MOJOK.CO – Mojok menemui polisi lalu lintas untuk berbincang soal unpopular opinion perihal anggota satlantas. Apa iya sih polantas punya target tilang?
Kalau ada daftar profesi paling dibenci, polantas pasti termasuk salah satunya. Males banget ketemu polisi satu ini. Untuk menghindari dapat salam “Selamat siang, bisa lihat surat-suratnya?” dari polisi ini, sejumlah wilayah bahkan sampai punya komunitas berskala besar yang awalnya terbentuk karena niat berbagi info menghindari razia lalu lintas.
Polisi lalu lintas juga kerap mengalami drama. Di Sidoarjo, demi menertibkan jalan searah, ada polisi yang nyamar jadi patung. Beberapa bulan lalu seorang pemuda menghancurkan sepeda motor pacarnya di depan polantas karena sebal ditilang. Sonya Depari, cewek Medan yang suka menandai orang, juga jadi viral setelah ditilang polisi. Yang terakhir, seorang polisi terekam nyangkut di kap mobil karena mobil yang ia tilang ngotot kabur.
Lika-liku kehidupan polantas itu bikin Mojok penasaran pengin tanya-tanya langsung sama mereka, mulai dari soal video viral polantas ditabrak mobil itu sampai ke kisah mereka jadi polisi. Berikut obrolan kami dengan Aipda Asep, Aipda Sugiyanto, dan Bripka Eko Nugroho dari Satlantas Polresta Yogyakarta yang kami temui di pos polisi Jalan Urip Sumoharjo, Sleman, D.I. Yogyakarta.
Tentang video viral polisi nemplok di kap mobil dan tilang yang dikasih target
Waktu ditanya tanggapannya tentang kasus polisi yang nemplok di kap mobil sampai mau jatuh beberapa waktu lalu, Bripka Eko Nugroho memasang wajah tertarik. “Saya, sih, melihatnya gini ya,” katanya, “itu sudah tugas kami menertibkan lalu lintas. Kadang ada yang kooperatif, nurut ketika diberhentikan, tapi kadang juga ada yang ngeyel. Bisa jadi, pengendara di video tersebut sedang buru-buru atau memang takut karena nggak bawa kelengkapan.”
“Saya menyayangkan kesadaran masyarakat terhadap aturan itu masih rendah,” dia menambahkan, “Masih ada masyarakat yang masih bandel. Sudah tahu melanggar, diberhentikan, tapi malah ngeyel. Kasihan polisi yang ada di video tersebut. Bayangkan kalau polisi itu jatuh dan tertabrak. Kita kan nggak tahu polisi itu punya anak, atau punya istri. Kalau ada apa-apa, kasihan keluarganya. Kami kadang nggak dipedulikan oleh masyarakat.”
Ta-ta-tapi, Pak, kalau Pak Polisi itu kenapa-kenapa, sebenarnya yang paling kasihan kan Pak Polisi itu sendiri. Kok mikirnya malah ke anak istri sih. 🙁
Menurut Bripka Eko, menemukan kejadian aneh-aneh kayak gitu sudah mereka posisikan sebagai risiko pekerjaan.
“Ini memang risiko pekerjaan kami, Mas. Misalnya, kami harus selalu berada di pos. Atasan nggak mau tahu—pokoknya harus di pos. Lha kalau misal saya sedang jaga sendiri, terus saya pengin buang air, kan saya harus keluar pos. Di pos saya ini kan nggak ada toiletnya. Kalau misalkan atasan tahu, yang kena juga saya.”
Aipda Sugiyanto sepakat dengan pernyataan rekannya. “Soal tilang, kami itu ditarget sama atasan. Misalnya, dalam satu atau dua bulan, kalau bukti tilang menurun, atasan akan menganggap kami nggak kerja. Padahal, bagi kami, kalau bukti tilang menurun, kan berarti masyarakatnya sudah tertib lalu lintas. Bukan begitu¸ Mas?”
Tidak mengenal hari libur
“Pak, kalau Lebaran, polisi lalu lintas itu kan nggak libur. Bapak pernah mengeluh nggak?” tanya kami.
“Memang nggak ada libur, Mas,” jawab Aipda Asep. “Hampir seluruh pasukan satlantas nggak libur. Tapi kami, kan, punya ikatan pekerjaan, kami juga disumpah jabatan. Berat, Mas. Tapi mau gimana lagi, itu sudah risiko pekerjaan.”
Iya juga sih kalau dipikir-pikir, batin saya. Saya aja kalau hari Minggu masih ada kerjaan pasti malasnya minta ampun. Apalagi mereka—Lebaran nggak ada libur!
“Ada keluarga yang protes nggak, Pak?” pancing saya.
