Mojok datang dan mengikuti ritual di Goa Langse, Gunungkidul. Sebuah gua di tepi pantai selatan yang jadi tempat tirakat para caleg, lurah, dan publik figur besar. Bahkan, kuncen atau juru kunci menyebutkan, Jokowi hingga Anies Baswedan pernah menjejakkan kakinya di tempat ini.
***
Goa Langse menyimpan cerita panjang kedekatan manusia dengan alam. Tempat itu menjadi jujugan mereka yang punya hajat besar. Sepanjang perjalanan dan berbincang dengan beberapa sosok penjaga kawasan ini, ada banyak nama yang mereka sebut pernah kemari.
Dua di antara nama besar yang disebut pernah datang adalah Jokowi dan Anies Baswedan. Bahkan konon, Presiden Sukarno, Soeharto dan Jenderal Sudirman pernah ke gua ini Selain itu, banyak nama-nama yang tidak asing di pemberitaan media daring dan televisi. Mereka datang menjelang momen penting dalam hidupnya.
“Biasanya kalau orang terkenal datangnya lewat jam sembilan malam. Ditemani beberapa ajudan saja. Sebelum subuh, mereka sudah pergi,” kata Sagiyanto (75), salah satu kuncen Goa Langse yang saya jumpai.
Saya datang ke Goa Langse bersama seorang rekan bernama Ahmad Zaenudin (35). Sebelumnya, ia pernah datang kemari sehingga bisa memandu perjalanan.
Senin (25/9/2023), kami memulai perjalanan dari Pleret, Bantul menuju Goa Langse terletak di Giricahyo, Purwosari, Gunungkidul. Lokasinya bebeberapa kilometer di sisi timur Pantai Parangtritis.
Kami datang menyesuaikan waktu sakral di tempat ini. Selain malam satu Syura, gua ini banyak dikunjungi pada malam Selasa Kliwon dan Jumat Kliwon.
Perjalanan kami memakan waktu sekitar 45 menit. Setelah melewati jalan menanjak dari Pantai Parangtritis, tibalah kami di persimpangan menuju gua. Jalan yang tadinya beraspal berganti menjadi trek cor-coran yang tidak begitu mulus. Di sekelilingnya banyak pohon jati menjulang tinggi.
Sepanjang jalan cor-coran bergeronjal itu tampak beberapa resort mewah yang menawarkan pemandangan laut. Lalu, jalan semakin sepi sampai akhirnya kami tiba di permukiman terakhir tempat banyak kendaraan terparkir. Dari plat kendaraannya saja tampak pengunjung datang dari berbagai daerah.
Dupa, bunga, dan sosok Mbah Mul yang 35 tahun semedi di Pantai Selatan
Sebelum menempuh rute berat menuju Goa Langse dengan berjalan kaki, saya mencoba mampir dahulu ke sebuah warung di dekat tempat parkir. Mencoba menggali beberapa kisah dari Sajiyem (55), pemilik warung tersebut.
Sambil menyeruput segelas teh panas, saya mendengarkan Sajiyem bercerita tentang para pengunjung. Mereka banyak datang dari berbagai penjuru Indonesia. Ada yang dari Palembang, Medan, Sulawesi, hingga Papua.
“Jadi saya juga jual barang-barang untuk keperluan berdoa. Ada bunga, dupa, sama makanan yang pengunjung butuhkan,” kata Sajiyem.
Makanan bukan hanya dipesan pengunjung untuk dirinya sendiri. Terkadang, ada yang memesan untuk mereka berikan kepada sosok bernama Mbah Mul. Sudah puluhan tahun nama itu menjadi legenda di sekitar Goa Langse, namun Sajiyem tidak tahu nama lengkap sosok tersebut.
“Pokoknya, saya tahunya cuma Mbah Mul. Sudah lebih dari tiga puluh tahun tinggal di sini,” ujarnya.
