Bima* (30), seorang pasien di RSUP Dr Sardjito meninggal dunia saat masih antre untuk mendapat penanganan di ICU, Minggu 11 Juli 2021. Sebelum meninggal, ia cerita tentang bagaimana sibuknya nakes terutama perawat yang bekerja keras merawat pasien Covid-19.
Beberapa waktu yang lalu, di media sosial sekitar tangal 4 Juli 2021 sempat beredar poster atas nama RSUP Dr Sardjito yang membutuhkan donasi dan volunteer meliputi tenaga transportasi, kebersihan, pangrukti jenazah. Donasi alat pelindung diri (hazmat, masker, dan sarung tangan). Tabung oksigen dan isinya. Logistik untuk tenaga kesehatan dan penunggu pasien Covid-19 (makanan , vitamin, minuman, hand sanitizer, selimut, keperluan mandi dan lain-lain)
Mojok.co, mencoba menghubungi Kasubag Hukum dan Humas RSUP Dr Sardjito Banu Hermawan untuk mengkonfirmasi hal tersebut. Namun, sejak beberapa hari lalu foto profilenya, berupa tulisan yang isinya beliau tengah menjalani isoman karena terpapar Covid-19. Di situ juga tertulis untuk Mohon WA saja, saya istirahat isoman. Namun, sampai berita ini ditayangkan belum ada konfirmasi dari beliau.
Sebagai orang yang saat ini tengah menempuh pendidikan perawat, membaca tulisan Seorang Pasien yang 12 Jam Tidur di Samping Jenazah, saya bisa merasakan kecamuk seorang perawat di masa pandemi sekarang.
Relawan perawat, bukan lagi cari pengalaman
Mojok.co berkesempatan untuk menghubungi Utami (21), seorang relawan perawat di Rumah Sakit Dr Sardjito melalui sambungan telepon aplikasi Whatsapp. Utami memang belum resmi lulus dari Politeknik Kesehatan yang ada di Yogyakarta. Bahkan, Utami baru beberapa bulan lalu melakukan sidang tugas akhir dan masih mengurus tanda tangan dosen sebagai syarat wisuda. Namun, sudah satu minggu ini Utami turut membantu sebagai relawan perawat di bangsal Covid-19 Rumah Sakit Sardjito.
Awal mula Utami terjun sebagai relawan perawat saat mendapat informasi dari himpunan mahasiswa di kampusnya. “Di grup Whatsapp, ditawarkan ada yang mau jadi relawan perawat nggak di Rumah Sakit Sardjito, satu kelas itu empat puluh delapan orang, yang mendaftar sekitar empat puluh dua,” ungkap Utami bercerita. Setelah mendaftar online, Utami kemudian mengumpulkan berkas dan melakukan tes wawancara.
Hari ini Utami sedang tidak ada jadwal bertugas di rumah sakit, sehingga kami yang memang teman lama memiliki kesempatan bercerita panjang lebar. Kebetulan, saya memang mengenal Utami melalui kegiatan Internationall Nurse Day di Yogyakarta.
Meskipun Utami merupakan relawan perawat, namun tugas yang dilakukan di rumah sakit sudah selayaknya perawat. “Kebetulan, di bangsalku itu ada dua puluh dua tempat tidur, kalau perawatnya sendiri setiap jaga itu ada empat orang,” ungkap Utami menjelaskan. Malah, kata Utami, baru-baru ini beredar kabar bahwa akan ditambah empat tempat tidur baru.
Pembagian kerja perawat dibagi menjadi tiga shift, yaitu shift pagi, shift siang, dan shift malam. Menurut Utami, ia lebih suka jika mendapat shift pagi, pasalnya kegiatan yang dilakukan shift pagi lebih sedikit, tidak perlu mengelompokkan obat, dan pasien tidak terlalu rewel.
