Tanggal 26 Juli 2021, pedagang Malioboro diizinkan untuk mulai beraktivitas. Meski demikian, belum banyak pedagang kaki lima yang memanfaatkannya. Ini tidak lepas dari kebijakan masih ditutupnya akses Jalan Malioboro untuk umum.
Saya menemui Bu Sani (60), penjual soto ayam di kawasan Malioboro, tepatnya di depan pintu barat Komplek Kepatihan Danurejan, yang juga Kantor Gubernur DIY, Jumat (30/7/2021). Saya memesan soto ayam tanpa nasi, sambil berbincang dengannya.
“Saya pun pasrah mawon Mas. Bismillah mawon, misale kula teng omah, mangan turu, mangan turu, nggih mangke nek artone telas, mangan ngagem nopo mas?” katanya ketika saya tanya alasan kenapa jualan, sementara jalan Maliboro masih ditutup untuk umum.
Di pintu barat kepatihan, di hari-hari biasa banyak penjual makanan. Tapi hari itu saya hanya melihat gerobak soto milik Bu Sani dan Angkringan milik Pak Diman (64) yang baru berjualan.
Bu Sani mengatakan, kalau dia di rumah terus hanya makan dan tidur, ada saatnya uangnya habis dan tidak bisa makan. Maka pilihannya ia harus berjualan.
Sejak suaminya meninggal, Bu Sani tulang punggung keluarga. Ia menanggung kehidupan anak dan cucunya. Anaknya juga biasa berjualan makanan di Malioboro, namun dengan kondisi modal yang tidak ada, maka ia yang akhirnya jualan. “Minimal untuk modal beli beras, areng, ayam satu hari itu habis 300 ribu kurang,” kata perempuan asal Gunungkidul yang saat ini tinggal di Pajeksan, tak jauh dari Malioboro.
Ini adalah hari pertama ia jualan. Sampai saya datang, baru dua mangkok soto yang laku. Itu tamu dari Jakarta. Bu Sani mengatakan, kalau pun hanya berdiam diri di rumah, ia juga mati, maka ia memilih untuk berjualan dengan segala kepasrahannya.
“Saat saya berangkat, saya doa. Bismillah, Gusti Allah, mugi-mugi mangke payu, mugi-mugi mangke lancar,” kata Bu Sani. Dari balik maskernya saya tahu, doa sederhana agar dagangannya laku dan semua dilancarkan itu diucapkan dengan bibir yang bergetar.
Sambil menikmati soto Bu Sani, saya memesan teh tawar dari angkringan Pak Diman (64). Ia mulai jualan hari Rabu. Seperti Bu Sani, Pak Diman mulai berjualan setelah pemerintah mengizinkan pedagang berjualan di Malioboro. “Saya tahu pasti juga belum ada pembeli, lah akses ke Yogyakarta atau ke Malioboro masih ditutup kok,” katanya terkekeh.
Ia dan istrinya memutuskan berjualan, hitung-hitung mencari hiburan. Apalagi ia dan istrinya sudah tua, kalau cuma nglangut dan banyak mikir sementara nggak ada uang, bisa bahaya.
“Di rumah jenuh, Mas. Glundang glundung seperti melon nggak ada pemasukan tapi ada pengeluaran terus, ya sudah saya niati sama istri untuk ke Malioboro jualan, minimal untuk teman-teman sesama pedagang,” kata Pak Diman.
Dua hari jualan, Pak Diman bersyukur, hasil jualan sehari sebelumnya bisa untuk modal kulakan jualan hari berikutnya. Ia sendiri belum yakin apakah hasil penjualan hari ini bisa digunakan untuk kulakan hari berikutnya. “Minimal di Malioboro bisa ngumbar moto, di rumah hiburannya cuma tv, di sini bisa lihat jalan, temannya banyak,” katanya.
Pak Diman mengaku, sampai saat ini dirinya dan pedagang lain di Malioboro belum dapat bantuan apapun dari pemerintah. Hari itu, perwakilan pedagang memasang bendera putih di sepanjang Malioboro. Itu adalah cara untuk mengetuk hati pemerintah untuk memperhatikan mereka. Bagaimana pun Malioboro dan penghuninya menjadi bagian dari aset Yogyakarta. “Bantuan sembako belum pernah, syukur-syukur pedagang yang kehabisan modal dibantu,” katanya. Harapan paling besar tentu agar situasi bisa membaik, pandemi usai, dan akses Malioboro bisa dibuka.