Mbah Mul datang dan meninggalkan anak istrinya untuk bersemedi di tebing tepi Pantai Selatan. Ia berdiam diri di bawah sebuah batu besar yang letaknya beberapa ratus meter di sisi utara Goa Langse.
Ia meninggalkan istri dan dua anaknya di Grobogan untuk menjalani ritual tersebut. Keluarganya sempat menyusul kemari. Tinggal sekitar satu bulan.
“Tapi akhirnya nggak betah. Mereka pulang ke Grobogan,” kata Sajiyem.
Lelaki itu pun kembali sendirian. Ia tidak pernah beranjak dari lokasi semedi. Untuk makan, ia mengandalkan pemberian pengunjung yang memang sengaja datang untuk menemuinya. Pengunjung itu biasa memesan makanan dari warung milik Sajiyem.
Biasanya, orang yang menemui Mbah Mul merupakan kenalan atau kerabat dari Grobogan. Kadang pula, orang yang memang ingin mendapatkan hal tertentu darinya.
“Misalnya minta nomor. Kalau tembus, nanti biasanya ngirim makanan ke sana,” cetus Sajiyem.
Cerita itu membuat saya penasaran dan ingin menemui sosok Mbah Mul. Namun, Sajiyem mewanti-wanti bahwa jalan menuju tempat semedi itu cukup sulit. Tebing di tepi Pantai Selatan memang punya banyak goa dan titik strategis untuk berdiam diri.
Secuil jejak Jokowi hingga Anies Baswedan di Goa Langse
Sajiyem menyarankan kami untuk berbincang dengan suaminya, Sagiyanto (75) yang merupakan salah satu juru kunci atau kuncen Goa Langse. Kebetulan, lelaki itu berada di rumah seberang, mendata pengunjung yang hendak menuruni tebing.
“Penting ngisi data ini. Jadi kalau ada apa-apa kami tahu, jalannya memang berbahaya,” kata Sagiyanto saat saya hampiri untuk mengisi buku tamu.
Ia bercerita kalau pernah ada orang yang jatuh dari tebing. Lelaki yang saat itu sedang mempersiapkan diri untuk menjadi caleg DPRD di Semarang itu, kata Sagiyanto, meninggal.
Sejurus kemudian, ia bercerita bahwa jelang tahun politik, banyak orang yang hendak mencalonkan diri mulai dari level lurah sampai kepala daerah datang kemari. Berdoa di dalam kegelapan gua.
“Nah itu mobil Kijang itu punya calon lurah dari Blora. Berangkat tadi pagi kayanya sore ini pulang,” ujarnya.
Selain politisi, mereka yang datang bisa juga pegawai yang punya hajat untuk naik pangkat. Bahkan orang tua yang ingin mendoakan anaknya agar bisa lolos tes seleksi Polri dan TNI.
Mereka yang datang cukup umumnya membawa beberapa macam bunga dan dupa. Namun, hal itu biasa berbeda-beda sesuai kebutuhan. Mereka yang datang pun berasal dari beragam latarbelakang agama.
Soal orang yang berkunjung, Sagiyanto bercerita kalau tokoh-tokoh penting di Indonesia pernah datang kemari. Ia menyebut beberapa nama. Mulai dari Suharto, Susilo Bambang Yudoyono, Jokowi, sampai terakhir Anies Baswedan.
“Pak Harto dan SBY itu pejuang. Tentara mereka. Jalan kaki ke sini pas jalannya masih belum mulus begini,” katanya.
Sementara Anies Baswedan, menurutnya datang pada medio 2016-2017 silam. Menjelang Pemilihan Gubernur DKI Jakarta. Ia datang hanya dengan tiga orang pendamping. Datang malam hari dan pulang sebelum fajar mengingsing.
“Sekali saja pas itu. Semalam,” celetuknya.
Saya tentu penasaran untuk menggali lebih lanjut informasi tersebut. Namun, Sagiyanto menyebut buku catatan tamu beberapa tahun lalu sudah tidak jelas keberadaannya lantaran tidak tersimpan rapi.
