Kapolrestabes Semarang Kombes Irwan Anwar harusnya dipecat dan dipenjara terkait kasus penembakan GR. Irwan dan jajaran polisi lain, setidaknya bisa dituntut dengan pasal rekayasa kasus, pencemaran nama baik, hingga penyebaran berita bohong.
***
Peristiwa penembakan terhadap GR, seorang siswa di Semarang, terjadi pada Minggu (24/11/2024) dini hari. Semula, Kapolrestabes Semarang Irwan Anwar mengklaim GR dan kawan-kawannya sebagai pelaku tawuran dan anggota gengster.
Irwan juga mengatakan, GR melakukan serangan kepada Aipda Robig Zaenudin yang hendak membubarkan tawuran. Kemudian, Robig membela diri dengan menembak GR hingga tewas.
Klaim ini terus diamplifikasi oleh polisi. Bahkan, mereka sempat mengadakan konferensi pers dengan menunjukkan barang bukti tawuran berupa parang dan pedang, beberapa hari setelahnya.
Sayangnya, klaim itu tak cukup kuat. Kesaksian beberapa warga menyebut tak ada tawuran di lokasi kejadian. Cerita versi Irwan pada akhirnya juga bertolak belakang dengan temuan penyidikan Bid Propam Polda Jawa Tengah.
Innalilahi wa innalilahi rojiun 🥀
Turut berduka cita
Seorang anggota Paskibra di SMK 4 Semarang, Jawa Tengah diduga menjadi korban penembakan oleh oknum polisi. Pelajar berinisial GRO itu dilaporkan tewas akibat luka tembak pada Minggu (24/11/2024). pic.twitter.com/9869ZASk7l
— Info Jateng (@Jateng_Twit) November 25, 2024
Dalam rapat dengan Komisi III DPR RI, Kepala Bid Propam Polda Jawa Tengah, Kombes Aris Supriyono menyatakan penembakan itu tak berhubungan dengan tawuran. Berdasarkan temuan timnya, motif penembakan karena pada saat perjalanan pulang, motor GR menyenggol kendaraan pelaku. Temuan ini juga diperkuat dengan rekaman CCTV yang menunjukkan tak ada tawuran di TKP.
Belakangan, klaim “senggolan” pun juga sudah dibantah oleh oleh AD (17), teman GR sekaligus korban selamat. Menurutnya, saat itu dia bersama GR tengah pulang dari latihan paskibra ketika sebuah motor tiba-tiba menghadang dan meletupkan tembakan yang menewaskan temannya itu.
Lantas, dari kasus tersebut, Mojok merangkum beberapa hal yang memperkuat mengapa Kapolrestabes Semarang Irwan Anwar harus dihukum.
#1 Kapolrestabes Semarang rilis barbuk tak sesuai SOP
Jajaran Polrestabes Semarang menggelar konferensi pers pada Rabu (27/11/2024). Dalam agenda tersebut, mereka mengklaim telah terjadi tawuran yang berujung pada penembakan polisi terhadap GR. Dalam konferensi pers itu juga, mereka merilis barang bukti berupa parang dan pedang.
Menariknya, perilisan barang bukti ini menyita perhatian warganet. Sebab, polisi memegang barang bukti tanpa mengenakan sarung tangan, yang tentu hal tersebut melanggar SOP.
Komisioner Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) Muhammad Choirul Anam menjelaskan, dalam memegang barang bukti, seseorang harus menggunakan handscoon atau sarung tangan. Tujuannya agar barang bukti tidak tercampur oleh sidik jari orang lain, termasuk sidik jari petugas.
Anam pun menyayangkan tindakan Propam (Profesi dan Pengamanan) dan Polda Jawa Tengah (Jateng) dalam menangani barang bukti tersebut. Menurutnya, Polda Jateng perlu menjelaskan alasan memegang barang bukti tersebut tanpa sarung tangan.
#2 Rekayasa kasus, bisa dipidana 9 tahun penjara
Klaim yang menyebut telah terjadi tawuran, telah terbantahkan oleh temuan Bid Propam Jateng dan rekaman CCTV. Dengan demikian, bisa dipastikan barang bukti yang dirilis pun adalah palsu.
