Sejumlah mahasiswa mengeluhkan pencairan dana beasiswa Kartu Indonesia Pintar (KIP) Kuliah (dulu bernama Bidikmisi) yang mengalami keterlambatan. Penanggung Jawab Program KIP dari Puslabdik Kemendikbud Ristek, Muni Ika, sampai harus memberikan klarifikasi. Menurutnya, keterlambatan pencairan KIP Kuliah terjadi karena masih banyak kampus yang belum melakukan pendataan mahasiswanya di PDDikti.
“Karena belum ada datanya, sehingga tidak bisa dicairkan,” kata Muni Ika, melansir Detik.com, Kamis (7/3/2024).
KIP Kuliah sendiri merupakan program beasiswa pemerintah bagi mahasiswa kurang mampu. Program ini merupakan pengganti Bidikmisi yang telah dihapus pada 2020 lalu. Secara teknis dan skema pencairan, keduanya kurang lebih sama. Nominal dana ke penerimanya saja yang berbeda.
Namun, yang jelas, perkara keterlambatan pencairan ini sebenarnya bukan isu baru. Sejak namanya masih Bidikmisi, beasiswa ini kerap molor pencairannya dan bikin banyak mahasiswa penerimanya nelangsa.
Salah satunya Maria (25), alumnus Universitas Negeri Yogyakarta, yang pernah mengalami masa sulit akibat pencairan beasiswa Bidikmisi yang terlambat.
Maria adalah narasumber Mojok yang kisahnya pernah saya tulis dalam liputan “Nestapa Mahasiswa Bidikmisi: Dianggap Foya-foya, Padahal Buat Makan Saja Pernah Mengais Nasi Sisa Seminar”. Pada Rabu (6/3/2024) saya kembali menghubunginya untuk mengobrol terkait betapa struggle-nya hidup di perantauan bermodal beasiswa Bidikmisi.
Mahasiswa bidikmisi yang beneran miskin
Maria merupakan salah satu mahasiswa yang mematahkan anggapan bahwa “penerima bidikmisi bisa foya-foya”. Baginya, foya-foya adalah kata yang tabu. Jangankan buat party, sekadar makan rutin dua kali sehari saja sulit.
Mahasiswa asal Sumatera Utara ini berasal dari keluarga petani. Baginya, bisa kuliah adalah sebuah mukjizat. Sebab, ia mengaku tak pinter-pinter amat untuk bersaing lolos ke kampus negeri, apalagi beasiswa. “Aku lolos SNMPTN modal hoki aja. Lolos Bidikmisi juga modal miskin,” ujarnya, saat kembali saya hubungi Rabu (6/3/2024) kemarin.
Datang ke perantauan, Maria mengaku hanya modal nyawa. Ia tak punya kenalan, tak ada barang berharga yang dibawa selain beberapa lembar baju dan ponsel, serta baru pertama kali hidup jauh dari rumah.
Untungnya, dia punya teman mahasiswa dari daerah yang sama, kenal dalam pertemuannya di organisasi mahasiswa daerah (Ormada). Tak butuh waktu lama buat Maria akrab dengan mereka. Bahkan, mereka sudah seperti keluarganya di perantaun.
Di sini lucunya. Meski akhirnya punya sahabat dekat, kata Maria, “mereka semua sama-sama miskin”. “Jadi kalau ngumpul bukannya foya-foya, tapi merenung bareng, laper bareng,” kelakarnya.
Mahasiswa Bidikmisi yang hidup dari seminar ke seminar
Beasiswa Bidikmisi, nyatanya tak terlalu membantu keuangan Maria. Sekadar punya duit cukup untuk bisa makan rutin, itu sudah baik. Sayangnya, tiap kali pencairan Bidikmisi, duitnya sudah harus terkuras habis bua dia berikan ke orang tua.
“Yang setengah aku transfer ke orang tua. Buat bayar hutang mereka juga.”
