Saat ini tukang becak identik dengan kehidupan yang prihatin. Namun, pernah ada tukang becak di Magelang yang beruntung mendapat uang Rp1 miliar karena adu nasib di SDSB.
Beberapa waktu lalu, saya sempat membuat tulisan seputar nasib pengayuh becak di sekitar kawasan Sumbu Filosofi Jogja. Nasibnya kini penuh nestapa karena tak banyak tak banyak penumpang. Padahal, banyak di antara mereka yang asalnya jauh dari Klaten hingga Magelang.
Beberapa di antara mereka bahkan ada yang mengaku bisa tak makan berhari-hari. Tidur beralas tikar di depan toko. Pulang ke rumah ketika ongkos yang terkumpul sudah mencukupi.
Pada masa lalu, tukang becak pernah punya masa kejayaan saat masih jadi andalan warga untuk mengantar dari satu titik ke titik lain. Meski begitu, sulit rasanya untuk mengantongi uang Rp1 miliar dalam waktu singkat.
Namun, keberuntungan pernah menghinggapi seorang tukang becak asal Magelang bernama Sayat atau Raden Sayadi. Lelaki kelahiran Klaten itu merupakan veteran perang yang hidupnya prihatin. Pada masa pendudukan Jepang 1942, ia bergabung dengah Heiho. Pascakemerdekaan ia lantas menjadi bagian dari Tentara Keamanan Rakyat (TKR).
Berubahnya nasib tukang becak di Magelang dalam Semalam
Pada 1990, saat mendapat rezeki nomplok dalam semalam, Sayat sudah berusia 72 tahun. Di masa senjanya itu ia belum memiliki tempat tinggal sendiri sehingga masih mengontrak rumah seharga Rp30 ribu setahun di Magelang. Ukurannya kecil, hanya 10×3 meter persegi dengan dinding bambu.
Begitulah catatan tentang Sayat. dari Surat Kabar Wawasan edisi 16 Mei 1990 pada laman Perpustakaan Nasional. Hingga akhirnya, dalam semalam, nasibnya berubah drastis.
Nasib Sayat berubah lantaran menang undian Sumbangan Dermasan Sosial Berhadiah (SDSB) sebesar Rp1 miliar. Jumlah yang sangat melimpah saat itu. Kabar kemenangan lelaki tua ini sempat menggegerkan warga Magelang.
Lelaki ini mengaku sebelum mendapat limpahan uang itu melakukan laku prihatin total dengan mengurung diri tanpa makan dan minum selama tujuh hari tujuh malam. Laku ini dikenal dengan sebutan pati geni.
Kepada Surat Kabar Wawasan, Sayat mengaku melihat cahaya besar pada malam sebelum ia mendapat hadiah tersebut. Hal itu ia yakini sebagai pertanda akan datangnya anugerah dari tuhan.
SDSB yang digandrungi masyarakat era orde baru
Sebagai informasi, SDSB yang mengubah nasib Sayat merupakan judi lotre yang legal pada era Orde Baru Soeharto. Dulu, banyak masyarakat yang menaruh pengharapan besar pada permainan judi ini. Bahkan sampai mencari cara-cara di luar nalar agar bisa beruntung.
Narasumber Mojok, Sugiman (82) bercerita kalau dulu di Kampung Jogoyudan tempatnya tinggal banyak orang menaruh harapan pada judi SDSB. Tidak hanya ramai karena orang bermain, banyak orang yang datang dari luar kampung untuk mendapatkan nomor keberuntungan.
Hampir setiap malam, deretan kendaraan terparkir di jalan. Para pemiliknya menyambangi sebuah rumah tempat kediaman seseorang yang mereka anggap punya kesaktian menebak nomor.
Di Jogoyudan, SSDB mendapat julukan “nalu”. “Dulu banyak orang yang cari nomor datang ke Jogoyudan. Ke tempat Mbah Putih. Dia memang ahli ramal yang terkenal,” kata Sugiman.
Di berbagai daerah lain, fenomenanya pun serupa. Banyak masyarakat yang melakukan praktik-praktik tertentu demi bisa beruntung. Mereka menanti-nanti saat pengumuman pemenang tersiar di radio.
Empat tahun berselang setelah Sayat beruntung, peredaran kupon SDSB yang dikelola Yayasan Dana Bhakti Kesejahteraan Sosial (YDBKS) sesuai Surat Keputusan Menteri Sosial Nomor BS-10-4/91 yang diteken Mensos Haryati Soebadio akhirnya terhenti. Tepatnya pada 24 September 1994. Kini, hal itu tinggal kenangan dan sejarah.
Penulis: Hammam Izzuddin
Editor: Agung Purwandono
BACA JUGA Blak-blakan Reno Candra Sangaji, Lurah 1.000 Baliho yang Sempat Bikin Geger Jogja
Cek berita dan artikel Mojok lainnya di Google News