MOJOK.CO – Menyaksikan greget ilmu kiyak-kiyuk, menyaksikan siasat kaum perempuan di kampung tempat terselenggaranya Kongres Perempuan 1928.
Bu Vivi uring-uringan. Sang suami seharian hanya duduk mencangkung di rumah; nyeruput kopi sambil sarungan. Sehabis kena PHK, si suami cuma sesekali ngojek dan kerja serabutan. Sementara, di tempat kerja, perempuan paruh baya itu juga merasa terintimidasi.
Penampilan konco-konconya itu wah, dandanan mereka kinclong. “Gelangnya sampai selengan, Pak. Kita aja motor tiga belum lunas semua,” cerocos Bu Vivi. Apalagi kini ia butuh dana tambahan untuk acara kelompok senamnya.
Si suami cuma melongo, lalu mengelus kumisnya—sebuah kumis hasil riasan yang sempat disebut oleh seorang penonton sempat mencong. Itulah penggalan dan suasana pertunjukan drama oleh ibu-ibu Kampung Dipowinatan. Ya, bahkan suami Bu Vivi pun diperankan oleh perempuan, lengkap dengan sarung dan kopiah.
Pertunjukan “Saling Berbagi Ilmu Kiyak-kiyuk: Mengarsipkan Pengetahuan tata Kelola Keuangan Keluarga” itu ditampilkan di Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) Daerah Istimewa Yogyakarta, di Kota Yogyakarta, Selasa (22/12).
Drama tersebut hasil lokakarya tentang literasi keuangan yang diikuti oleh para perempuan pemain drama. Pembahasan ibu-ibu itu selama workshop kemudian direka ulang di panggung. Walhasil, adegan dan dialog-dialog yang muncul di pentas layaknya kehidupan dan masalah mereka sehari-hari.
Dalam cerita, Bu Vivi aktif sebagai kelompok senam ibu-ibu Kampung Dipowinatan. Adegan pun dibuka dengan 10 perempuan paruh baya yang masih energik menggerakkan badan dengan iringan lagu rancak. Jamaknya ibu-ibu kampung, kebanyakan mereka berjilbab dan memadukannya dengan kasus dan celana olahraga.
Seusai senam, bersahut-sahutan mereka membahas aneka rencana piknik ke Wonosari dan pembuatan seragam senam. Mayoritas setuju, segelintir yang tak sepakat. “Kebutuhan keluarga masih banyak, Bu,” kata seorang ibu. “Dagangan serabiku nggak laku ini gara-gara pandemi.”
Yang kepengin seragam pun, tak semua kompak. “Cari yang murah saja, Rp50 ribu,” usul salah satu. “Wah, kok pelit. Kaos Rp50 ribu itu biasanya kaos kampanye. Emoh aku,” tukas Bu Vivi dengan suara lantang.
Ucapan Bu Vivi pun mendapat dukungan luas. “Nanti kalau nggak mampu disubsidi Pak RW. Nggih tho, Pak?” kata dia sambil melayangkan pandang ke Pak RW Dipowinatan yang duduk lesehan di barisan terdepan di pentas itu.
Sepulang rapat itulah, Bu Vivi melampiaskan kekesalannya pada sang suami. Ia pun lantas meninggalkan rumah karena tak mendapat solusi pasti. Di tengah kepuyengan itu, tetangganya, Bu Sisca—yang berdandan dan berbusana modis—masuk ke rumah. Kedatangannya bikin suami Bu Vivi tambah pening: ia hendak menagih utang Bu Vivi. Besarnya Rp3 juta. Pak Vivi kembali melongo.
Pertunjukan dengan kisah dan akting “biasa” itu menjadi spesial dengan latar tempat dan waktu. Ia dipentaskan tepat di Hari Ibu, di pendopo kantor BPNB, gedung Dalem Joyodipuran, tempat Kongres Perempuan Indonesia pertama digelar, 22-25 Desember 1928. Tanggal penyelenggaraan kongres ini kemudian ditetapkan sebagai Hari Ibu oleh Presiden Sukarno pada 1953.
Foto-foto lawas suasana kongres dan gerakan perempuan di masa itu pun ditampilkan secara bergantian sebagai latar belakang panggung. Hal ini menjadi pilihan kreatif tim Indonesian Visual Art Archive (IVAA), lembaga pengarsipan seni yang merayakan ulang tahunnya ke-25 lewat pertunjukan tersebut.
Direktur IVAA Lisis Strata Lusiandana menyatakan memang sengaja menggelar acara itu tepat di Hari Ibu. “Ini agar semangat Kongres Perempuan bisa kita aktualisasikan. Hari ini ketangguhan perempuan terlihat dari perjuangan ibu-ibu memutar roda kehidupan keluarga, termasuk melalui peran domestik yang ternyata tidak remeh,” tutur Lisis.
