Wajah lokalisasi Sarkem atau Pasar Kembang sudah berubah dibandingkan beberapa tahun lalu. Setidaknya ini menurut pengakuan pengunjung yang hampir dua sampai tiga kali seminggu ke sana. Masih meneruskan reportase Jogja Bawah Tanah, kali ini bersama ‘pelanggan’ Sarkem, reporter Mojok merasakan langsung malam panjang di tempat yang dulunya bernama Balokan.
***
Pukul sebelas malam lewat beberapa menit kami tiba di depan gang pintu masuk lokalisasi Sarkem Jogja sisi selatan. Tepat di samping Grand Puri Saron Hotel Malioboro, Jalan Sosrowijayan. Malam itu saya ditemani tiga rekan.
Ketiganya sudah berusia kepala empat sedangkan saya masih dua puluhan. Mereka yang sudah kenyang pengalaman, akan memandu saya mencari kesenangan di Sarkem yang melegenda di Jogja ini.
“Ngisi perut dulu, sebelum masuk,” kata Ramli (43)*. Mengajak kami untuk makan di angkringan terlebih dahulu.
Selain Ramli, dua rekan lain yang menemani saya yakni Deni (42)* dan Joko (45)*. Ketimbang dua rekan yang lain, Ramli memang lebih banyak bicara. Ia yang paling tahu seluk-beluk Sarkem. Lantaran hampir setiap pekan ia kemari.
“Kadang seminggu bisa dua sampai tiga kali,” kata lelaki berbadan kurus ini seraya tertawa.
Mereka menikmati beberapa bungkus nasi kucing di angkringan yang letaknya tak jauh dari pintu masuk gang. Sedangkan saya hanya memesan segelas teh hangat. Sudah makan sebelum berangkat ke sini.
Saat menikmati makan di angkringan, perempuan-perempuan melintas di depan kami. Berjalan ke dalam. Pakaian mereka berwarna-warni. Kebanyakan warna cerah. Ada yang merah, biru, dan warna-warna terang lain.
Sebagian di antara mereka terlihat sudah bersolek rapi. Namun, ada pula yang masih belum berdandan sempurna. Rambut mereka tampak basah. Bahkan belum disisir rapi. Ada yang berjalan sendiri dan ada pula yang bergerombol dua sampai tiga orang bersamaan.
Retribusi di Sarkem Jogja
Jam di tangan saya menunjukkan pukul setengah dua belas. Ramli, Deni, dan Joko telah usai mengganjal perut. Meski teh hangat saya sisa setengah gelas, kami beranjak masuk.
Sebelum menyusuri gang panjang penuh cabang dengan puluhan kamar karaoke serta bilik cinta, terlebih dahulu kami membayar retribusi. Ada sekitar tiga orang yang berjaga di pos ronda serta menarik Rp2.000 untuk setiap pengunjung yang masuk. Kali ini Deni yang inisiatif, ia merogoh dompet mengeluarkan uang Rp10.000 dan membayar tiket masuk kami semua.
Kami masuk. Saya berjalan paling belakang. Berjalan dengan langkah pelan sembari mengedarkan pandangan ke sekitar. Di teras-teras bangunan, para perempuan kebanyakan sedang berdandan. Menebalkan lipstik, memupur bedak, hingga menyisir rambut yang masih berantakan.
Para perempuan di teras, yang sedang tak disibukkan dengan aktivitas merias diri, memperhatikan kami. Tersenyum manja dan satu dua ada yang melambaikan tangannya sembari berucap pelan. Berharap kami bakal jadi pelanggan mereka.
Satu dua lelaki juga menghampiri Ramli yang berjalan paling depan. Seperti menawarkan jasanya. Namun, Ramli tidak terlalu merespons panjang. Sepertinya ia sudah punya destinasi yang jadi langganannya. Ia melanjutkan langkahnya.
Hingga akhirnya kami terhenti di depan sebuah tempat karaoke. Bangunan itu dicat kuning dengan dua atau tiga kamar karaoke. Di terasnya, ada sekitar tujuh hingga delapan perempuan. Sepertinya pilihan Ramli memang tak perlu diragukan.
“Kene wae yo,” ujarnya Ramli yakin. Kami hanya nurut. Apalagi saya yang tak punya pengalaman sama sekali bermain ke sini.
Sulitnya memilih LC di Sarkem Jogja
Rasanya aneh. Selama hampir semenit saya hanya menatap satu persatu perempuan di sini. Tanpa tahu apa yang harus diperbuat. Sedangkan Ramli dan Joko berbincang akrab dengan lelaki yang sepertinya pengelola tempat karaoke ini.