Berdoa pun butuh perjuangan
Sementara, untuk Jokowi, Sagiyanto menyarankan saya untuk bertanya kepada bapaknya yang juga masih aktif menjadi juru kunci. Lelaki itu ternyata sedang berada di goa.
“Nanti, njenengan bakalan ketemu kok di bawah. Namanya Mbah Setiowiono atau Mbah Slamet,” katanya.
Hari juga semakin sore. Rekan saya, Zaenudin, menyarankan agar kami segera melanjutkan perjalanan. Sebab, trek menurun cukup membahayakan jika dilalui ketika hari mulai gelap.
Kami pun melanjutkan langkah. Kembali melewati hutan pohoh jati. Bedanya, kali ini berjalan kaki.
Mulanya jalan masih landai dan cukup normal. Jalur yang sebenarnya masih bisa dilewati oleh kendaraan roda dua. Sepanjang perjalanan, kami juga berjumpa dengan beberapa orang yang hendak pulang dari ritual.
Kebanyakan orang yang kami jumpai merupakan lelaki usia 40-an ke atas. Namun, tiba-tiba kami berpapasan dengan sesosok lelaki tua. Awalnya kami hanya menyapanya dan lanjut melenggang.
Sejurus kemudian, Zaenudin berujar, “Sebentar. Jangan-jangan itu bapak juru kunci yang dimaksud tadi.”
Saya lalu sadar dan refleksi membalikkan badan lalu mengejar lelaki itu. Benar saja, ternyata itu adalah Mbah Setiowiono. Namun, saat itu ia sedang terburu-buru karena mengantar rombongan pulang.
“Nanti saya turun lagi, Mas,” katanya menenangkan.
Saya pun lega. Perjalanan kami lanjutkan sampai akhirnya tiba di ujung bukit. Jalan menurun dengan kemiringan nyaris 90 derajat membentang di hadapan kami. Saking curamnya, trek ini penuh dengan tangga dari kayu.
“Ternyata buat berdoa saja butuh perjuangan begini,” kelakar Zaenudin sambil menuruni tangga curam.
Perjalanan turun perlu ekstra hati-hati. Saya menyesal karena tak mengindahkan pesan Zaenudin untuk menggunakan celana yang lentur. Belum setengah jalan menurun, bagian lutut celana kargo agak ketat yang saya gunakan sobek. Kanan dan kiri. Jika tidak melangkah dengan perlahan, bagian selangkangan sepertinya menyusul. Dan itu tentu semakin membuat tak nyaman.
Surga kecil yang jauh dari keseraman
Keringat terus mengucur di seluruh badan. Perjalanan menurun, karena trek yang begitu curam, membuat energi saya terkuras banyak.
Namun, panorama yang tersaji di hadapan saya membuat rasa lelah sedikit terurai. Hamparan laut berpadu dengan pendar cahaya sore hari jelang matahari tenggelam terasa syahdu sekali.
Mata saya kadang teralihkan dari jalan. Tetapi dengan segera saya harus kembali fokus menuruni bebatuan sambil berpegangan pada tali yang terjulur di sepanjang trek menurun. Tanpa tali ini, perjalanan sungguh sangat berbahaya.
Sekitar 20 menit menapaki turunan terjal ini, tibalah kami di dataran yang agak landai. Sambil menengok ke atas, saya menyadari bahwa trek yang baru saja terlalui benar-benar curam. Sehingga, mereka yang berdoa kemari tentu punya niat yang besar.
Di tepi laut, ternyata terdapat bangunan padepokan milik Paguyuban Purnomosidi. Sebuah aliran penghayat kepercayaan yang berpusat di Surakarta.
Bukan hanya padepokan, di sebuah pulau kecil yang terhubung lewat jembatan, ada sebuah gazebo bernama Sasono Adhi Roso. Tempat itu sepertinya cukup sakral bagi Paguyuban Purnomosidi. Ada beberapa aturan yang harus dipatuhi pengunjung yang hendak melakukan ritual di titik itu.
