Mojok
KIRIM ARTIKEL
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
Kirim Artikel
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Beranda Liputan Catatan

Orang Surabaya Jengkel dengan Orang Jogja, dari Luar Tampak Kalem Aslinya Banyak “Ngawurnya”

Aisyah Amira Wakang oleh Aisyah Amira Wakang
27 Agustus 2025
A A
Orang Surabaya jengkel saat merantau di Jogja. MOJOK.CO

ilustrasi - Orang Surabaya jengkel dengan orang Jogja yang tampak kalem dari luar. (Ega Fansuri/Mojok.co)

Bagikan ke WhatsAppBagikan ke TwitterBagikan ke Facebook

Meski sama-sama berasal dari Jawa, Surabaya dan Jogja punya kultur yang berbeda bahkan dalam cara bicara. Orang Surabaya sering dikira ceplas-ceplos, tidak selembut orang Jogja. Perbedaan ini membuat orang Surabaya sedikit kesulitan dalam beradaptasi.

***

Saya pernah kaget saat dimarahi oleh pengendara sepeda motor di Jogja. Bikin saya sadar bahwa tak selamanya orang Jawa itu soft spoken, walaupun sebagai orang Surabaya saya pun tahu jika cara bicara kami dianggap kasar.

Waktu itu saya sedang membonceng teman dengan Mio matic saya. Saya yang asyik bergurau dengan teman saya tidak sadar kalau di depan sedang lampu merah. Sementara saya ngegas-ngegas saja tanpa bermaksud mengurangi kecepatan.

Saat sadar, motor saya sudah berada dekat dengan motor pengendara lain. Otomatis saya langsung mengerem secara mendadak, tapi cakram rem saya tidak terlalu makan. Saya dan teman saya panik sambil cengengesan. 

Teman saya langsung menurunkan kedua kakinya untuk memperlambat laju roda belakang. Sedangkan setir saya sudah oleng tapi tak sampai jatuh. Namun tetap saja, kami masih kena semprot oleh salah satu pengendara motor lain. 

“Piye to Mbak, ati-ati lek nyetir (Bagaimana sih mbak, hati-hati kalau menyetir).” ujar dia pelan, tanpa bentakkan.

Dari sana saya terkejut. Bukan karena dimarahi, tapi cara dia memarahi saya begitu lembut. Entah kenapa, teguran itu membuat saya malu sendiri dan sungkan. Persis seperti budaya Jawa, sungkanan. Sementara kalau di Surabaya, saya pasti sudah ditegur habis-habisan.

“Motomu picek a, Cok? (Matamu nggak lihat kah, Cok)” begitu bayangan saya kira-kira.

Tampangnya saja kalem

Ternyata tak hanya saya saja yang berpikir kalau orang Jogja itu tampak kalem dari luar, tapi punya emosi menggebu yang ia pendam. Adel (24), orang Surabaya yang sudah lebih dari 5 bulan kerja di Jogja pun mengalaminya.

Yang bikin Adel terkejut adalah, ia sering melihat warga Jogja misuh-misuh di jalan. Bahkan mengemudinya suka ngawur, padahal dari luar mereka tampak kalem. Pernah waktu itu, Adel menjumpai pengendara motor yang langsung belok tanpa memperlambat motornya.

“Harusnya kan mereka berhenti sebentar, lihat-lihat dulu kondisi sekitar. Aku hampir nyasrak!” cerita Adel saat dihubungi Mojok, Selasa (26/8/2025).

Sepemahaman Adel pula, jalan jalur kanan umumnya dipakai untuk mendahului. Otomatis, banyak motor kencang yang melewatinya.

“Nah, orang-orang di sini tuh justru jalannya kalem di sebelah kanan, padahal kirinya kosong. Jadi ya sering aku klakson hehe,” kata Adel.

Iklan

Orang Surabaya harus menerka-nerka marahnya orang Jogja

Sialnya, Adel suka dikira orang pemarah karena terbawa gaya bicara orang Surabaya yang ceplas-ceplos. Jika tidak suka pada sesuatu, sikapnya pun bakal kentara. Berbeda dengan rekan-rekan kerjanya di Jogja.