Di tengah kebingungan sambil menatap para perempuan di depan saya dengan canggung. Tiba-tiba saja, Ramli memegang pundak saya.
“Yang muda yang milih duluan. Tunjuk satu mau yang mana,” katanya berbahasa Jawa.
Kaget dan bingung. Saya mundur selangkah sembari bilang kalau saya hanya nurut pilihan mereka. Tapi sejujurnya, ada satu perempuan yang menarik perhatian saya sedari tadi. Ia jadi satu yang paling mencolok dari yang lain.
Periang dan banyak bicara. Rambutnya hitam legam dan tergerai panjang. Tingginya barangkali sekitar 165 cm dengan badan ramping namun berisi. Tapi bukan itu yang membuat saya menatapnya cukup lama. Melainkan senyumnya, manis dengan gigi gingsul melengkapi. Hal yang jarang didapati di sini.
Sekali lagi, Ramli membuyarkan pandangan saya. Ia meyakinkan saya untuk memilih. Tapi saya kembali menolak. Tertawa sambil mempersilahkan mereka yang memilih pemandu lagu atau ladies companion (LC) yang akan dibawa masuk ke ruang karaoke.
Ramli akhirnya sudah lelah meyakinkan saya untuk memilih. Dan benar saja, ia menggandeng masuk perempuan yang sedari tadi menjadi perhatian saya. Ia ternyata sudah jadi langganan Ramli. Pantas saja terlihat begitu akrab. Joko pun membawa satu. Begitu pula Deni. Kami masuk ke kamar karaoke dengan membawa tiga LC.
Ada yang main hati
Begitulah. Setelah memesan minuman, lagu pun disetel kencang. Memekakkan telinga. Minuman ini mengendurkan urat syaraf ketegangan. Kami semua tenggelam dalam ingar bingar dentuman musik dangdut koplo. Selama dua jam.
Saya tentu saja canggung di ruangan itu. Ramli berkali-kali bilang agar saya memeluk LC itu. Ia bukan hanya menyuruh saya memeluk, tapi ia contohkan dengan secara bergantian memeluk LC sambil bernyanyi mesra. Saya hanya tertawa melihatnya.
Jelang akhir durasi karaoke, kami mulai sedikit berbincang. Perempuan bergigi ginsul tadi bernama Sinta (24)* dan berasal dari Mojokerto. Lalu Siwi (26)* dari Kutoarjo, Kabupaten Purworejo dan Dian (24)* dari Lombok.
“Tadi pas kamu di angkringan, aku baru masuk ke dalam,” ucap Siwi sambil mendekatkan mulutnya ke telinga saya. Suara kami nyaris tak terdengar tanpa berteriak lantang lantaran volume musik yang begitu kencang.
Belum genap setahun, Siwi bekerja di Sarkem. Ia mengaku belum berkeluarga dan punya anak. Berbeda dengan dua perempuan lainnya. Sinta ternyata janda yang sudah punya satu anak. Sedangkan Dian, belum punya momongan tapi sudah menikah.
“Suamiku di Lombok,” kata Dian.
Saat ditanya apakah suami dan keluarganya mengetahui, ia hanya tersenyum. Lalu mengalihkan perhatian. Ramli bercerita bahwa banyak di antara LC yang merupakan janda. Beberapa masih ada yang dalam status pernikahan.
“Ada yang suaminya tahu dan memang mengizinkan. Ada juga yang sembunyi-sembunyi,” kata Ramli.
Dua jam telah terlewati. Kami hendak beranjak pergi. Namun, ada sedikit drama di antara Ramli dan Sinta. Perempuan itu, dengan muka cemberut, mengeluh pada sang lelaki.
“Meh neng ndi? Mesti arep ning panggon lione, tho? (Mau ke mana? Pasti mau mampir ke tempat lain, kan?)” ucap Sinta dengan nada kesal.
“Ora-ora. Iki aku ngetut Mas Deni sek mbayari. Ngesuk maneh yo, Sayang (Nggak, aku ngikut Mas Deni, dia yang bayarin. Besok lagi ya, sayang). Ini mau pulang,” jawab Ramli menenangkan.
Di Sarkem Jogja, jangan main hati
Ramli lantas berjalan, tapi Sinta tiba-tiba berdiri mengangkang dan membuat gerakan menghadang dengan tangannya. “Kondone mulih, kok lewat kene. Mesti nggolek lione (Katanya pulang, kok lewat sini, pasti mencari yang lain),” kata Sinta keras dengan wajah cemberut.