Saya bergeser ke selatan, tepatnya ke angkringan yang tetak di pojokan Jalan Suryatmajan-Malioboro. Pemiliknya Maryadi (58) yang seperti pedagang lain memanfaatkan kesempatan untuk membuka kembali usahanya yang tutup selama masa PPKM. Ia tahu, tidak akan banyak pembeli yang datang ke angkringannya.
“Daripada glundang-glundung, klatah klitih nggak jelas di rumah, mending ke sini Mas,” katanya saat dijumpai Mojok, Jumat 30 Juli 2021. Saya memesan es teh dan nasi bakar. Saya clingak clinguk mencari tempe goreng atau tahu bacem kesukaan saya. Kosong.
“Masih sedikit yang titip Mas,” katanya. Baru ada nasi kucing, nasi bakar, dan roti bakar, juga ada emping melinjo. Saya mengambil dua bungkus. Agak ganjil juga makan nasi kucing dengan lauk emping melinjo.
Maryadi berangkat dari rumahnya di Jogonegaran dan tiba di Malioboro pukul 6 pagi. Di hari-hari biasa, wisatawan yang menikmati Malioboro di pagi hari adalah sasarannya. Ia tidak lama jualan di kawasan Malioboro. Pukul satu siang ia sudah pulang.
Maryadi tidak menolak PPKM, bahkan hari-hari awal pemberlakuan kebijakan itu, ia ikut merasakan suasana yang mencekam. “Dua minggu pertama PPKM itu memang ngeri, orang-orang kesulitan cari oksigen. Dulu yang kena Covid itu orang-orang yang nggak saya kenal, pas PPKM tetangga saya banyak yang kena. Padahal mereka orang-orang yang tidak keluar rumah,” kata laki-laki yang akrab dipanggil Pak Lele.
“Saya dulu sempat jualan pecel lele,” katanya diiringi senyum begitu melihat raut muka saya yang heran mendengar namanya. Pak Lele, ini jualan angkringan di Malioboro sejak 15 tahun silam.
Dari tanggal 26 juli hingga 30 Juli, Pak Lele baru buka angkringannya 3 hari. Selasa 27 Juli bertepatan dengan Selasa Wage dimana seluruh penjual di kawasan Malioboro libur.
Pak Lele mengatakan, meski tidak berharap banyak dari wisatawan yang membeli makanan di tempatnya, setidaknya ia bisa menyediakan makanan untuk rekan-rekan pedagang yang butuh minuman. “Kalau bantuan, belum ada. Kondisi seperti ini yang bisa diharapkan ya bantuannya seko Gusti Allah, Mas. Kalau dari orang-orang katanya cuma mau dapet, tapi nggak pernah dapat kok,” kata Pak Lele yang menanggung biaya hidup 2 anaknya yang masih sekolah.
“Bantuan opo mas, saiki sik iso mbantu ki yo mung seko Gusti Allah,” kata perempuan yang duduk di angkringan Pak Lele. Namanya Ratmiyati (39), orang-orang biasa memanggilnya dengan Mba Temil, penjual bakpia dan minuman di kawasan Malioboro.
Mba Temil mengatakan ia yang juga mulai jualan tanggal 26 juli berharap pada mantera, “Mbok menowo…” Frasa yang maknanya Kalau-kalau ada. “Ya kalau-kalau ada yang membeli..itu saja, minimal yang beli itu teman pedagang sendiri,” kata Mba Temil.
Seperti Pak Lele, ia hanya bisa pasrah dengan kondisi saat ini. Baginya, yang setiap hari mencari uang, berdiam diri di rumah tanpa melakukan apa-apa itu adalah penyiksaan. Maka saat PPKM ia juga obah dengan membuka beberapa usaha kuliner. “Jualan mie kopyok, tiga hari modalnya habis. Ganti jual penyetan, berapa hari nggak kuat, nggak ada yang beli, mosok dipangan dewe terus. Tetangga juga mengalami kesulitan yang sama, jadi nggak mungkin beli,” katanya.