Karena tampak kalem dari luar, Adel butuh usaha lebih untuk memahami suasana hati mereka. Terutama saat warga Jogja sedang marah. Caranya dengan menerka-nerka ekspresi mereka saat berbicara. 

“Apakah dia tegang, mode serius, atau biasa saja? Soalnya kalau dari suara nggak begitu kelihatan dia sedang marah atau tidak,” ucapnya.

Sebab, Adel sering tidak paham dengan kosakata warga Jogja. Jadi alih-alih memahami emosi mereka saat berbicara, Adel justru berusaha fokus menangkap isi pesannya dan mempelajari artinya. Sedangkan Adel lebih memilih apa adanya. Alhasil, ia sering dibilang kasar oleh teman-temannya.

“Soalnya aku cenderung blak-blakan dan apa adanya kalau ngomong. Jadi kadang pas lagi ngobrol, orang suka nyeletuk ‘kasare’” ujar Adel.

Sebetulnya, kata Adel, lingkungan kerjanya terdiri dari orang-orang perantauan. Tidak hanya orang Jogja saja. Otomatis perbedaan bahasa itu sangat kentara terutama saat mereka sedang bercanda.

“Ada beberapa hal yang menurut mereka lucu, tapi menurutku agak kurang common bercandaannya,” ucapnya.

Orang Jogja suka ikut campur urusan orang lain

Selain itu, salah satu budaya yang tidak disukai Adel adalah sifat ramah tamah orang Jogja. Sebetulnya, hal itu tidak masalah selama masih dalam batas wajar. Sayangnya, ia sering sekali menjempui orang Jogja yang kepo dengan masalah personal.

“Beberapa orang yang kujumpai cenderung terlalu ingin tahu urusan pribadi orang lain, ya nggak semua sih tapi ada beberapa yang begitu,” kata Adel. 

Sebagai orang Surabaya yang kurang peduli dengan urusan orang lain, kadang-kadang Adel merasa risih. Namun, untuk keramahan orang-orangnya, ia mengakui Jogja patut diacungi jempol.

Pada akhirnya, Adel banyak mendapatkan pengalaman yang berharga. Namun berusaha tetap menjadi dirinya sendiri. Pintar-pintar membaca situasi dan membawa diri sebab ia sadar jika tidak semua orang dapat memahaminya.

“Aku berusaha memperlakukan orang lain dengan baik, meskipun ada saja yang membuat kita tidak cocok. Dan itu wajar. Apalagi, aku cuman pendatang. Sebisa mungkin aku tetap sopan, ramah, dan menghargai orang lain,” kata Adel.

Penulis: Aisyah Amira Wakang

Editor: Muchamad Aly Reza

BACA JUGA: Mahasiswa Jakarta Terpaksa Belajar Bahasa Jawa biar Nggak Diketawain Orang Surabaya, Malah Geli Sendiri Pakai “Aku-Kamu” atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan

Terakhir diperbarui pada 27 Agustus 2025 oleh

Tags: culture shockjawaJogjaMerantau di Jogjaorang jogjaSurabaya
Aisyah Amira Wakang

Aisyah Amira Wakang

Artikel Terkait

Keturunan Keraton Yogyakarta Iri, Pengin Jadi Jelata Jogja Saja! MOJOK.CO
Esai

Keresahan Pemuda Berdarah Biru Keturunan Keraton Yogyakarta yang Dituduh Bisa Terbang, Malah Pengin Jadi Rakyat Jelata Jogja pada Umumnya

18 Desember 2025
UMP Jogja bikin miris, mending kerja di Jakarta. MOJOK.CO
Ragam

Menyesal Kerja di Jogja dengan Gaji yang Nggak Sesuai UMP, Pilih ke Jakarta meski Kerjanya “Hectic”. Toh, Sama-sama Mahal

17 Desember 2025
Sirilus Siko (24). Jadi kurir JNE di Surabaya, dapat beasiswa kuliah kampus swasta, dan mengejar mimpi menjadi pemain sepak bola amputasi MOJOK.CO
Sosok