“Bedanya kalau shift siang lebih sering pembagian obat, pasien sedang aktif, banyak bel. Nah, kalau malam itu paling susah, karena biasanya jam sembilan malam masuk, oper tugas, kemudian mengumpulkan obat, kemudian cek pasien baru bisa tidur, dan pagi sudah harus memandikan. Padahal, tahu sendiri obat untuk pasien Covid-19 banyak sekali,” ungkap Utami menjelaskan panjang lebar.
Jika dulu, saat awal mendaftar menjadi relawan perawat Utami memiliki niat menambah pengalaman, seiring berjalannya waktu niat itu berubah menjadi menolong orang. “Lihat pasien Covid-19 sebanyak ini, rasanya sudah pasrah banget, sudah nggak berpikir dapat pengalaman, yang penting pasiennya bisa segera sembuh,” ungkap Utami menghela nafas.
Pasalnya, pasien yang masuk di Bangsal Covid-19 silih berganti hampir tanpa henti. Saya pun melontarkan sedikit canda bermaksud membuat Utami tertawa. Biasanya, perawat perempuan senang bertugas di rumah sakit dengan alasan melihat mas-mas ganteng.
Benar saja Utami tertawa. “Boro-boro mau lihat mas ganteng, pasiennya sebagian besar sudah tua semua, kondisinya kesehatannya buruk, malah beberapa punya penyakit bawaan. Pernah ada pasien yang dari namanya terlihat muda, eh ternyata juga sudah tua,” ungkap Utami di sela tawanya. Saya senang membuatnya tertawa, setidaknya bisa jadi pelepas beban dari penatnya bekerja.
Ditanya soal perasaannya merawat pasien Covid-19, Utami mengibaratkan seperti mau pingsan saja. Katanya, saat pertama kali bertugas, Utami merasa sesak nafas dengan APD yang digunakannya. “Awal itu pengap dan panas pakai APD, terus pas di ruang isolasi itu malah sampai gemetar karena harus melalukan tindakan, seperti nyonde pasien. Paling takut lihat pasien meninggal,” ungkap Utami mengingat kegiatannya saat bertugas. Namun, semakin hari, Utami berkata semakin biasa saja.
Melihat pasien meninggal jadi keseharian
Bicara soal pasien meninggal, Utami mengaku tidak lagi ada rasa takut atau patah hati karena pasiennya meninggal. Katanya, sudah terlalu banyak melihat pasien meninggal. Bahkan sehari bisa sampai tiga pasien yang meninggal. “Sudah dua kali menghadapi pasien meninggal di depan mata, yang pertama saat memandikan tiba-tiba meninggal, kedua saat mau mengukur tanda vital ternyata sudah kebiruan dan setelah diperiksa sudah meninggal dari beberapa menit yang lalu,” ungkap Utami dengan nada bicara sendu.
Perawat memang tidak bisa terus menerus di samping pasien. Kata Utami, perawat akan memantau pasien melalui monitor di ruang perawat. “Jadi dari rumah kan pakai baju bebas. Lalu di rumah sakit ganti baju perawat. Nanti memantau dari ruang perawat. Di ruang perawat itu banyak kegiatan, seperti ditanya dokter, ditanya keluarga, mencocokkan obat. Nah, yang masuk ke ruang isolasi itu gantian, karena kalau di dalam ruang isolasi kan lima jam tanpa lepas APD dan harus mandi juga,” ungkap Utami menjelaskan bersemangat.
Hampir setiap hari rasa khawatir menghantui Utami. “Kondisi pasien bukan yang baik-baik saja, tapi benar-benar gawat, di bangsal itu hampir semua pakai oksigen, bahkan diberi aliran paling tinggi pun masih sesak nafas, banyak yang pakai ventilator, dan ada juga yang kondisinya baik tapi tiba-tiba meninggal,” ungkap Utami yang terlihat memberikan seluruh perhatiannya ke pasien.
Terhitung sudah dua orang teman Utami yang menjadi relawan perawat memilih mengundurkan diri. “Jujur kalau dibilang capek iya, karena kan dua sampai tiga kali jaga baru dapat libur. Belum lagi, dari pihak keluarga juga kadang ada yang nggak suka, nggak setuju, tapi kalau aku di Jogja ini indekos, jadi terpisah dengan keluarga,” ungkap Utami yang berasal dari Jawa Tengah.