Entah dari mana Polrestabes Semarang mendapatkannya. Tapi yang jelas, upaya tersebut mengarah pada rekayasa kasus. Klaim yang disampaikan sebelumnya, sudah pasti mengada-ada.
KUHP sendiri telah mengatur hukuman bagi para penegak hukum yang melakukan rekayasa kasus. Dalam Pasal 278 KUHP, dijelaskan lima kategori proses penyesatan peradilan. Antara lain:
- memalsukan, membuat, atau mengajukan bukti palsu untuk dipergunakan dalam proses peradilan;
- mengarahkan saksi untuk memberikan keterangan palsu di sidang pengadilan;
- mengubah, merusak, menyembunyikan, menghilangkan, atau menghancurkan alat bukti;
- mengubah, merusak, menyembunyikan, menghilangkan, atau menghancurkan barang, alat, atau sarana yang dipakai untuk melakukan tindak pidana atau menjadi objek tindak pidana, atau hasil yang dapat menjadi bukti fisik dilakukannya tindak pidana, atau menariknya dari pemeriksaan yang dilakukan pejabat yang berwenang setelah tindak pidana terjadi; atau,
- menampilkan diri seolah-olah sebagai pelaku tindak pidana, sehingga yang bersangkutan menjalani proses peradilan pidana.
Pasal 278 Ayat (2) huruf b menjelaskan, “jika pelaku tindak pidana tersebut adalah aparat penegak hukum atau petugas pengadilan maka ancaman hukumannya adalah 9 tahun atau denda kategori VI (maksimal Rp 2 miliar).”
#3 Kapolrestabes Semarang lakukan fitnah, pencemaran nama baik, penyebaran hoaks
Polisi selama ini juga kerap menggembar-gemborkan kepada masyarakat agar waspada terhadap hoaks. Sayangnya, dalam kasus penembakan GR, polisi, khususnya Polrestabes Semarang, malah mereproduksi kabar bohong. Hal ini juga beririsan dengan fitnah, dan tentunya mencemarkan nama baik GR serta keluarga yang ditinggalkan.
Mojok merangkum, setidaknya ada delapan pasal pidana yang bisa menjerat jajaran Polrestabes Semarang, termasuk pasal fitnah, pencemaran nama baik, hingga hoaks. Baik itu dalam KUHP, maupun UU ITE.
Sayangnya, dua minggu setelah serangkaian drama ini, polisi baru menetapkan Aipda Robig Zaenudin–pelaku penembakan–sebagai tersangka. Irwan Anwar masih bernafas lega.
Pentingnya reformasi kepolisian
Berkaca dari rekayasa kasus yang dilakukan Kapolrestabes Semarang, Direktur Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Erasmus Napitupulu menilai pentingnya upaya reformasi kepolisian. Menurutnya, rekayasa kasus tadi terjadi karena minimnya pengawasan dalam proses penyidikan. Sehingga menimbulkan bias bawaan dalam penanganan perkara yang melibatkan sesama anggota polisi.
Menurut ICJR, nihilnya mekanisme pengawasan eksternal yang efektif menjadi celah bagi penyalahgunaan wewenang. Jaksa sebagai penuntut umum–yang seharusnya berperan mengawasi jalannya penyidikan– justru terhambat oleh aturan yang menuntut mereka menunggu koordinasi dari kepolisian.
Oleh karenanya, dia pun mendesak agar pemerintah melakukan reformasi dengan menempatkan penyidikan di bawah pengawasan penuntutan. Langkah ini sesuai dengan peran jaksa sebagai Dominus Litis atau pengendali sebuah perkara.
Erasmus menilai hal itu bisa dilakukan dengan cara merevisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Selain menempatkan jaksa sebagai pengawas penyidikan, menurut Erasmus, perlu juga memperkuat peran Hakim Pemeriksa Pendahuluan dalam mengawasi jalannya penyidikan. Penguatan lembaga pengawas independen juga diperlukan untuk memastikan transparansi dan akuntabilitas dalam proses penyidikan.
Penulis: Ahmad Effendi
Editor: Muchamad Aly Reza
BACA JUGA Bagi Saya, Polisi yang Baik Hati Hanya Ada di Lagu Slank
Ikuti artikel dan berita Mojok lainnya di Google News