Menggali lagi kisah tentang Jokowi dan Anies Baswedan
Setelah melepas lelah beberapa menit sambil menikmati deburan ombak Pantai Selatan, tiba-tiba saja sosok lelaki tua tadi sudah tampak berjalan dari kejauhan. Baru saja Mbah Setiowiono mengantar orang ke atas. Kini sudah turun ke bawah lagi.
Kami pun berbincang di depan muka goa langse. Di sana, ada sekitar empat orang yang juga baru datang untuk melakukan ritual di malam harinya.
“Jadi, gimana tadi kok mau ngajak ngobrol saya?” tanyanya dengan bahasa Jawa.
Saya pun mengutarakan rasa penasaran yang sudah tersimpan sejak tadi. Mbah Setiowiono kemudian menceritakan bahwa Goa Langse sudah jadi tempat untuk tirakat dan semedi sejak lama. Bahkan sejak era para wali songo.
Ia sendiri mengaku pertama kali kesini pada 1961. Pada masa itu, sudah banyak orang yang datang. Padahal, treknya masih begitu menantang tanpa alat bantu seperti tangga dan tali.
Menurut kepercayaan, di tempat inilah Bunda Ratu atau Nyi Roro Kidul kerap datang untuk menjumpai orang yang hendak berdoa. Melalui wasilah Nyi Rodo Kidul, doa kepada Yang Maha Kuasa bisa lebih mudah terijabah.
“Lha Pak Jokowi itu dulu tiga malam di sini saya yang menemani. Dulu itu, sebelum jadi Wali Kota Solo,” cetus Mbah Setiowiono.
Saat saya menanyakan Anies Baswedan, ia berujar, “Ya itu Anies, siapa lagi banyak yang kesini. Pak Harto nggih rumiyin mriki.”
Namun, Mbah Setiowiono lalu beranjak. Ia tidak bisa berlama-lama karena hendak menemani orang untuk masuk ke dalam gua. Setelah itu, ia hendak kembali ke atas bukit sebelum hari benar-benar gelap.
Terlilit utang, mencari jalan keluar di Goa Langse
Saat Mbah Setiowiono sudah beranjak, saya berbincang dengan lelaki bernama Wahyu (52). Ia datang kemari bersama istrinya.
“Saya pertama kali datang bersama istri saat satu sura tahun lalu,” kenangnya. Saat kami berbincang, istrinya sedang salat magrib di muka goa.
Sebelum itu, ia mengaku tidak pernah menjalani ritual dan mendatangi tempat semacam ini. Wahyu mengaku sedang dalam kondisi begitu suram saat pertama datang kemari. Ia terlilit utang yang cukup besar.
Lewat informasi yang ia dapat di internet, akhirnya ia nekat memutuskan kemari. Berkonsultasi dengan juru kunci tentang kondisi yang ia alami.
“Akhirnya dulu pertama kali itu saya di sini selama tiga malam. Sejak sehari sebelum malam satu sura,” ujarnya.
Pada malam pertama, ia mengaku langsung mengalami hal ganjil. Kala itu, ia sedang mencoba bermeditasi di muka gua. Di sekitarnya, sebagian pengunjung lain sudah terlelap.
“Tiba-tiba bruk…. seperti ada benda besar jatuh di sebelah saya,” katanya.
Ia mencoba terus memejamkan mata. Wahyu tak ingin fokusnya terpecah. Namun, beberapa menit berselang, tiba-tiba terdengar suara lain. Suara seseorang yang sedang menyapu dengan sapu lidi.
Tidak berhenti di situ, Wahyu yang masih mencoba tenang mengaku mendengar suara lonceng. Suara itu datang dari arah laut lalu semakin mendekat. Sempat terasa berhenti di sampingnya sebelum akhirnya suara menghilang ke dalam gua.
