Sutradara Hanung Bramantyo akan mengangkat novel Cinta Tak Pernah Tepat Waktu karya Puthut EA ke layar lebar. Selain urusan adaptasi cerita dari novel ke film, sang sutradara menyoroti mitos keramat yang menyelimuti karya terlaris dari Puthut EA ini.
***
Novel Cinta Tak Pernah Tepat Waktu pertama kali saya baca saat berusia 18 tahun. Saat itu, kisah dalam buku berisi 15 bab ini terasa relate.
Ketika membaca ulang di pertengahan usia 20-an, entah kenapa novel ini masih terasa sama menarik dan relate-nya. Saya kira jawabannya karena buku ini menggambarkan dinamika pikiran seorang laki-laki dalam hubungan asmara. Dan kerumitan itu ada di hampir setiap kepala laki-laki, terutama yang masih mencari cinta yang tepat di waktu yang tepat. Sayang, seringkali datangnya cinta memang tak pernah tepat waktu.
Satu hal yang unik lagi, sepanjang berkenalan dengan sesama pembaca novel ini, beberapa di antara mereka menceritakan pengalaman putus hubungan usai menghadiahkan Cinta Tak Pernah Tepat Waktu ke pasangan. Di media sosial, kisah serupa pun berseliweran di antara pembaca buku ini.
Putus cinta setelah menghadiahkan novel ini ke pasangan seakan sudah jadi mitos. Puthut EA juga membenarkan hal tersebut. Pada sejumlah pengalamannya berkeliling ke berbagai daerah dalam kegiatan literasi, ia mendapati curhatan dari mereka yang cintanya kandas gara-gara Cinta Tak Pernah Tepat Waktu.
“Jadi saya harap sih di momen novel ini diangkat ke layar lebar akan menghapus mitos itu. Siapa yang nonton filmya ya hubungannya jadi langgeng,” kelakarnya di sesi Syukuran dan Cast Reveal Film Cinta Tak Pernah Tepat Waktu, Jumat (1/12/2023).
Buku ini merupakan karya Puthut EA yang paling banyak dibaca khalayak. Ia mengakui kalau ini salah satu novel terbaiknya. Perpaduan antara eksperimen yang tepat dengan penerimaan yang luas dari kalangan pembaca.
“Tidak semua eksperimen berhasil. Cinta Tak Pernah Tepat Waktu adalah yang berhasil dibaca banyak orang dan banyak yang merasa relate,” ungkapnya.
Novel yang menelanjangi pemikiran laki-laki
Di usia karya yang menginjak delapan belas tahun, mengingat buku ini pertama kali terbit pada Mei 2005 oleh Penerbit Oracle, akhirnya akan naik ke layar lebar.
Cinta Tak Pernah Tepat Waktu berisi perjalanan sosok Aku, yang dalam film akan berubah menjadi Daku, dalam mencari cinta yang sejati. Perjalanan dari satu wanita ke wanita lain yang selalu kandas karena keraguannya sebagai lelaki hingga faktor eksternal yang tak bisa dikontrol.
Banyak monolog, obrolan dalam pikiran pada karakter Daku yang muncul dalam tulisan. Hal ini yang sempat membuat Puthut membayangkan bahwa alih wahana menjadi film tidaklah mudah. Ada banyak bagian cerita yang sulit diterjemahkan dalam adegan film.
Hanung Bramantyo juga mengamini hal tersebut. Sehingga akan ada sejumlah perbedaan antara versi buku dengan filmnya. Kendati begitu, kekuatan dari karakter Daku akan tetap sama dengan apa yang ada di novel. Sosok laki-laki yang sudah mendapatkan tekanan untuk menikah dari keluarga namun ingin mencicipi cinta yang tepat dan bukan sesaat.
Hanung punya segudang pengalaman menggarap film yang diangkat dari buku. Beberapa di antaranya “Perempuan Berkalung Sorban”, “Perahu Kertas“, “Bumi Manusia”, hingga yang fenomenal, “Ayat-ayat Cinta”.
Terbaru, Hanung tengah meluncurkan film “Tuhan, Izinkan Aku Berdosa” yang diangkat dari novel berjudul “Tuhan, Izinkan Aku Menjadi Pelacur” karya Muhidin M Dahlan. Rekam jejak panjang ini juga yang membuat Puthut yakin terhadap sang sutradara.
Setelah menggarap banyak film yang diangkat dari buku, buat Hanung Bramantyo, Cinta Tak Pernah Tepat Waktu menjadi salah satu yang spesial. Bahkan ketika pertama kali membacanya, langsung terbesit di pikiran bahwa, “Sebagai laki-laki, saya harus buat film ini. Ini seperti ensiklopedi buat para laki-laki.”
Hanung Bramantyo mempercayakan Refal Hady sebagai karakter utama
Baginya, kisah dalam novel ini seperti menelanjangi pikiran seorang laki-laki. Kekuatan kisahnya membuat banyak pembaca merasa relate. Harapannya, banyak juga yang tertarik untuk menonton versi layar lebar.
Bahkan, untuk film ini Hanung mengaku tidak ingin produser banyak mencampuri urusan cerita. Ia menggandeng produser asal Malaysia, Azlin Hilda, yang mau memberikan keleluasaan bagi Hanung untuk menggarap film sesuai idealismenya.
“Seringkali yang membuat film tidak sesuai novelnya adalah produser. Ya karena mereka yang punya uang. Tapi film ini harus sesuai dengan keinginan saya,” kelakar Hanung Bramantyo.
Untuk proyek ini, Hanung menggandeng sejumlah aktor dan aktris ternama untuk berperan. Aktor Refal Hady akan memerankan sosok Daku. Selain itu Nadya Arina sebagai Nadya, Carrisa Perusset sebagai Anya, dan aktris asal Malaysia Mira Filzah sebagai Sarah.
Puthut EA pun mengaku yakin dengan pemeran pilihan Hanung. Puthut mengaku sudah membaca naskah film ini dan merasa yakin bahwa kekuatan karakter Daku akan muncul seperti Aku yang ada di buku.
“Saya kira aktornya punya kharisma sesuai karakter yang ada di buku. Nakalnya juga dapat. Yang jelas, jauh lebih ngganteng dari yang saya bayangkan,” kelakar Puthut.
Film ini rencananya akan tayang di bioskop pada 2024 mendatang. Produksinya melibatkan K Studio, Seven Skies Motion, dan Dapur Film Indonesia. Film ini akan mengusur atmosfer calm dan soft dengan harapam bisa menggambarkan kesenduan dan kesedihan karakter utama. Nuansa hopeless romantic akan kental dalam film ini.
Bagi saya dan pembaca Cinta Tak Pernah Tepat Waktu lainnya, alih wahana ini tentu jadi sesuai yang dinanti. Meski dengan sejumlah perbedaa, semoga saja kekuatan cerita yang ada di novelnya dapat diadaptasi secara paripurna di versi layar lebar. Cukup itu saja, tidak dengan mitos-mitos keramat yang menyelimutinya.
Penulis: Hammam Izzuddin
Editor: Agung Purwandono