Badan Pusat Statistik (BPS) memperkirakan produksi beras dari Bulog tahun 2025 bakal naik sebesar 13,54 persen dibanding satu tahun yang lalu. Sehingga tahun 2025, produksinya bisa mencapai 34,77 ton.
Sementara, kebutuhan konsumsi tahun ini sendiri diperkirakan hanya 30,9 juta ton. Artinya, Bulog dapat menepati janjinya dengan tidak mengimpor beras, karena berhasil surplus sekitar 3 juta ton.
Pengurus Pusat Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia (PERHEPI), Khudori, menilai kenaikan produksi beras sebetulnya jarang terjadi, jika melihat capaian dari tahun-tahun sebelumnya.
“Amat jarang produksi beras bisa naik lebih 5 persen,” ucap Khudori dikutip dari keterangan resmi, Minggu (23/11/2025).
Meski begitu, Khudori menegaskan kenaikan produksi beras lebih dari 5 persen bukanlah hal yang mustahil. Ia mencatat ada 3 faktor yang menyebabkan hal itu terjadi, yakni:
- Low base effect. Pada periode 2018 hingga 2024, produksi beras tahun 2024 menjadi yang terendah. Ketika posisi awal pertumbuhan rendah, maka secara otomatis persentase kenaikan akan tinggi. Menariknya, kenaikan produksi bukan hanya dari sisi persentase, tetapi juga dalam tingkat produksi yang telah melampaui 2018 yakni sebesar 33,94 juta ton beras.
- Seluruh sumber daya, terutama dari segi anggaran dan manusianya. Tahun ini, Kementerian Pertanian (Kementan) betul-betul difokuskan pada beras dan jagung, termasuk penambahan volume pupuk bersubsidi menjadi 9,55 juta ton dengan mekanisme penyaluran yang sederhana. Ini memungkinkan petani mengakses pupuk bersubsidi lebih mudah.
- Berkah alam. Tak bisa dipungkiri, faktor alam yang sering menghadirkan hujan sepanjang tahun membuat produksi padi tumbuh subur. Tak hanya di sentra-sentra wilayah produksi padi tapi juga di wilayah yang biasanya tak bisa diusahakan. Luas panen pun naik tinggi sekitar 1,3 juta ha atau 12,98 persen.
Di balik capaian Bulog ada jerih payah petani yang tak terlihat
Namun, pemerintah tak boleh lengah atas perkiraan capaian produksi tersebut. Khudori mencatat kenaikan produksi beras sejatinya disumbang oleh penambahan luas panen, dari yang awalnya 10,05 juta ha pada 2024 menjadi 11,36 juta ha di tahun 2025. Padahal, mencetak sawah baru juga memerlukan anggaran yang besar dan waktu yang lama.
“Meningkatkan produksi dengan menambah luas panen bisa ditempuh dengan menaikkan indeks pertanaman dan mencetak sawah baru. Tapi kedua langkah ini tidak mudah. Indeks pertanaman selama bertahun-tahun tak beranjak dari 1,4 sampai 1,5,” tutur Khudori.
Nyatanya, ketika luas panen ditambah pun, bukan berarti produktivitas petani ikut meningkat. Memang benar, tahun ini petani bisa menghasilkan 5,31 ton gabah kering giling (GKG) per ha tapi kenaikannya hanya 0,45 persen dibanding tahun lalu. Pada periode 2018 hingga 2024 produktivitasnya bahkan hanya naik minor sebesar 0,13 persen.
“Inilah PR yang relatif belum tersentuh sampai saat ini. Meningkatkan produktivitas perlu lompatan adopsi teknologi dan penciptaan inovasi. Tanpa keduanya produktivitas sulit digenjot,” ujarnya.