Menurut Utami, fasilitas yang didapatkan relawan perawat adalah insentif, swab test berkala, dan vaksin, meskipun ia sendiri mengaku baru mendapatkan vaksin pertama. “Rumah Sakit Sardjito memang nggak bisa menolak pasien karena rumah sakit negeri meskipun penuh dan tenaga kesehatannya kewalahan, lebih baik protokol kesehatannya,” katanya. Perawat termasuk nakes yang ada di ujung tombak dan punya risiko tinggi karena berhubungan langsung dengan pasien Covid-19.
“Kamu kapan menyusul jadi relawan perawat?” tanya Utami dengan terkekeh di akhir yang tentu saja akan tertawa jika melihat saya geleng-geleng di balik layar handphone. Saat ini memang mahasiswa kesehatan mulai diterjunkan untuk menjadi relawan Covid-19.
Kebutuhan perawat di masa pandemi
Kepala Bagian Humas Biro Umum dan Protokol Setda DIY, Ditya Nanaryo mengungkapkan, jumlah warga Daerah Istimewa Yogyakarta yang terkonfirmasi positif sampai tanggal 14 Juli 2021 berjumlah 83.075 orang, dinyatakan sudah sembuh dari Covid-19 berjumlah 58.317 orang, dan meninggal berjumlah 2.130 orang.
Berdasarkan data di aplikasi SIRanap, saat ini, hampir seluruh rumah sakit di Daerah Istimewa Yogyakarta penuh. Bahkan, beberapa rumah sakit masih mempunyai daftar antrean pasien, seperti Rumah Sakit Sardjito, Rumah Sakit UGM, Rumah Sakit Panti Rapih, Rumah Sakit Bhayangkara, dan masih banyak lagi.
Perawat merupakan tenaga kesehatan yang selama dua puluh empat jam bersama pasien. Menjadi seorang perawat berarti harus lulus dari pendidikan tinggi yang diakui oleh pemerintah. Perawat dibedakan menjadi dua, yaitu perawat vokasi dan perawat profesi.
Kebutuhan perawat sebagai garda terdepan di masa Pandemi Covid-19 melonjak tinggi. Terlihat dari banyaknya lowongan kerja yang tersebar di sosial media dari berbagai rumah sakit. Berdasarkan data dari kemkes.go.id, jumlah perawat di Indonesia sampai 30 Desember 2020 sebanyak 460.267 orang yang tersebar di tiga puluh empat provinsi.
Di Yogyakarta, dari data Bappeda.jogjaprov.go.id, hingga Juni 2021 tercatat ada 9.478 orang perawat. Jumlah ini menurun dari tahun sebelumnya yang mencapai 9.507 orang perawat. Berdasarkan Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor 34 tahun 2016 tentang Kriteria Daerah Kota/Kabupaten Peduli Hak Asasi Manusia, rasio perawat yang ideal dibandingkan jumlah penduduk adalah 1 : 855.
Sementara di Daerah Istimewa Yogyakarta, pada tahun 2020, perbandingan penduduk menurut Badan Pusat Statistika dan jumlah perawat menurut Kemenkes adalah 1 : 414. artinya dengan jumlah perawat yang mencapai 9.507 sebenarnya mencukupi. Namun, nyatanya dalam kondisi Covid-19 saat ini, perawat tetap kewalahan.
Huda Tri Yudiana, wakil ketua DPRD DIY, seperti dikutip dari rri.id mengungkapkan bahwa perekrutan tenaga kesehatan memang tidak mudah. Sebagai contoh, ada satu rumah sakit yang membuka lowongan sebanyak 200 tenaga kesehatan, namun hanya 80 orang yang bersedia mendaftar. Sisanya, tidak mendaftar karena dilarang oleh keluarga. Padahal Menteri Kesehatan sudah menurunkan standar yang memperbolehkan merekrut tenaga kesehatan tanpa sertifikat di kondisi darurat Pandemi Covid-19.