“Keesokan harinya saya coba tanya ke kuncen apa arti suara yang saya dengar. Ternyata, katanya suara pertama itu tanda kehadiran saya diterima. Kedua tanda bahwa saya harus membersihkan diri. Ketiga, itu kedatangan bunda,” jelasnya.
“Bunda itu Nyi Roro Kidul?” tanya saya penasaran.
“Betul,” jawabnya.
Setelah itu, Wahyu dan istrinya memutuskan untuk rutin datang kemari. Tidak hanya saat satu Sura, tapi juga ketika Selasa dan Jumat Kliwon.
Mengikuti ritual di dalam Goa Langse
Wahyu mengaku, perlahan kondisi finansialnya membaik. Utangnya sedikit demi sedikit terlunasi. Setelah itu, ia datang kemari dengan hajat-hajat lain dalam hidupnya.
“Tentu bukan yang instan. Nggak setelah dari sini terus pulang ada segepok uang di rumah,” kelakarnya.
Ia hanya merasa, tiba-tiba saja kok bisnisnya jadi lancar. Ada saja jalan rezeki untuk menambal utang dan berbagai kebutuhan lain.
Lelaki ini kemudian mengajak saya untuk mengikuti prosesi doa di dalam goa. Menurutnya, biasanya ada dua kali sesi. Pertama setelah magrib hingga sekitar jam sepuluh. Kedua, pada tengah malam hingga jelang subuh.
“Saya di dalam itu paling 60-90 menit. Sisanya saya berdoa dari luar,” katanya.
Wahyu lantas bertanya ke juru kunci lain yang masih berada di sekitar gua. Ternyata ada tiga lelaki yang dianggap juru kunci di sini. Selain Sagiyanto dan Setiowiono, ada pula Mugiyo (52). Sosok terakhir ini juga membuka warung sederhana di dekat goa.
“Waduh Mas. Ternyata harus kalau ikut masuk ke dalam harus punya harapan dan permintaan,” katanya.
Spontan, saya pun menengok Zaenudin yang dari tadi menyimak perbincangan dari sebelah. Ia tertawa. Kami lalu saling berdiskusi soal harapan masing-masing.
Ternyata untuk masuk kami juga harus membawa dupa. Beruntung, Wahyu punya stok lebih dan memberikan masing-masing dari kami tiga dupa. Jumlahnya memang harus ganjil.
“Jangan ambil gambar. Foto cuma boleh dari luar sini,” kata Wahyu mengingatkan.
Zaenudin lalu memasukan kembali ponsel yang tadi hendak ia gunakan untuk merekam ke dalam saku. Kami lalu berjalan pelan menuruni anak tangga di pintu masuk gua. Bagian awal dari Goa Langse cukup luas. Sekitar dua kali lapangan voli.
Air suci penuh doa
Setelah melalui bagian awal yang lapang, kami mulai menapaki tangga menanjak. Di depan, area mulai menyempit dan dikelilingi stalagtit serta stalagmit.
“Isi air dulu,” kata Mugiyo.
Sebelumnya, ia berpesan agar kami membawa botol. Di dalam memang ada mata air yang biasa pengunjung minum.
“Ini airnya seperti zam-zam,” kelakar sang juru kunci.
Setelah air terisi, kami harus berjalan menunduk karena sempitnya area gua. Bau dupa yang menyengat mulai terasa. Asap memenuhi ruangan sempit minim udara ini. Akhirnya kami tiba di bagian ujung sekaligus bagian inti tempat ritual berlangsung.
Saat senter kami arahkan ke ujung, ternyata ada seorang lelaki yang sedang khusuk bersemedi. Wajahnya tampak merah seperti sudah seharian di sini. Menahan kantuk sekaligus lapar.
Tempat ritual ini luasnya hanya setelah dari bagian awal gua. Di sini suara deru ombak sudah tidak terdengar lagi. Sepi dan hanya terdengar percikan air.