Meski tahu, dagangannya nggak akan terlalu laku sebelum PPKM, Mba Temil tetap datang ke Malioboro. Baginya itu cara untuk tetap semangat. “Bisa ketemu pedagang lain, minimal nyawang dalan, ketemu karo uwong,” kata Mba Temil yang tinggal di Notoyudan.
Selain menanggung hidup keluarganya, ia sejujurnya menopang kehidupan empat keluarga yaitu orang tua, mertua, dan saudaranya. Dua anaknya masih sekolah di sekolah swasta yang artinya ia harus membayar uang daftar ulang. “Saya datangi sekolahnya, minta dispensasi ke sekolah, saat ini belum bisa bayar. Saya nggak malu, saya nggak lari kok,” kata Mba Temil.
Ia juga berhenti mengangsur kredit di bank. Untungnya bank mengerti kondisinya sehingga memberikan penundaan. Saat ini ia bingung karena modal untuk berjualannya sudah habis. Barang yang dijualnya adalah stok lama. “Ngarepke bantuan apa, Mas? Danais….,” katanya menepuk jidatnya.
Ia mengatakan, bantuan yang diharapkan pandemi segera berakhir, jalur ke Malioboro bisa segera dimasuki pengunjung sehingga ada orang yang membeli minuman dan makanan yang ia jual. “Kondisi sekarang tak syukuri mas, keluargaku semua sehat, jangan pakai sakit lah pokoknya, kalau sampai sakit, waduuuh, cothooooo!” ujarnya serius.
Pak Lele menimpali, yang penting jangan sampai ada rasa iri. Karena menurutnya pikiran iri ke orang lain justru membuat pikiran sakit yang akhirnya lari ke fisik. “Sik penting keluar (dari rumah), usaha, mesti ono rejekine,” ujar Pak Lele.
Hari itu, Jumat 30 Juli sejumlah orang yang terkumpul dalam paguyuban pedagang di kawasan Malioboro memasang puluhan bendera putih di sepanjang jalan tersebut. Bendera putih itu tak terpasang lama, karena tak sampai satu jam kemudian Satpol PP Kota Yogya mengambilnya. Namun, mereka lega bisa menyuarakan kondisi yang tengah mereka alami.
Beberapa perwakilan komunitas Malioboro yang terdiri Desio Hartonowati (Ketua Lesehan Malioboro), Bu Yeti (Ketua Angkringan Malioboro), Pak Sito (Ketua PPMS) membacakan pernyataan Malioboro berkabung.
Inti dari pernyataan berkabung adalah perlunya mereka terobosan dari pemerintah untuk membantu nasib mereka. Salah satu pointnya, selain mengapresiasi Pemda DIY yang akan memberikan bantuan modal bergulir tanpa bunga untuk koperasi yang memayungi pedagang kaki lima di Kawasan Malioboro. Namun, mereka juga prihatin karena ada 9 paguyuban yang menaungi PKL Malioboro yang belum berbadan hukum koperasi tidak menerima bantuan modal bergulir.
“Oleh karena itu, kami berharap dan meminta kepada Gubernur DIY untuk mencarikan terobosan agar paguyuban-paguyuban yang tidak berbadan hukum koperasi, dapat mengakses modal bergulir tanpa bunga. Di samping itu, kami memohon pula, supaya PKL di kawasan Malioboro, dapat mengakses bantuan tunai langsung/bansos, maupun bantuan lainnya.
Desio Hartonowati mengatakan salah satu kebijakan yang membuat pedagang kuliner prihatin adalah aturan jam kerja. Pedagang lesehan barus bisa buka, mulai pukul 18.00. Sementara jam tutup adalah pukul 20.00 WIB. “Tidak mungkin rentang waktu tersebut bisa jualan, kami minta kebijakan supaya bisa berjualan sampai pukul 23.00,” kata Desio.
BACA JUGA Sisi Lain dari Klitih Anak Sekolah di Yogyakarta dan liputan menarik lainnya di rubrik SUSUL.