Tapak Suci Putera Muhammadiyah jadi salah satu perguruan pencak silat di Indonesia yang jauh dari konflik dan perseteruan. Ada beberapa rahasia yang membuat perguruan historis IPSI ini bisa teguh dalam jalan perdamaian.
***
Tapak Suci secara resmi lahir pada 31 Juli 1963 di Kauman, Jogja. Pendirinya yakni Mohammad Barie Irsjad, Mohammad Rustam Djundab, Mohammad Djakfal Kusuma, H Djarnawi Hadikusuma, dan beberapa tokoh lainnya.
Aliran bela diri ini lantas memiliki nama resmi Tapak Suci Putera Muhammadiyah dan ketua umum pertamanya yakni Djarnawi Hadikusuma. Selepas itu, bela diri ini menjadi salah satu sarana yang turut membantu dakwah Islam Muhammadiyah.
Perguruan ini telah menjadi satu di antara sepuluh Perguruan Historis IPSI karena sejarahnya dalam perkembangan pencak silat di Indonesia. Tapak Suci memiliki motto “Dengan Iman dan Akhlak saya menjadi kuat, tanpa iman dan akhlak saya menjadi lemah”.
Mojok pernah berkunjung ke salah satu tempat latihan legendaris Tapak Suci di Bina Manggala Kauman Yogyakarta. Saat ini berfungsi menjadi tempat latihan para atlet pembinaan prestasi di bawah Pimpinan Daerah Tapak Suci Kota Yogyakarta.
Pada kunjungan kala itu, Mojok menemukan beberapa cerita yang membuat perguruan ini jauh dari ingar bingar konflik dan pertikaian. Bahkan, dianggap sebagai aliran pencak silat yang “sejuk”.
#1 Pencak silat yang sejuk, membuat orang tua dukung anaknya latihan
Saat itu, saya berbincang dengan Juwarti (53) yang sedang mengantar anak lelakinya yang berusia 16 tahun. Anaknya akan mengikuti sebuah kompetisi di kelas petarung sehingga ikut latihan intensif.
Awalnya Juwarti tak pernah menargetkan anaknya agar bisa berprestasi di dunia pencak silat. Baginya, mengikuti beladiri supaya anaknya bisa membentengi diri. Ia mengaku yakin dengan Tapak Suci lantaran aliran ini “sejuk”.
“Nuansa agamanya kuat. Di jiwa rasanya sejuk saja gitu. Walaupun beladiri tapi nggak jago-jagoan. Bukan untuk unjuk gigi,” ujarnya. Rekannya sontak tertawa sambil menunjuk gigi Warti yang sudah tanggal.
Menurut Warti, keikutsertaan anaknya di Tapak Suci membuatnya sedikit tenang. Anaknya bisa terhindar dari kenalakan pelajar yang marak di Jogja. Energi remajanya yang melimpah tersalurkan di gelangang.
“Ini walaupun beladiri saya justru tenang. Pelatih ikut mengawasi anak-anak jangan sampai ikut klitih opo geng-gengan. Banyak kan sekarang pelajar itu,” curhatnya.
#2 Proses panjang menjadi pendekar Tapak Suci
Selain itu, pelatih Tapak Suci di sana, Bowo Saputro memaparkan bahwa Tapak Suci Putera Muhammadiyah memiliki tiga jenjang yakni siswa, kader, dan pendekar. Siswa menggunakan sabuk kuning, kader berwarna biru, dan pendekar menggunakan sabuk berwarna hitam.
Perlu proses panjang untuk menjadi pendekar di perguruan ini. Menamatkan jenjang sabuk kuning saja perlu waktu paling cepat 2,5 tahun. Berlanjut pada jenjang kader yang memakan durasi rata-rata lima tahun. Beberapa perguruan lain, hanya butuh 2-3 tahun sampai bisa menyandang gelar pendekar.
“Kalau sesuai kurikulum, bisa sabuk hitam paling cepat 7,5 tahun. Tapi realitanya kebanyakan jauh lebih lama,” terangnya.
Lamanya proses naik tingkat membuat para anggota Tapak Suci, terutama hingga menjadi pendekar, membuat rasa jumawa tidak mudah muncul.
#3 Terintegrasi dengan pendidikan di sekolah
Selanjutnya, salah satu aspek yang membuat Tapak Suci berkembang pesat adalah integrasinya dengan ekstrakulikuler di sekolah-sekolah Muhammmadiyah. Di perguruan tinggi juga menjadi salah satu unit kegiatan mahasiswa.
Setiap siswa TS harus memahami gerak dasar pencak silat dengan baik saat hendak naik tingkat. Tidak sekadar menghafal namun tidak punya pengetahuan yang matang. Buat Bowo, cepat naik tingkat tidak selalu sejalan dengan kualitas didikan.
“Di perguruan kami, tidak mengejar banyak pendekar supaya terlihat ‘wah’. Lebih menekankan pemahaman gerak beladiri yang matang dan juga akhlaknya,” terangnya.
Baca halaman selanjutnya…
Ribut di jalan jadi aib besar hingga selalu berusaha rasional