“Kalau keluarga, sih, udah ngerti,” kali ini giliran Bripka Eko Nugroho yang menjawab. “Bapak ini (menunjuk ke Aipda Asep), sudah 20 tahun di satlantas. Selama itu, beliau nggak Lebaran sama keluarga. Kalau dipikir-pikir, pengin juga lebaran itu kumpul sama keluarga. Tapi ya balik lagi, ini tanggung jawab kami. Kalau komprominya, sih, betah-betahan aja.”
Sungguh maktratap pasti hati polisi-polisi yang nggak pulang ketika Lebaran ini. Apalagi Aipda Sugiyanto mengatakan, liburnya dia selalu bentrok dengan jadwal sekolah anak-anaknya. “Yang susah itu kalau ingin liburan sama keluarga. Giliran anak-anak libur, saya harus kerja. Giliran saya sudah dapat libur, anak-anak malah sudah masuk sekolah.” Duh!
Perjuangan menjadi anggota kepolisian
“Masuk polisi itu susah-susah gampang,” kata Bripda Eko, “Jalur masuknya juga beda-beda. Kalau urusan latar belakang pendidikan, itu juga berpengaruh. Kalau lulusan SMA, baru akan naik pangkat setelah empat tahun.”
Anggota polisi yang sebelum empat tahun masa kerja sudah sarjana, atau sudah sarjana saat bergabung ke korps kepolisian, hanya akan butuh waktu sekitar dua tahun untuk naik pangkat.
“Belum lagi soal pindah tempat dinas,” katanya Aipda Asep, “Bripka Eko ini sudah mengajukan pemindahan tempat dinas empat tahun lalu dari Jogja ke Jawa Tengah. Sampai sekarang, permintaan itu nggak digubris, dan kemungkinan ditolak. Beliau ini juga pernah akan dikirim ke Sudan sebagai bagian dari Pasukan Perdamaian PBB. Tapi, akhirnya tidak jadi.”
Bripka Eka Nugroho menimpali, “Lha, di sana ngapain, Mas? Bingung saya. Bahasanya juga saya nggak ngerti. Jangankan bahasa sana, bahasa Inggris aja saya belum fasih.”
Tapi, tenang—menjadi polisi lalu lintas nggak melulu perihal menyedihkan. Kepada kami Aipda Sugiyanto memberi sebuah pernyataan yang cespleng saat ditanya soal kejadian membanggakan selama bekerja.
“Jadi polisi itu sudah bikin saya dan keluarga bangga. Jadi aparat negara. Saya, kalau lihat pengendara sudah tertib dan sadar hukum, itu sudah senang, Mas. Apalagi sekarang banyak masyarakat yang mendukung dan membantu kinerja kami. Bangga saya.”
Anggapan negatif masyarakat pada polisi lalu lintas
“Kalau masalah anggapan miring masyarakat soal polisi lalu lintas, kami nggak mau ambil pusing. Kami lebih memilih menjalankan tugas sesuai prosedur saja. Kalau ada yang benci, ya silakan. Kalau ada yang suka, ya mohon kerja samanya,” kata Aipda Asep.
“Lagian, walaupun polisi banyak yang yang benci, tapi minat orang-orang untuk masuk polisi tetap tinggi lo. Belum lagi masyarakat sekarang, terutama di Jogja, sudah mulai sadar aturan dan membantu kepolisian, terutama di lingkup lalu lintas. Kalau ada kecelakaan, misalnya, kadang polisi tahunya dari masyarakat, dari grup Info Cegatan Jogja. Ya, saya senang banget,” tambahnya.
Beliau juga mengomentari tentang masih adanya polisi “nakal” yang menjadikan citra polisi buruk di masyarakat.
“Saya nggak mau munafik. Polisi ‘nakal’ itu memang ada dan masih terjadi praktik-praktiknya. Tapi untuk saat ini, kepolisian sudah sangat transparan. Atasan kami sudah minta seluruh jajarannya untuk transparan di segala macam urusan. Misalnya nih, kalau ada saudara saya yang ‘nitip’ anaknya untuk masuk polisi lewat saya, ya saya bisa. Tapi nanti kan nama saya yang jelek. Saya nggak mau. Itu juga saya sudah melanggar sumpah jabatan saya. Saya disumpah membela negara dan di bawah kitab suci.”
Saya manggut-manggut. Pembicaraan ini terasa cukup hangat, tapi sayangnya harus berakhir ketika Bripka Eko Nugroho dan Aipda Asep mesti meninggalkan pos, berganti tugas dengan anggota yang lain.
Sebelum beranjak, Aipda Asep bertanya pada saya, “Mas, sekarang jenengan semester berapa?”
“Akan semester tujuh, Pak” jawab saya.
“Coba nanti kalau sudah lulus kuliah, daftar jadi polisi. Siapa tahu nanti bisa jadi petinggi-petinggi kepolisian.”
Dalam hati saya berujar, Waduh, mboten, Pak. Nanti gantian dong saya yang diwawancarai anak Mojok di masa depan?! Hehe.