Sistem kelas Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) akan berubah ke Sistem Kelas Rawat Inap Standar (KRIS) pada tahun 2025. Kebijakan itu memukul rata besaran iuran yang harus dibayar oleh masyarakat. Beberapa penerima BPJS ragu, kebijakan itu mampu menghapus diskriminasi pelayanan kesehatan yang terjadi selama ini.
***
Pada pertengahan tahun 2025 nanti, pemerintah berencana mengubah sistem BPJS kelas 1 hingga 3 ke Sistem Kelas Rawat Inap Standar (KRIS). Setidak-tidaknya, Senin (30/6/2025).
Selain itu, besaran iuran bagi peserta program Jaminan Kesehatan Kartu Indonesia Sehat (KIS) akan mengalami penyesuaian. Namun, pemerintah harus menelaah lebih dulu hasil evaluasi dan koordinasi fasilitas ruang perawatan pada pelayanan rawat inap.
“Penetapan manfaat, tarif, dan iuran sebagaimana dimaksud pada ayat (7) ditetapkan paling lambat tanggal 1 Juli 2025,” bunyi Pasal 103B ayat (8) Perpres Nomor 59 Tahun 2024.
Masyarakat awam seperti Ahmad Syauqi (30) pun jadi bertanya-tanya, apakah perubahan tersebut bisa menjamin tidak adanya diskriminasi pelayanan kesehatan terhadap pasien penerima BPJS seperti yang terjadi selama ini?
BPJS meringankan biaya kelas menengah bawah
Ahmad Syauqi atau yang akrab dipanggil Oki seketika lunglai saat mendengar pengumuman dari dokter di salah satu rumah sakit swasta, Tangerang. Dokter spesialis ortopedi itu bilang ibunya harus segera dioperasi besar untuk menyembuhkan penyakit tulang belakang yang dideritanya.
Selain kaget karena mengetahui kondisi ibunya, Oki juga gusar mengenai biaya yang harus dibayar ke rumah sakit tersebut. Maklum, keluarganya tidak bisa dibilang tajir melintir. Sementara dokter sudah menanyakan: penjaminannya mau menggunakan apa?
Beruntung, keluarga Oki sudah mendaftarkan diri sebagai penerima bantuan iuran (PBI) BPJS sejak 2023 lalu. Sebagai informasi, peserta BPJS PBI terdiri dari orang yang tergolong fakir miskin dan orang tidak mampu menurut data dari di Dinas Sosial.
“Aku menggunakan PBI yang dikhususkan untuk kelas 3. Jadi dibiayai pemerintah,” ujar Oki kepada Mojok, Kamis (9/1/2024).
Namun, dokter menyarankan agar Oki memindahkan status BPJS PBI-nya dari yang kelas 3 ke kelas 1 mandiri. Sebab, dokter tak bisa menjamin ibunya mendapat pelayanan kesehatan yang bagus jika menggunakan BPJS kelas 3.
“Kata dokter kalau penjaminan PBI kelas 3 itu untuk mendapat pelayanan kesehatannya akan sulit, mangkanya aku direkomendasikan seperti itu,” ujarnya.
Mengubah BPJS dari kelas 3 ke kelas 1
Sebelum menyetujui rekomendasi untuk memindahkan kelas BPJS-nya, Oki pergi ke petugas casemix untuk mencari informasi lebih lanjut soal besaran biaya operasi maupun pelayanan yang diberikan.
Jujur saja, Oki mengaku tertegun saat diberitahu angkanya yang bisa mencapai ratusan juta kalau tanpa BPJS. Akhirnya dia setuju untuk mengubah status BPJS-nya ke mandiri kelas 1.
Selama beberapa hari dirawat, Oki mengaku ibunya sudah mendapat tindakan pelayanan pengobatan yang sesuai. Hanya saja, pihak rumah sakit kemudian memberikan rujukan agar ibu Oki dipindahkan ke rumah sakit milik pemerintah.