Kondisi makin buruk ketika Bidikimsi telat cair. Kata Maria, ini sering kejadian, tak hanya sekali atau dua kali saja. Durasi keterlambatannya pun juga enggak ngotak. Tak cuma satu atau dua minggu, tapi bisa pencairan Bidikmisi sering molor sampai berbulan-bulan.
Demi memastikan gizinya tetap tercukupi, Maria dan teman-temannya punya kebiasaan unik yang terus mereka lakukan–bahkan ketika menjelang lulus. Yakni berburu acara seminar demi makan gratisan. Seminarnya pun yang gratisan juga tentunya.
Tiap bulan ada banyak seminar yang pernah mereka datangi. Seminar gede-gedean bikinan universitas, fakultas, jurusan, hingga yang kecil-kecilan dari ormawa dan seminar skripsi yang nyediain nasi box, mereka sikat semua.
“Persetan dengan materi seminar, yang penting dapat makanan gratis. Metode pertahanan diri paling ampuh,” kata eks mahasiswa penerima Bidikmisi ini.
Petualangannya berburu nasi gratis di seminar-seminar tak selalu berjalan mulus. Ada kalanya, mereka cuma kebagian snack. Lebih naas lagi kalau sama sekali tak ada nasi yang bisa mereka bawa pulang. Akhirnya, terpaksa laper bareng di kontrakan.
Mengumpulkan nasi sisa bekas seminar
Ada satu kisah yang selalu tersimpan di memori alumnus penerima Bidikmisi asal UNY ini. Bahkan, jika ia mengingatnya lagi, air mata kerap tak bisa dia bendung.
Ceritanya, sekitar 2019 lalu, seperti biasa Maria dan teman-temannya menghadiri acara Stadium General di Gedung Rektorat UNY. Lagi-lagi demi berburu nasi gratis. Meskipun sudah siap di lokasi, ternyata mereka tak bisa masuk karena acara tersebut ternyata khusus mahasiswa baru.
Maria dan teman-temannya pun kecewa berat. Mereka akhirnya hanya glundhang-glundung di selasar Gedung Rektorat, WiFian sambil menahan lapar.
Setelah acara rampung, banyak peserta Stadium General yang berbondong keluar dan makan di selasar rektorat. Mereka makan di sana serta meninggalkan sampah nasi box-nya begitu saja.
Maria dan teman-temannya saling menatap. Meski tak ada satu kata pun yang terucap, dalam kepala mereka seolah sudah ada kesepakatan untuk melakukan “niat gila”. Saat kondisi sepi, insting bertahan hidup mereka bekerja.
“Kami bongkar satu per satu box-nya. Ambilin nasi sisa dan lauk-lauk yang kira-kira masih layak terus kami bawa ke kos,” kata Maria. “Di kos kami makan sambil nangis. Ternyata memang sesusah itu. Enggak kepikiran aja kita bisa punya niat segila itu, makan sisa orang tanpa jijik.”
Kalau bisa beasiswa jangan sampai telat
Menyaksikan berita soal keterlambatan beasiswa KIP Kuliah baru-baru ini, bikin Maria sedih. Memang, tak sedikit orang memandang sinis beasiswa dan para penerimanya. Banyak dari mereka koar-koar seolah semua penerima beasiswa itu suka foya-foya dari duit pemerintah.
Padahal, bagi mahasiswa penerima Bidikmisi seperti Maria, beasiswa itu yang bikin dia bisa tetap bertahan hingga lulus kuliah. Ia juga yakin, ada banyak orang lain di luar sana yang punya nasib serupa dirinya, bahkan jauh lebih buruk.
“Kalau bisa jangan sampai telat lah. Saya tahu rasanya bergantung pada duit beasiswa. Dan itu jadi satu-satunya pegangan kita-kita ini,” tutup mahasiswa yang sudah lulus 2021 lalu tersebut.
Penulis: Ahmad Effendi
Editor: Agung Purwandono
Ikuti berita dan artikel Mojok lainnya di Google News.