Saya, Deni, dan Joko tertawa melihat posesifnya Sinta pada Ramli. Setelah menenangkan Sinta, Ramli mengarahkan kami ke arah selatan menuju pintu keluar. Ia berjalan dengan ragu sambil sesekali menengok ke belakang. Memastikan Sinta sudah tidak mengawasinya lagi dari kejauhan.
Begitulah, di Sarkem atau tempat prostitusi lain, kadang ada relasi spesial antara LC atau PSK dengan pelanggan. Seperti yang terjadi antara Ramli dengan Sinta. Padahal di rumah, Ramli punya keluarga, ada istri dan anak.
“Biasanya ya gitu. Kalau sudah langganan, kami jadi sering WA-nan. Jadi kalau saya mampir ke tempat lain dia sok cemburu,” curhatnya.
Urusan begitu, kadang sampai dibawa ke hati. Tapi lebih sering urusan uang dan relasi antara pemberi jasa dan pelanggan yang terbangun lama. Hal seperti itu kadang membuat Ramli perlu bersiasat.
“Tapi sekali lagi, itu kan hak kita sebagai pelanggan. Mau milih yang mana, bebas,” ucapnya.
Ramli tahu kalau Deni tinggal sendiri. Ia bisa mencarikan LC yang mau tinggal di rumah Deni, biar nggak kesepian. “Matamu!” kata Deni melotot. Kami tertawa, sembari menyusuri gang-gang sempit di Sarkem. Mendekati pintu keluar, tiba-tiba Ramli mengarahkan kami belok ke kanan. Kami menyusuri gang lain untuk kembali menuju utara. Menghindari tempat karaoke Sinta tadi.
Sudut-sudut gang sudah lebih ramai ketimbang tadi. Semakin banyak lelaki yang berlalu lalang. Menatap satu per satu kios yang dilewati. Beragam etnis dan usia kami jumpai. Lelaki paruh baya hingga anak muda. Ada yang Jawa hingga Om-om beretnis Tionghoa. Semuanya berkeliling mencari kesenangan malam ini.
Jongos yang rajin memberi tawaran
Aroma yang menyengat indera penciuman terasa dari setiap losmen yang kami lewati. Bau parfum yang berbeda-beda memenuhi ruang-ruang sempit di kawasan ini. Menguar di udara menusuk hidung setiap pejalan kaki.
Udara terasa lembab. Seperti tidak ada angin yang berembus di sekitar sini. Semua sisi Sarkem telah dipenuhi beton tinggi gedung-gedung. Suara deru kereta dan hiruk pikuk manusia di Stasiun Tugu terasa jauh. Padahal jaraknya hanya sepelemparan batu.
Sesekali kami berhenti di sebuah losmen. Ramli dan Joko berbincang dengan muncikari atau jongos yang jadi perantara antara pelanggan dan pemberi jasa di losmennya. Setiap dari mereka menawarkan keunggulannya masing-masing.
“Rene wae, isih seger-seger,” ujar jongos atau perantara yang menawarkan karaoke. Jongos-jongos itu sebagian besar sudah mengenal Ramli. Begitu juga dengan Ramli. Bagaimana tidak, ia hampir 2 kali seminggu main ke Sarkem.
Ada juga yang menawarkan jasa seks. Saya tidak banyak mendengar perbincangan antara Ramli dengan muncikari perempuan yang beberapa kali ia temui di jalan. Namun yang jelas, malam ini mereka lebih ingin berkaraoke dan minum-minum bersama LC ketimbang berhubungan badan.
Kebutuhan keluarga membuat mereka mencari nafkah di Sarkem
Setelah berkeliling sampai kaki ini terasa pegal. Akhirnya Ramli memutuskan destinasi selanjutnya pada sebuah tempat karaoke. Hanya ada empat LC di terasnya. Sebagian lainnya sedang melayani pelanggan di ruangan.
Saya kembali disuruh memilih. Kali ini, setelah agak rileks dan terbiasa dengan suasana, saya berani memutuskan. Hanya ada sedikit pilihan. Namun, kali ini mudah, dari empat perempuan, dua di antaranya tampak tidak sedang dalam suasana hati yang senang. Tidak mengindahkan kehadiran kami dan hanya terpaku pada ponselnya. Akhirnya saya memilih dua sisanya.