Spirit Hari Ibu dan Kongres Perempuan di acara ini makin kuat saat diketahui sohibul hajat acara ini perempuan. Selain Lisis, Lurah Keparakan dan Panewu (camat) Kemantren Mergangsan—pengampu wilayah di lokasi Kampung Dipowinatan, serta Kepala BPNB DIY juga perempuan semua.
Kepala BPNB DIY Dwi Ratna Nurhajarini menyatakan gagasan besar perempuan lahir di tempat pementasan tersebut. “Gagasan-gagasan itu didialogkan, dan apa yang dipikirkan, diperjuangkan di masa itu menjadi inspirasi dan terus tumbuh hingga kini, meski tantangannya berbeda. Ruh kongres perempuan perlu kita ambil untuk diterapkan di masa kini,” ujarnya.
Tantangan beda zaman terutama dalam isu domestik yang kerap dianggap remah itu adalah benang merah gelaran lokakarya sekaligus bahan pementasan drama.
Peneliti IVAA Fairuzul Mumtaz menjelaskan lokakarya digelar dua kali dalam sepekan selama satu bulan. Ibu-ibu mengikuti setiap sesi yang digelar sekitar tiga jam. “Mereka memaparkan masalah-masalah di keluarganya. Akhirnya mengerucut pada masalah keuangan. Kami pun petakan sampel solusi dari keluarga yang paling tepat,” kata Fairuz.
Ia menjelaskan, lokakarya dan pementasan ini bagian mengarsipkan pengetahuan tata kelola keuangan di rumah tangga yang lazim dipraktikkan ibu-ibu. Di tengah kondisi kesulitan ekonomi, apalagi di masa pandemi, peran perempuan dalam menopang keluarga dan komunitas justru menonjol. Ternyata, ada kearifan lokal yang diterapkan ibu-ibu itu. “Istilahnya ‘ilmu kiyak-kiyuk’ atau bersiasat di segala kondisi,” ujarnya.
Pertunjukan ini juga menjadi puncak dan penutup pameran arsip Kampung Dipowinatan. Kampung ini, contohnya, menjadi tempat kelahiran Teater Dinasti besutan budayawan Emha Ainun Najib alias Cak Nun. Personel dan tim musik pengiring teater ini kemudian kita kenal kini sebagai Kiai Kanjeng.
Dipowinatan juga menjadi tempat tinggal sejumlah seniman, seperti artis pantomim Jemek Supardi dan mendiang sastrawan Iman Budi Santhosa. Romo IBS, begitu sapaan Iman, berpulang pada 10 Desember lalu di usia 72 tahun di rumah kontrakannya di Kampung Dipowinatan.
Sejumlah karya dan dokumentasi kiprah para seniman itu ditampilkan di pameran bertajuk “Ephemera” sepanjang 16-22 Desember. Tak cuma itu, arsip-arsip pembangunan beberapa tetenger di Dipowinatan juga dipajang, seperti Taman Hiburan Rakyat—yang kemudian dikenal sebagai Purawisata—dan Melania Volksschool, kini SD Kanisius Kintelan I.
Selain festival arsip, IVAA juga menggelar diskusi publik soal sejarah kampung Dipowinatan. Saat pembukaan pameran arsip, digelar musikalisasi puisi “Kelahiran Baru” oleh para eksponen Teater Dinasti. Sedangkan drama Ilmu Kiyak-kiyuk menjadi penutup rangkaian agenda itu.
Bukan hanya karena ultah IVAA, Direktur IVAA menyebut berbagai acara ini merupakan upaya IVAA menjadi tetangga yang baik. Sebab, selama 10 tahun berkantor di Dipowinatan, mereka justru belum berkiprah untuk kampung tersebut.
“Selama ini kami berinteraksi dengan seniman dan ternyata baru sadar bahwa setiap manusia itu seniman dan sejarawan. Semua sejarah itu, baik sejarah makro maupun sejarah kecil, itu penting, seperti sejarah dari warga Dipowinatan ini,” tutur Lisis.
Kehidupan bertetangga yang baik itu pula yang menjadi ujung drama pementasan ibu-ibu Dipowinatan. Setelah sengkarut utang domestik itu menemukan resolusinya melalui wejangan Bu Lurah soal mengukur gaya hidup, ibu-ibu itu sepakat bakal menyisihkan sisa dana grup senam mereka.
Gara-gara pandemi, toh bukan hanya usaha ibu-ibu itu yang drop, stok kain mori untuk jenazah milik kampung kini kosong. Dengan ikhlas, sebagai solusi kecil di tengah pagebluk global ini, ibu-ibu Dipowinatan itu pun menyumbangkan uang mereka untuk pembelian kain mori; bekal abadi dari para tetangga baik hati.
BACA JUGA Ancaman yang Ikut Nongkrong di Sejarah Angkringan Orang-orang Bayat dan laporan Arif Hernawan lainnya.