Wakijan nggak mau jual tanah warisan di Jalan Kaliurang meski ditawar Rp3,5 miliar
Lokasi yang strategis juga membuat tanah ini banyak mendapat tawaran. Banyak yang membujuknya untuk jual tanah warisan orang tuanya itu. Bahkan, ada yang menyodorkan angka yang cukup fantastis. Meski begitu lelaki tua ini tetap pada pendiriannya untuk mempertahankan tanah pusaka.
“Ada orang tanya, berapa harganya? Saya nggak ngasih harga. Terus orangnya nawar Rp3,5 miliar,” paparnya.
Jika melihat situs jual beli, harga tanah di sekitaran Jalan Kaliurang Km 8 per meternya di atas Rp4 juta. Namun, bagi Wakijan mau Rp3,5 miliar atau berapapun uang yang pembeli tawarkan ia tidak mau melepas tanahnya. Uang itu mungkin seperti uang receh saja karena menurutnya yang mahal adalah status tanah itu yang merupakan. tanah warisan, tanah pusaka. Kalau ia jual dengan harga segitu, belum tentu bisa memberikan kehidupan yang panjang. Cepat hilang jika tidak dikelola dengan baik.
Masih ada banyak orang lain yang sempat menanyakan tanahnya. Mungkin mereka investor yang akan membangun perumahan atau kafe-kafe. Namun, sebelum mereka mengajukan harga, Wakijan terlebih dulu mengatakan bahwa ia tak hendak menjual tanah warisan ini.
“Jual tanah warisan, habis itu beli mobil. Ya habis uangnya. Beberapa tahun kemudian nggak bisa hidup lagi. Ini tanah bisa menghidupi saya dan anak cucu nanti,” tuturnya sambil kembali menyalakan rokok.
Selama tubuhnya masih kuat untuk menggarap lahan ini, Wakijan ingin terus mempertahankannya. Andai, suatu ketika ia harus menjual, Wakijan berkomitmen untuk menggunakan uang untuk membeli lahan yang lebih luas untuk bertani.
Pernah tujuh tahun tinggal di gubuk tengah kebun
Kami duduk berdua berdampingan di pinggir ladang. Merokok sambil mengamati kendaraan yang melintas di jalan. Mata Wakijan, sesekali, menatap pohon jagung yang tingginya masih sekitar 15 centimeter.
“Dua minggu lagi sudah tinggi. Nyenengke melihatnya,” celetuknya.
Bagi petani sepertinya, melihat tanaman tumbuh subur adalah sumber kebahagiaan. Hal itu membuat Wakijan pernah tinggal dan bermalam di gubuk cukup lama.
“Dulu pernah tujuh tahun, saya setiap hari tidurnya di sini,” ungkapnya.
Ia hanya pulang di siang atau sore hari setelah mengurus kebunnya. Lalu ketika malam, akan kembali ke gubuk sedernana ini.
Saat malam, tak ada lampu penerangan di gubuk beratap seng dan berdinding gedhek bambu itu. Baginya, cahaya bulan saja sudah cukup untuk menerangi.
Ia mengaku merasa tenang di gubuk itu. Saat bulan sedang penuh cahaya, ia bisa mengamati tumbuhan yang mulai meninggi dengan perasaan lega.
“Rasanya senang dan tenang,” cetusnya.
Wakijan memandu saya menuju gubuk sederhana tempat ia biasa bermalam. Di sana hanya ada dipan yang beralas tikar. Ada kasur tipis yang tertekuk di sudut dipan. Atapnya pun tampak tidak kokoh.
“Tapi kalau hujan nggak bocor, kok,” katanya.
Ia memutuskan untuk kembali tinggal di rumah pada 2014 silam. Saat istrinya mulai mengalami sakit-sakitan. Ia merawat sang istri bersama anaknya yang tinggal serumah.
“Istri saya meninggal 2014 itu. Saya ingat pas Jokowi baru jadi presiden,” kenangnya.
Setelah itu pun, ia lebih banyak tinggal di rumah. Anak-anak mengkhawatirkan jika terjadi sesuatu saat Wakijan berada di gubuk sendirian. Sehingga, ia hanya kembali bermalam di gubuk saat jelang masa panen padi.
Saya sempat menanyakan soal Wakijan yang sempat tinggal di gubuk pada salah satu tetangga bernama Tika yang rumahnya tak jauh dari ladang di tepi Jalan Kaliurang. Menurutnya, lelaki paruh baya ini memang pernah terlihat cukup lama kerap bermalam di sana.
Pernah menjadi relawan Merapi
Sejak remaja Wakijan sudah menjadi petani. Namun, ia juga sempat menjadi aktif menjadi relawan saat erupsi Merapi 2010 bersama lembaga INSIST.
Saat menceritakan pengalamannya sebagai relawan, Wakijan tampak mengenang dengan bahagia. Ia ambil peran di bagian logistik pada masa itu.
“Jadi relawan itu berangkatnya semangat. Tapi sampai di lokasi hatinya terenyuh Mas lihat korban-korban,” kenangnya.
Ia juga berbagi pengalaman nyaris jatuh ke jurang di lereng Merapi saat melakukan evakuasi. Kenangan itu jadi salah satu hal tak terlupakan selama aktif menjadi relawan.
Selama menjadi relawan, Wakijan kerap berangkat berkegiatan menggunakan sepeda menanjak Jalan Kaliurang. Terakhir, ia juga pernah bersepeda sampai Wonosari. Nahasnya, ia mengaku kakinya cedera pada perjalanan itu. Sehingga sejak saat itu ia memutuskan tak bersepeda jauh-jauh lagi.
“Ngancing kaki saya pas nyepeda ke Wonosari. Sampai dibawa ke rumah sakit,” kenangnya.
Kini menginjak usia 81, ia masih tampak sehat dan bahagia. Penuh senyum saat menceritakan berbagai hal dalam hidupnya.
Saat saya tanya, bagaimana kiat hidup sehat dan fisik tetap kuat sampai lanjut usia, ia hanya menjawab singkat.
“Pokoknya hati dibuat senang. Gembira. Saya jadi tani ya senangnya kalau lihat tanaman tumbuh subur,” pungkasnya.
Wakijan lantas kembali mengambil paculnya. Menutupi lubang yang sudah terisi dengan pupuk urea. Ia sudah tak sabar melihat pohon jagung ini tumbuh tinggi. Sumber kebahagiaannya yang sederhana namun nyata.
Reporter: Hammam Izzuddin
Editor: Agung Purwandono
BACA JUGA Lahan Sengketa di Tanah Istimewa
Cek berita dan artikel lainnya di Google News