Mojok.co juga berkesempatan mengobrol dengan Dinda (23), seorang perawat ICU Rumah Sakit Dr Soetarto (DKT) yang baru bekerja selama kurang lebih enam bulan. Sebelum ini, saat menempuh pendidikan di sekolah tinggi keperawatan, Dinda sudah beberapa kali bertugas sebagai perawat magang di rumah sakit.
Menurut Dinda, kondisi tenaga kesehatan, salah satunya perawat, saat ini terbilang berubah hampir seratus delapan puluh derajat. Kalau sibuk dari dulu memang tenaga kesehatan akan selalu sibuk karena pasti selalu ada orang sakit. Tapi, di saat Pandemi Covid-19 ini berubah menjadi memprihatinkan karena sangat sibuk.
“Mulai dari memantau pasien, melakukan pengkajian hampir setiap menit mengingat kondisi pasien dapat berubah secara tiba-tiba, dan jumlah tenaga kesehatan yang lebih sedikit dibanding pasien,” ungkap Dinda yang bisa dihubungi melalui pesan WhatsApp karena jadwal tugasnya yang padat.
“Saya ini seorang perawat, tapi COVID-19 membuat saya jadi seperti penjahat.” https://t.co/cqmE5V7j3g
— Puthut EA (@Puthutea) April 7, 2020
Ketika diberi pertanyaan capek atau tidak, Dinda memang menjawab capek, namun menjadi perawat adalah salah satu bentuk pengabdiannya pada negara. “Sebelum pandemi, bekerja di rumah sakit negeri memang lebih enak dibanding swasta, tapi pasien Covid-19 butuh perawatan ekstra, jadi kalau biasanya tidak ada memandikan pasien hanya mengukur tanda vital, mengganti infus, dipanggil untuk membantu pasien, sekarang ini banyak tugas tambahan yaitu harus memandikan dan memenuhi kebutuhan dasar pasien,” ungkap Dinda menjelaskan tugasnya.
Ruang perawatan ICU selalu penuh membuat Dinda sering kali menjadi kewalahan. “Namanya ICU pasti pengawasan lebih intensif dibanding bangsal, pasiennya pun keluhannya lebih berat,” ungkap Dinda yang sudah mulai terbiasa, bahkan saat membantu pasien menghadapi kematian, walaupun ada rasa sedih terlebih melihat keluarga pasien tidak bisa ikut mendampingi di saat terakhir.
Menurut Dinda, kurang lebih terdapat sepuluh perawat yang menangani Covid-19 di Rumah Sakit Dr Soetarto (DKT) dan ditugaskan secara bergantian sesuai jadwal shift, yaitu pagi, siang, dan malam. Tentu saja, jumlah pasien yang ada akan lebih banyak dari perawat yang bertugas.
“Dua bulan ini pasiennya kebetulan memang membludak, dan untuk menangani pasien nggak mudah, banyak kebutuhan yang kadang sulit dipenuhi, salah satunya oksigen,” tambah Adinda menjelaskan sedikit permasalahan di rumah sakit.
Menurut Adinda, sebagian besar pasien adalah mereka yang lanjut usia. Biasanya, pasien lanjut usia tertular dari keluarganya yang tidak taat protokol kesehatan. Kondisi itu diperparah dengan pasien lanjut usia yang sudah memiliki banyak penyakit bawaan, seperti diabetes melitus, jantung, asma, dan masih banyak lagi.
Tidak jarang, mereka yang positif Covid-19 tidak bisa tertangani dengan maksimal karena kondisi rumah sakit yang kehabisan tempat dan kondisi kesehatan yang memang sudah terlalu parah. “Ayo jaga protokol kesehatan, dan percaya bahwa covid-19 itu ada, kasihan tenaga kesehatan yang berjuang di garda terdepat sudah kewalahan,” pungkas Adinda memberi pesan kepada siapa saja.
BACA JUGA Cerita Perawat di Masa Gawat dan liputan menarik lainnya di Mojok.