Kami mengelilingi sebuah batu yang di atasnya penuh ubo rampe sesaji. Mulai dari bunga, pisang, hingga botol minuman yang sudah terisi air sebelumnya.
“Sekarang senternya matikan semua,” kata Mugiyo. Sejurus kemudian, ia meminta dupa yang sudah kami bawa.
“Pak, titip satu lagi ya. Buat anak yang ujian awal Oktober nanti,” celetuk istri Wahyu sebelum prosesi doa berlangsung.
Mugiyo mengangguk lalu meminta kami duduk bersila dengan posisi nyaman. Dupa pun mulai ia bakar. Mulutnya kemudian merapal bacaan-bacaan yang hanya bisa saya dengar samar-samar. Saya hanya bisa mengenali bagian awal saat ia mengucap ta’awudz.
Suasana menjadi semakin sunyi. Bau dupa semakin menyeruak ke seluruh ruang. Menit demi menit kami lewati.
Setelah lewat lima belas menit, terdengar suara perut keroncongan dari lelaki di sebelah saya. Sial, nyaris saya dan Zaenudin tertawa. Namun, sebisa mungkin kami tahan.
Sekitar setengah jam kami menjalani ritual ini. Mugiyo lantas mengajak saya, Zaenudin, dan lelaki yang perutnya bunyi tadi untuk keluar. Kami bertiga merupakan orang yang baru pertama kali mengikuti ritual di Goa Langse.
Ketenangan adalah kunci dalam ritual
Setelah keluar gua, Mugiyo berujar bahwa kasihan dengan kami yang tampak sudah tidak kuat berlama-lama. Umumnya, sekali doa berlangsung sampai dupa habis terbakar.
“Tapi tadi setegahnya saja, sudah setengah jam. Perut kalian juga sudah ada yang bunyi,” ucapnya.
“Makannya, sebelum njenengan menjalani ritual ini harus persiapan. Mensucikan diri, mengisi perut, supaya berdoa bisa khusuk,” imbuhnya.
Menurutnya, ritual tidak perlu terlalu lama. Asal dijalankan dengan fokus penuh.
“Kita ini bukan wali atau orang suci. Kemampuan kita fokus ya terbatas. Jangan menyiksa diri,” katanya.
Ia mengungkapkan bahwa banyak orang mempercayai bahwa tempat ini menjadi lokasi yang sakral. Namun, terlepas dari kepercayaan orang tentang tempat ini dan kaitannya dengan beragam hal, ia berujar bahwa hakikatnya alam adalah tempat melepas manusia bisa berkontemplasi.
“Ya zaman dulu nabi, para wali, berdoa ke goa atau ke tempat sepi ya karena tenang. Di alam, mau di pinggir laut, di gunung, itu bikin adem. Pikiran encer,” ungkapnya.
Mugiyo lalu menceritakan hal yang tadi juga para kuncen lain ceritakan, soal para tokoh yang mengunjungi Goa Langse. Bukan hanya politkus, ia menyebut beberapa artis dan pedangdut.
“Tapi ya memang kalau orang terkenal datang pasti malam hari. Saat sepi. Mungkin tidak ingin terlihat kalau berdoa di sini,” ungkapnya.
Selepas berbincang, saya mengecek jam yang ternyata sudah menunjukkan pukul setengah sepuluh malam. Saya pun izin untuk pamit. Perjalanan panjang menapaki terjal bukit menanti kami.
Terlepas dari apa pun cerita yang melingkupi Goa Langse. Tokoh yang datang entah Jokowi hingga Anies Baswedan yang cukup sulit terkonfirmasi, satu hal yang jelas bahwa tempat ini menawarkan ketenangan. Satu elemen penting dalam melangsungkan doa.
Penulis : Hammam Izzuddin
Editor : Agung Purwandono
BACA JUGA Menjawab Misteri Suara Drumband Malam Hari di Jogja dari Saksi, Ahli, AAU, sampai Kraton Jogja
Cek berita dan artikel Jogja Bawah Tanah lainnya di Google News