Karena tampilanku yang menggunakan jersey melulu, aku pernah diputusin oleh pacar.” Saya yang sebenarnya nggak kaget, melihat matanya yang menunggu respon saya pun akhirnya bergeming sekaligus menggeleng-gelengkan kepala.
“Kok ya bisa, ya?” kata saya. Sebagai penambah riuh suasana. Kata Coach Axel, ini semua bermuara karena dua kali nge-date, ia menggunakan jersey melulu. Ia pakai jersey Liverpool Black Edition dalam edisi nge-date kedua sekaligus terakhir. Jersey yang menurutnya membuatnya kelihatan gagah, jebul itu membawa sial.
“Katanya, sih, style yang aku kenakan monoton,” kata Axel. Sebagai tolok ukur baginya, racikan menggunakan jersey apa dan bagaimana yang cocok ketika suasana intim seperti pacaran. Bagi Axel, putus cinta karena jersey, justru membawa sebuah pelajaran yang luar biasa banyaknya perihal menggunakan jersey di suatu acara tertentu.
Axel pun menjelaskan lebih rinci sekaligus memberikan tips. “Pakai jersey di acara-acara tertentu atau intim itu sebenarnya cocok-cocok saja asalkan jersey nggak terlalu riuh, rame, dan banyak sponsor. Soalnya aku ini manusia yang mau datang ke sebuah acara, bukan papan baliho berjalan. Ntar kalau pakai jersey yang sponsornya terlalu ramai, dikiranya aku mobil F1.”
Axel melanjutkan, di acara-acara lain, ia lebih memilih jersey yang desain simpel tetapi elegan. Contohnya seragam Belanda Away untuk Euro 2020 karena warnanya hitam dan berkerah. Jadi dilihat dari jauh, kesannya seperti memakai polo-shirt. Bahkan nggak akan jadi masalah ketika outfit yang smart-casual sekalipun.
Masalah nge-date pun sejatinya itu fine-fine saja pakai jersey. “Banyak dari lawan jenis yang nggak mempermasalahkan dan bahkan suka. Akan ada efek kejut bahwa si pasangan bakal pakai apa. Lalu jadi bahan obrolan perihal cara mendapatkan itu, cerita tim di jersey itu, atau kejadian-kejadian menarik dalam jersey itu. Dating jadi lebih menarik,” tuturnya.
Perihal mantannya yang minta putus, Axel cukup menghargai saja. “Berarti preferensi outfit kami beda, Mas,” ia kembali tersenyum. Sebuah senyum yang nampak seperti parade kekecewaan, namun ia bisa apa?
Menukil makna dari sebuah jersey
Dengan pendar lampu remang angkringan, ia bercerita bahwa selembar kain jersey juga sama seperti mencintai sebuah klub bola, yakni membawa muatan cerita. Ia mencontohkan jersey yang sedang ia gunakan, katanya ia tidak menyangka bahwa ia akan mendapatkan jersey itu.
“Aku cuma mbatin, Mas, wah kayaknya seru kalau punya jersey kiper Barcelona era itu (awal 2000an, red). Namanya beruntung ya, tiba-tiba aja ada anak komunitas yang menawari jersey Barcelona GK 2003-2004. Apalagi harganya cocok, sesuai kantong, ya sudah langsung deal dan transfer,” katanya penuh dengan kenang.
“Ada cinta, pun ada hasrat, kalau dibilang universalisme dukung klub favorit, nggak bisa. Karena beli jersey itu salah satu bentuknya saja, bukan cakupan secara umum,” jelasnya. Coach Axel mengatakan hal tersebut ketika saya tanya perihal jersey apa yang paling mahal di galerinya. Katanya, Barcelona Home edisi 2018-2019 lah jawaranya.
“Mungkin bagi sebagaian orang angka itu cukup biasa saja, Mas. Tapi bagi saya yang saat itu berstatus mahasiswa, wah, angka itu cukup bikin saya untuk makan gorengan plus nasi kecap satu minggu penuh,” candanya sambil mengunyah premis bahan candaannya; sebuah gorengan.
Ketika ditanya mengapa harga tersebut mahal, Coach Axel punya jawaban yang panjang dan detail. “Jersey itu menjadi sejarah buat aku lantaran itu adalah jersey terakhir yang dipakai oleh Andres Iniesta. Dulu aku dapat full-patch, name set, dan MDT (Match Detail Text, seperti penjelasan peristiwa penting pada jersey yang sedang dikenakan, red). Ayolah, demi Andres Iniesta, bahkan berapa pun harganya—saat itu—rasanya ingin aku tebus.”
Axel protes ketika saya bilang akibat jersey, nalar seseorang menjadi limbung. “Nggak juga, sih. Seperti apa yang aku katakan tadi, beli jersey itu bagi yang mampu—dan mau. Aku yang—ketika bersetatus sebagai—mahasiswa saja bisa beli ya karena menabung dan ada keinginan. Jadi ya standar gila masing-masing orang itu berbeda,” tutupnya.
Axel menjelaskan bahwa jersey punya spesifikasi yang berbeda-beda. “Jersey secara garis besar ada 2: original sama fake. Nah, kalau original itu ada 3 secara singkat; player issue, replica—versi yang sering kalian temui di outlet mall itu, lho, sama supporter version—ini versi paling murah, banyak detail yang berbeda dari dua versi di atasnya, ngga banyak ditemui versi ini di Indonesia,” jelasnya.
Laki-laki yang merupakan lulusan Hubungan Internasional UPN itu menambakan. “Bakal panjang jelasinnya karena ada juga P2R. yakni Player to Replica, versi player issue yang memang dijual untuk umum dengan sedikit perbedaan spesifikasi dari yang player issue pemain.”
Bagi Axel, memakai jersey itu berarti membawa sebuah pesan. “Hmm, apa ya, ini lebih ke fesyen statement, sih. Dari sebuah kain, membawa pesan bahwa aku adalah pecinta sepak bola. Dan, ya, akhirnya semua orang akan mengingat saya sebagai itu—Axel si pecinta sepak bola,” katanya.
Dengan percaya diri ia melanjutkan, “That’s how personal branding works,” tutupnya sambil menyeringai ketika Mats Hummels menceploskan bola ke gawang Manuel Neuer. Gol bunuh diri, 1-0 skor untuk Prancis sebagai menutup perbincangan kami malam itu, sekaligus sebagai gol satu-satunya yang tersaji dalam laga tersebut.
BACA JUGA Suara Hati Crossdresser yang Penuh Cinta Pada Tubuhnya Liputan menarik lainnya di rubrik SUSUL.