Hanya Punya 1 Kaki, Jadi Kurir JNE untuk Hidup Mandiri hingga Bisa Kuliah dan Jadi Atlet Berprestasi

16 Desember 2025
Berantas topeng monyet. MOJOK.CO
Liputan

Nasib Monyet Ekor Panjang yang Terancam Punah tapi Tak Ada Payung Hukum yang Melindunginya

15 Desember 2025
Muat Lebih Banyak
Tinggalkan Komentar

Terpopuler Sepekan

Riset dan pengabdian masyarakat perguruan tinggi/universitas di Indonesia masih belum optimal MOJOK.CO

Universitas di Indonesia Ada 4.000 Lebih tapi Cuma 5% Berorientasi Riset, Pengabdian Masyarakat Mandek di Laporan

18 Desember 2025
Menteri Kebudayaan Fadli Zon dan Wali Kota Agustina Wilujeng ajak anak muda mengenal sejarah Kota Semarang lewat kartu pos MOJOK.CO

Kartu Pos Sejak 1890-an Jadi Saksi Sejarah Perjalanan Kota Semarang

20 Desember 2025
Pasar Petamburan di Jakarta Barat jadi siksu perjuangan gen Z lulusan SMA. MOJOK.CO

Pasar Petamburan Jadi Saksi Bisu Perjuangan Saya Jualan Sejak Usia 8 Tahun demi Bertahan Hidup di Jakarta usai Orang Tua Berpisah

19 Desember 2025
Gedung Sarekat Islam, saksi sejarah dan merwah Semarang sebagai Kota Pergerakan MOJOK.CO

Upaya Merawat Gedung Sarekat Islam Semarang: Saksi Sejarah & Simbol Marwah yang bakal Jadi Ruang Publik

20 Desember 2025
Gagal dan tertipu kerja di Jakarta Barat, malah hidup bahagia saat pulang ke desa meski ijazah S1 tak laku dan uang tak seberapa MOJOK.CO

Dipecat hingga Tertipu Kerja di Jakarta Barat, Dicap Gagal saat Pulang ke Desa tapi Malah bikin Ortu Bahagia

19 Desember 2025
Undang-Undang Tanjung Tanah dan Jejak Keadilan di Sumatera Kuno pada Abad Peralihan

Undang-Undang Tanjung Tanah dan Jejak Keadilan di Sumatera Kuno pada Abad Peralihan

14 Desember 2025

Video Terbaru

SD Negeri 3 Imogiri Bantul: Belajar Bergerak dan Bertumbuh lewat Sepak Bola Putri

SD Negeri 3 Imogiri Bantul: Belajar Bergerak dan Bertumbuh lewat Sepak Bola Putri

18 Desember 2025
Ketakutan pada Ular yang Lebih Dulu Hadir daripada Pengetahuan

Ketakutan pada Ular yang Lebih Dulu Hadir daripada Pengetahuan

17 Desember 2025
Undang-Undang Tanjung Tanah dan Jejak Keadilan di Sumatera Kuno pada Abad Peralihan

Undang-Undang Tanjung Tanah dan Jejak Keadilan di Sumatera Kuno pada Abad Peralihan

14 Desember 2025

Konten Promosi



Summer Sale Banner
Google News
Ikuti mojok.co di Google News
WhatsApp
Ikuti WA Channel Mojok.co
WhatsApp
Ikuti Youtube Channel Mojokdotco
Instagram Twitter TikTok Facebook LinkedIn
Trust Worthy News Mojok  DMCA.com Protection Status

Tentang
Kru
Kirim Artikel
Kontak

Kerjasama
Pedoman Media Siber
Kebijakan Privasi
Laporan Transparansi

PT NARASI AKAL JENAKA
Perum Sukoharjo Indah A8,
Desa Sukoharjo, Ngaglik,
Sleman, D.I. Yogyakarta 55581

[email protected]
+62-851-6282-0147

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.

Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal Mojok
  • Mau Kirim Artikel?

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.