“Bener. Cari LC itu yang penting keliatan enak diajak ngobrol,” kata Joko sambil memegang pundak saya. Membenarkan pilihan yang saya ambil.
Kami lantas masuk ke ruang karaoke. Seorang lelaki membawakan sebotol anggur merah dan meletakannya di sudut meja. Sejurus kemudian beranjak dan menutup pintu dari luar.
Deni meminta dipilihkan lagu-lagunya Padi, grup musik yang beranggotakan Piyu, Fadly, Ari, Rindra, dan Yoyo. Namun, dua LC yang kami pilih bengong di depan papan ketik. Mereka mengaku nggak tahu kalau itu nama band. Dari situ, kami sadar, LC ini bahkan belum lahir saat Padi mengeluarkan album perdananya pada tahun 1999.
Pilih jadi LC karena nggak perlu nge-seks
Telinga saya, tiba-tiba terpaku saat mendengar cara bicara salah seorang LC yang kami bawa ke ruang. Aksen bahasa Jawanya medhok khas ngapak Banyumasan. Saya lalu mengajaknya duduk dan perkenalan.
“Asli Banjarnegara,” kata perempuan Siska* yang berusia 21 tahun ini.
Saya spontan tertawa lantaran asal daerah kami sama. Begitu juga usia, hampir mendekati. Obrolan kami pun mengalir panjang. Bercerita tentang kampung halaman. Sebelumnya ia mengaku bekerja dari satu tempat karaoke ke tempat karaoke lain di Banjarnegara. Sebelum akhirnya hijrah ke Sarkem.
“Sudah setahun di sini,” ucapnya.
Siska mengaku di Jogja pendapatannya jauh lebih banyak ketimbang di daerah asalnya. Semalam, ia bisa mengantongi Rp700.000 hingga Rp1.000.000. Hal itu membuatnya mengaku betah di sini.
“Selain itu jadi LC juga mending. Nggak capek dan nggak harus nge-seks,” ujarnya.
“Aku ya nggak pengen juga nge-seks,” lanjutnya.
Kerja di Sarkem Jogja karena kebutuhan hidup
Di tengah perbincangan, Joko menyodorkan mikrofon dan mengajak Siska berkaraoke bersama. Perempuan itu lalu berdiri. Joko memeluknya dari belakang. Siska bernyanyi lantang. Suaranya cukup enak didengar. Dengan tenang melantunkan nada-nada tinggi lagu Sang Penghibur dari Padi yang direquest oleh Deni. Meski nggak tahu siapa Padi, Siska kerap mendengar lagu ini dibawakan tamu-tamunya.
Tatkala Siska asyik bernyanyi, saya lalu mendekati Dewi (20)*. Perempuan berbadan mungil dengan behel yang melekat di giginya ini berasal dari Batang, Jawa Tengah. Sebelum terjun ke Sarkem, ia sempat merantau ke Cikarang. Kerja menjadi buruh pabrik selama setahun.
Tapi ia merasa pekerjaan itu tak bisa memenuhi kebutuhan hidupnya. Ia punya satu anak balita yang dititipkan bersama orang tuanya di rumah. Hal itu mendorongnya untuk menghasilkan lebih banyak lagi pundi-pundi rupiah. Kebutuhan yang membawanya ke sini.
“Saya ngurusin kebutuhan anak sendiri. Bapaknya nggak jelas. Pergi. Saya yang ngirim duit buat kebutuhan di rumah,” curhatnya.
Saat masih SMA, Dewi hamil. Ia kemudian menikah dengan pacarnya. Namun, pacarnya ternyata tak siap untuk bertanggung jawab. Kemudian pergi meninggalkan Dewi dan anak kecilnya.
Dewi tinggal menyewa kamar kos di luar area Sosrowijayan Kulon. Setiap malam, sekitar jam 10 ia datang ke sini. Baru nanti pulang ketika subuh. Bahkan sesekali setelah matahari bersinar terang. Tergantung banyaknya pelanggan.
Seperti yang diceritakan Ramli, meski kebanyakan masih muda, banyak di antara pekerja di sini yang sudah pernah menikah dan punya anak. Dorongan untuk menghasilkan uang secara cepat membawa mereka ke dunia malam ini.
Alasan lebih banyak tempat karaoke daripada esek-esek di Sarkem
Kami selesai berkaraoke sekitar jam setengah tiga pagi. Semalaman berkeliling, kami melihat wajah Sarkem yang berbeda. Alih-alih penjaja seks, sekarang lebih banyak berkembang tempat-tempat karaoke dengan LC dan minuman beralkohol.
