Jalan Kaliurang menjadi ruas jalan yang banyak dikeluhkan orang Jogja. Selain itu ada beberapa jalan lain yang banyak menyimpan keluhan. Jogja memang terkenal dengan ruas jalan sempit dengan volume kendaraan yang padat sekali.
***
Soal lalu lintas di Jogja saya pernah wawancara dengan Dinas Perhubungan DIY. Pantauan di lapangan menunjukkan bahwa salah satu persoalan di Jogja adalah ruas jalan sempit tak sebanding dengan luapan volume kendaraan.
Sehingga, pengaturan dan rekayasa lalu lintas cukup sulit menanggulangi permasalahan ini. Salah satu titik terparah kemacetan ada di Jalan Kaliurang. Buktinya, sampai ada Underpass Kentungan untuk menyiasati kepadatan di simpang empat terpadat di jalan tersebut.
Bukan hanya warga Jogja yang mengeluhkan salah satu ruas jalan terpanjang di Jogja tersebut. Faiz (20) seorang mahasiswa baru UGM mengaku hal yang paling membuatnya kaget dengan Jogja adalah kemacetan di jalan dekat kampusnya itu.
Jalan Kaliurang membuat pendatang kaget
Faiz tinggal di kos yang letaknya dekat Simpang Empat Kentungan, Jalan Kaliurang. Mahasiswa asli Cirebon yang belakangan sudah membawa kendaraan roda dua langsung merasakan ruas jalan terpadat di masa-masa awal ia kuliah di Jogja. Terutama setiap pulang kuliah di sore hari, ia harus bersabar karena Jalan Kaliurang hampir pasti macet.
Bahkan, ia mengaku sampai sengaja menunda pulang dari kampus saat sore demi menghindari kemacetan di jalur neraka itu. Padahal, jarak antar kampus dengan tempat tinggalnya hanya sekitar tiga kilometer.
“Macetnya di luar perkiraanku. Jelas lebih dari Cirebon. Belum lagi cuacanya juga panas,” keluhnya.
Ia sampai berkelakar, “aku kira ramai-ramai di Jalan Kaliurang itu gara-gara ada kecelakaan. Tapi ternyata kok setiap sore begitu.”
Belum genap enam bulan tinggal di Jogja, Jalan Kaliurang sudah menghadirkan kesan bahwa Jogja ternyata kota yang padat. Beruntung, menurutnya warga di sini tidak terlalu gemar menekan tombol klakson.
Jalan sekitar Malioboro sama seperti Jalan Kaliurang. Bikin sebal!
Namun, keluhan lain datang dari warga asli Jogja bernama Kholilulloh (25). Menurutnya bukan Jalan Kaliurang yang paling membuat kesal melainkan jalan di sekitar Malioboro dari arah Kridosono yakni Jalan Yos Sudarso dan Jalan Abu Bakar Ali.
Di jalan itu, bahkan ada lampu merah yang berada di tanjakan. Sesuatu yang menurut Kholil sangat membuat tidak nyaman.
Belum lagi, banyak rekayasa lalu lintas di sekitar sana. Jalan yang dulunya dua arah di Jalan Mataram belakangan menjadi satu arah.
“Rekayasanya memang bikin bingung. Misal mau ke Jalan Mataram saja harus muter jauh lewat Malioboro,” paparnya pada Sabtu (30/9/2023).
Jalanan itu memang salah satu titik berkumpulnya wisatawan saat akhir pekan. Tak heran jika belakangan semakin banyak rekayasa untuk mengurai kemacetan. Sayang, menurut Kholil hal itu membuatnya kebingungan.
Selain itu, pemuda yang sehari-hari bekerja di sebuah kedai kopi di Sinduadi, Sleman ini mengaku Jalan Magelang juga membuatnya lelah saat melintas. Terutama di sore hari.
Setiap sore, jalan itu tak lepas dari kemacetan. Terutama di Simpang Empat Pingit yang punya durasi lampu merah terlama di Jogja. Jalan Magelang jadi salah satu ruas terpadat lain selain Jalan Kaliurang.
“Jalan Magelang kalau sore itu penuh orang pulang kerja. Kemacetan ada di mana-mana. Terutama di persimpangan-persimpangan kecil sepanjang jalan. Jam 4-6 sore pokoknya harus hindari jalan itu,” curhatnya.
Selain itu, ada jalan lain di Jogja yang beberapa tahun terakhir mengalami sejumlah rekayasa lalu lintas. Ini salah satu tanda bahwa ruas itu menjadi perhatian dan pusat kepadatan.
Jalan Selokan Mataram yang padat dan penuh lubang
Bukan Jalan Kaliurang, ruas itu berada di area Selokan Mataram, Depok, Sleman. Penuturan dari Petrus Seno Wibowo (36) jadi salah satu gambaran keluhan warga Jogja tentang jalan sempit ini.
“Selain sudah super padat, lalu lintasnya tuh seakan-akan nggak pernah bisa ditata. Aku ingat dulu antara tahun 2015 sampai 2017 aku lumayan sering lewat sana karena kerja di Jalan Wahid Hasyim,” keluhnya.
Pagi saat warga mulai banyak beraktivitas jalan itu mulai menunjukkan kepadatannya. Puncaknya ketika sore menjelang magrib, kendaraan nyaris susah bergerak.
Salah satu yang Jalan Selokan Mataram padat adalah keberadaan banyak persimpangan. Menurut Seno, menyediakan lampu merah di jalan itu juga tidak menjadi solusi.
“Masang lampu merah itu bikin tambah macet. Ini yang sulit,” katanya.
Terlebih di sana jarang ada polisi yang mengatur kepadatan. Sebab, jalannya memang kecil dan terkesan penghubung antar kampung semata. Padahal volumenya kendaraannya terbilang tinggi.
Dekatnya Jalan Selokan dengan permukiman dan kos pendatang membuat banyak pelanggaran lalu lintas. Pengendara banyak yang tidak menggunakan helm. Susahnya lagi, menurut Seno, mereka enggan diatur oleh pemuda pak ogah yang mencoba membantu penyeberangan di persimpangan.
Menurut pantauan Mojok, beberapa titik jalan itu juga berlubang. Kondisi yang sebenarnya cukup membahayakan pengendara. Saat malam, penerangan pun begitu remang. Hal ini semakin memperparah kondisi Jalan Selokan Mataram.
“Intinya, jalan selokan mataran itu menyebalkan karena sudah kadung semrawut tapi solusi untuk mengatasinya kayak nggak ada selain kesadaran pengendara. kayak ada masalah tapi nggak bisa diapa-apain,” paparnya.
Memerlukan penanganan yang lebih serius
Persoalan lalu lintas di Jogja tampaknya perlu penanganan lebih serius. Jalan Kaliurang dan beberapa ruas jalan lain hanya segelintir contoh.
Di sisi lain, volume kendaraan di Jogja juga semakin padat. Melansir BPS, jumlah kendaraan bermotor di DIY pada 2021 mencapai 3 juta unit. Jumlah kendaraan di DIY tersebut menempati urutan ke-13 pada daftar provinsi dengan kendaraan terbanyak seluruh Indonesia. Urutan pertama ditempati Jawa Timur dengan jumlah 22,861 juta kendaraan, disusul DKI Jakarta (21,034 juta), dan Jawa Tengah (18,811 juta).
Penulis : Hammam Izzuddin
Editor : Hammam Izzuddin
BACA JUGA Kisah Mahasiswa UNY Bertahan Hidup di Jogja Bermodalkan Rp250 Ribu per Bulan
Cek berita dan artikel lainnya di Google News