Caleg gagal melenggang ke parlemen menyisakan luka mendalam bagi orang-orang terdekat. Ada perceraian dan kisah anak-anak yang nyaris gagal melanjutkan pendidikan akibat ambisi jadi wakil rakyat tanpa persiapan matang.
***
Sejak 2014, kondisi keluarga Tio* (25) tidak pernah kembali seperti sebelumnya. Kegagalan bapaknya menjadi caleg berujung penurunan kondisi ekonomi dan luka di batin anak-anaknya. Bapaknya sempat terpuruk, stres, dan kehilangan gairah hidup. Sementara kondisi ekonomi keluarga terus memburuk.
Sebelum memutuskan untuk maju menjadi calon wakil rakyat, sejatinya, usaha bapaknya sedang berkembang. Di ingatan Tio, ia dan adik-adiknya tak pernah sulit untuk meminta kebutuhan. Biaya sekolah pun tidak pernah tersendat.
“Tapi sejak jadi caleg gagal, bayar spp selalu minta dispensasi ke sekolah. Bapak dan ibu sering bertengkar setelah itu. Aku hampir nggak kuliah. Harus kerja dulu dan membiayai kuliahku sendiri sejak awal,” kenang Tio saat saya jumpai Minggu (26/11/2023).
Dalam ingatan samar-samar, Tio tahu bapaknya dulu memang sudah aktif berkegiatan organisasi UMKM di Sleman. Jejaring dengan sesama pengusaha kecil itu membuatnya ingin maju menjadi legislator.
“Ya mau mewakili suara pengusaha kecil katanya dulu,” terangnya.
Sejak awal, Tio yang saat itu masih duduk di bangku SMP sudah merasa tidak setuju dengan keputusan bapaknya. Ia sempat mempersoalkan hal itu ke ibunya, lantaran ia tak biasa banyak berbicara dengan bapaknya. Namun, ibunya yang sebenarnya tidak sepenuhnya sepakat dengan jalan suaminya pun tidak bisa berbuat banyak.
Bapaknya maju sebagai calon anggota DPRD Kabupaten/Kota lewat partai NasDem yang punya slogan anti politik mahar. Meski tanpa mahar, bukan berarti proses menjadi wakil rakyat tidak butuh ongkos besar.
“Ya kalau dihitung ongkosnya mungkin bisa untuk beli Toyota Innova baru tahun 2014. Lebih sedikit,” ungkapnya.
Teror malam hari di rumah jelang pemilu
Selain kampanye konvensional, turun ke masyarakat, memasang alat peraga kampanye seperti baliho, Tio juga menyaksikan kejanggalan terjadi di rumahnya. Bapaknya melakukan sesuatu yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya.
“Di antara tim suksesnya itu ada orang pinter, semacam paranormal begitu,” kenangnya.
Tio ingat, suatu malam, beberapa tim sukses itu sedang berkumpul untuk mengaji di rumahnya. Tiba-tiba saja orang pintar itu menghentikan pengajian seraya berujar bahwa rumah ini sedang diamati. Lelaki itu kemudian menyuruh semua orang yang hadir untuk membuka jendela dan pintu rumah.
“Ini benar-benar nggak masuk akal. Setelah jendela dibuka tiba-tiba ada burung masuk dan terbang tepat ke genggaman orang pintar itu,” kelakarnya.
Salah satu kejadian paling aneh yang pernah Tio alami. Burung itu kemudian disembelih. Orang pintar itu lantas menguburnya di halaman rumah.
Saat menceritakan itu, Tio tak henti-hentinya tertawa. Kini ia bisa menertawakan hal itu dengan ringan. Namun, lelaki yang kini masih berjuang menyelesaikan studinya yang molor karena sambil bekerja ini mengaku masih sering membayangkan jika bapaknya dulu tidak memutuskan untuk maju menjadi caleg.
“Rasanya hidup nggak akan seperti ini. Nggak perlu merasakan kepahitan-kepahitan yang sulit dilupakan,” paparnya.
Terpuruknya caleg gagal sampai anak tidak bisa melanjutkan pendidikan
Optimisme yang terbangun selama masa kampanye beralih menjadi suasana duka di rumah saat rekapitulasi hasil suara keluar. Bapak Tio tidak terpilih setelah hampir semua hartanya ia gelontorkan.
Hari-hari setelahnya, Tio melihat bapaknya sebagai sosok yang berbeda. Sering melamun di rumah dengan wajah yang muram. Emosi bapaknya terlihat tidak stabil sehingga kerap bersitegang dengan ibunya untuk perkara-perkara sederhana.
“Sebagai anak pertama yang saat itu masih SMA yang bisa aku lakukan ya cuma jaga moral empat adikku,” tuturnya.
Bukan hanya dengan keluarga inti, hubungan bapaknya dengan beberapa saudara pun menjadi renggang karena perbedaan pilihan saat pemilu. Sebagai anak pertama, Tio merasakan betul dampaknya.
“Saat lebaran itu aku yang mimpin adik-adikku silaturahmi ke tempat saudara karena bapakku nggak bisa,” katanya.
Perihal ekonomi, situasinya juga memprihatinkan. Tio ingat, bahkan untuk memenuhi kebutuhan makan keluarga ibunya sampai kerap meminjam uang ke tetangga. Kondisi itu tak pernah ia bayangkan sebelumnya.
Sampai kini, kondisi ekonomi keluarga tak pernah benar-benar pulih. Usahanya bapaknya tak pernah kembali berkembang seperti dahulu.
“Setelah lulus SMA aku memutuskan keluar rumah. Walaupun masih di Jogja, aku memilih tinggal di kos, mulai dari numpang di tempat teman sampai akhirnya mampu bayar kuliah sendiri,” paparnya.
Kini, dua adiknya yang harusnya sudah masuk waktu kuliah pun terpaksa menunda masuk perguruan tinggi. Entah untuk sementara atau memang selamanya menggantungkan mimpi menjadi sarjana. Sementara Tio, terus berjuang dengan hidupnya sambil sedikit demi sedikit mengumpulkan modal untuk membantu adiknya.
Baca selanjutnya…
Nyaleg ingin memperbaiki ekonomi berujung cerai dengan istri