Ramli mengakui kalau beberapa tahun belakangan, Sarkem banyak didatangi pelanggan karena karaokenya. Para LC relatif lebih muda dan menarik minat pelanggan.
“Di sini PSK peminatnya berkurang walaupun masih ada. Peminat anak muda lebih banyak ke karaoke. Alasannya ya nek menurutku karena lewih enom-enom (muda-muda) di karaokean. PSK juga ada yang muda-muda juga sih sekarang. Tapi nggak sebanyak itu,” jelasnya sambil duduk di pinggiran gang usai berkaraoke.
Ketua RW Sosrowijayan Kulon, Sarjono juga membenarkan bahwa saat ini lebih banyak tempat karaoke ketimbang bilik prostitusi di Sarkem. Mulanya, hanya sekadar tape musik untuk bernyanyi biasa. Lama-lama berkembang.
“Ada sekitar 254 perempuan yang bekerja di sini. Kebanyakan ya LC. Sebab satu room saja ada enam sampai tujuh orang. Kalau PSK kan satu rumah paling ada dua sampai tiga saja,” paparnya.
Dari semua pekerja itu, yang benar-benar tinggal dengan menyewa kamar di Sarkem hanya sekitar 90-an orang. Dibatasi sesuai jumlah ruang yang tersedia di sana. Sisanya, tinggal di indekos sekitar kampung ini dan akan datang ketika malam hari.
Selain itu menurut Sarjono, mayoritas pekerja datang dari Jawa Barat. Rumiyati, sosok PSK Sarkem yang legendaris, menurut Sarjono juga dari Jawa Barat. Siapa Rumiyati bisa dibaca ditulisan saya sebelumnya, Mencari Sosok Rumiyati, Legenda PSK Sarkem yang Berani.
Banyak dari Jawa Tengah dan Jawa Timur
Menurut Sarjono, selain Jawa Barat, sebagian juga banyak yang berasal daerah di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Urusan daerah tidak jadi masalah. Hal yang menurutnya perlu diperhatikan adalah usia para pekerja di sini.
“Perlu ada kontrol. Di sini ketat, masuk di bawah umur tentu tidak boleh. Kami screening dulu. Ya paling nggak sembilan belas tahun lah minimal,” paparnya.
Selain screening umur, menurut Sarjono, di sini secara rutin digelar pemeriksaan kesehatan di Sarkem. Tiga bulan sekali ada pengecekan darah untuk mendeteksi HIV-AIDS. Bekerja sama dengan pemerintah daerah beserta LSM, setiap bulan juga ada penyuntikan untuk kesehatan.
Sisi lain tentang Sarkem terlihat saat Ramadan. Di Balai Warga salat tarawih berlangsung berjamaah. Selain warga setempat, banyak perempuan yang bekerja di sana juga turut serta. Balai Warga tempat salat itu sering penuh, sehingga sesekali tarawih berlangsung di musala kecil yang ada di sisi timur Sarkem.
“Kalau Ramadan saya ajak ikut tarawih. Saya bilang, ‘ketimbang lingguhan saja Mbak, mending ikut tarawih di balai’,” katanya tersenyum.
Wajah Sarkem Jogja hari ini
Beberapa tahun terakhir, pendakwah kondang Gus Miftah juga rutin mengisi pengajian di Balai Warga Sarkem itu. Pengajian dilakukan setiap empat puluh hari terakhir. Meski belakangan, sering kosong lantaran pengasuh Pondok Pesantren Ora Aji di Sleman itu sedang sering berkegiatan di Jakarta.
Begitulah wajah Sarkem hari ini. Malam terasa panjang ketika menyusuri gang-gang sempit yang lembab dengan bangunan tinggi yang mengelilingi. Tapi, banyak cerita yang tersimpan di sana. Dan masih banyak lagi sisi gelap dan terang tempat ini yang belum sempat tertuliskan di sini.
*) Nama narasumber kami samarkan untuk menghormati privasi bersangkuntan
Reportase tentang “Sarkem Experience: Malam yang Panjang Bersama LC di Lokalisasi” merupakan tulisan ketiga dari 6 tulisan yang sudah disiapkan untuk liputan Jogja Bawah Tanah yang mengusung tema Sarkem.
Tulisan berikutnya, akan mengulas siapa sosok Sarjono, Ketua RW Sosrowijayan Kulon. Ia sudah menjadi ketua RW di Sarkem sejak tahun 1978.
Reporter: Hammam Izzuddin
Editor: Agung Purwandono