Walaupun produksi naik, harga beras bakal tetap mahal
Alih-alih euforia dengan perkiraan produksi beras sebesar 34,77 juta ton, Khudori justru sangsi jika Bulog sudah memperhitungkan jumlah penyerapan gabah dengan kualitas tahun ini. Menurut catatan Khudori, masih ada beras hasil giling yang tidak memenuhi standar seperti berwarna kuning, kuning semu, atau kuning kecokelatan. Hal itu terjadi di Kantor Wilayah Bulog Sulawesi Selatan dan Barat.
Selain itu, akibat kebijakan penyerapan gabah semua kualitas oleh Bulog, rendemen alias perbandingan antara berat hasil dan bahan baku pengolahan jadi tidak pasti.
Di mana penyerapan gabah semua kualitas oleh Bulog mencapai 50,8 persen. Angka itu lebih rendah dari standar BPS untuk menghitung produksi beras saat ini, yakni sebesar 53,38 persen. Meskipun selisihnya hanya 2,58 persen tapi angka itu setara dengan 897 ribu ton beras.
“Ujungnya membuat harga beras pengadaan Bulog jadi mahal yakni Rp14.404 per kilogram. Ini akan memengaruhi harga pokok beras (HPB) Bulog yang harus dibayar pemerintah, di mana HPB Bulog diperkirakan mencapai Rp19.343/kg per kilogram,” jelas Khudori.
Khudori tak menampik adanya kecenderungan harga beras yang mulai turun tapi merujuk panel harga Badan Pangan Nasional 23 November 2025, rerata harga beras premium masih di atas harga eceran tertinggi (HET) di semua zona. Sementara rerata harga beras medium sudah di atas HET di semua zona.
Polri sebagai kaki tangan pengendalian harga beras
Di tengah aliran beras operasi pasar SPHP (Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan) oleh Bulog yang masih rendah sampai saat ini, harga beras medium ikut turun. Khudori menduga turunnya harga beras medium terjadi karena keberadaan Satgas Pengendalian Harga Beras.
“Satgas Pengendalian Harga Beras pada dasarnya adalah bentuk ketidakpercayaan pemerintah kepada pasar dan pelaku usaha. Karena itu, kebijakan yang ditempuh tidak melalui mekanisme pasar tapi memakai pendekatan keamanan dengan menjadikan Satgas Pangan Polri sebagai tangan kanan,” tuturnya.
Dugaan tersebut muncul mengingat Satgas Pengendalian Harga Beras dibentuk pada 20 Oktober 2025–tak lama setelah Menteri Pertanian Amran mendapat tambahan amanah baru sesuai Kepala Bapanas. Pembentukan satgas pun tercantum lewat Keputusan Kepala Bapanas Nomor 375 Tahun 2025.
“Jika perkiraan ini benar, pemerintah harus hati-hati untuk menjadikan penurunan harga itu sebagai dasar membuat kebijakan,” tegas Khudori.
Bisa dilihat, anggota Satgas Pengendalian Harga Beras di setiap daerah atau provinsi kini lebih banyak dikoordinasikan oleh Satgas Pangan Kepolisian Daerah. Mereka bertugas mengiidentifikasi usaha dan memeriksa harga, mulai dari produsen, distributor, toko besar, hingga retail modern.
“Jika sesuai HET, distempel patuh. Jika melebihi HET, diberikan surat teguran tertulis dengan penyesuaian waktu selama seminggu,” kata Khudori.
Menurutnya, pendekatan hukum seperti itu menciptakan ketidakpastian usaha. Belum lagi, keterlibatan aparat keamanan dalam stabilisasi harga tidak lagi mampu menggambarkan sinyal untuk pelaku usaha.
“Yang muncul kemudian sinyal palsu. Kalau sinyal palsu ini dijadikan dasar membuat kebijakan, kebijakan bisa salah.” Tegas Khudori.
Penulis: Aisyah Amira Wakang
Editor: Muchammad Aly Reza
BACA JUGA: Stok Beras Bulog Capai 4 Juta Ton, Lalu Gunanya untuk Rakyat Apa kalau Harganya Masih Anomali? atau liputan lain di rubrik Liputan