“Tapi dokternya sama karena dia praktik di dua rumah sakit yang sama. Alasannya waktu itu karena perlengkapan operasi di rumah sakit swasta tersebut belum siap,” ucap Oki.
Oki pun setuju memindahkan ibunya ke rumah sakit milik pemerintah tersebut. Namun, ibunya harus mulai dari nol lagi seperti mengecek kesehatan sampai proses mengklaim BPJS kembali.
Beda pelayanan di rumah sakit milik pemerintah dan swasta
Usai melewati prosedur dari awal, Oki akhirnya mengurus kembali pengklaiman BPJS-nya. Namun, dia mengaku terkejut setelah mendengar penjelasan dari casemix di rumah sakit milik pemerintah.
Pasalnya, selama ini Oki memahami bahwa pasien dengan jenis penyakit yang sama akan diberi pelayanan yang sama pula, meskipun tingkat kelas BPJS-nya berbeda. Misalnya saja dari segi pembiayaan untuk tindakan pengobatan.
Sesuai informasi yang dia dapatkan sebelumnya dan berdasarkan sumber dari internet yang umumnya sudah diketahui publik, yang membedakan BPJS kelas 1 hingga 3 hanyalah besaran iuran dan fasilitas rawat inapnya.
“Saat menggunakan BPJS kelas 1 itu ternyata tidak dimintakan biaya untuk tindakan operasinya sama sekali, tapi untuk kelas 2 dan 3 itu masih dikenakan cost sharing,” ujarnya.
Artinya, keluarga pasien kelas 2 dan 3 masih diminta untuk mengeluarkan biaya tambahan sebesar nilai tertentu untuk tindakan operasi. Selain itu, dia merasa pelayanan dan fasilitas rumah sakit milik swasta lebih baik dibandingkan dengan milik pemerintah, bahkan dari segi kebersihannya.
Plus minus BPJS menjadi KRIS
Menurut Dosen Kebijakan Kesehatan Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) Universitas Airlangga (Unair), Ernawaty, BPJS sebetulnya punya semangat yang positif yakni meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan.
Perubahan kelas BPJS menjadi KRIS, kata Erna, tidak mengubah semangat tersebut. Malah bisa menghapus stigma kelas sosial di masyarakat.
“Sisi baiknya adalah tidak ada perbedaan antara orang kaya dan miskin dalam mengakses rawat inap,” ujar Erna dikutip dari laman resmi Unair, Jumat (10/1/2025).
Namun, dia khawatir terjadi penurunan jumlah tempat tidur di rumah sakit, sehingga memengaruhi pemenuhan kebutuhan rawat inap. Terlebih saat ini masih terdapat perbedaan ruangan dan fasilitas rumah sakit di Indonesia.
Lembaga penelitian dan advokasi kebijakan, The PRAKARSA, menambahkan adanya penerapan KRIS memunculkan risiko kenaikan iuran dan hilangnya peserta BPJS Kesehatan.
“Terutama yang sudah bergabung di kelas 1 sebelumnya,” ucap Direktur Eksekutif The PRAKARSA, Ah Maftuchan dikutip dari laman resmi The PRAKARSA, Jumat (10/1/2025).
Sepakat tidak sepakat biaya iuran dipukul rata
Berkaca dari pengalaman Oki, dia ragu jika penerapan KRIS mampu menghapus diskriminasi pelayanan kesehatan yang selama ini terjadi. Pasalnya, rumah sakit belum memiliki fasilitas yang merata.
“Cuman memang yang jadi masalah utama saat ruangannya penuh, akhirnya kita diturunkan ke kelas 2 atau 3,” ucapnya.
Oki mungkin belum merasakan kejadian itu secara langsung, tapi saat merawat ibunya di rumah sakit dan bercengkrama dengan keluarga pasien lainnya, dia jadi tahu beberapa pengalaman diskriminasi yang dialami oleh penerima BPJS lain.
Yang jelas, Oki sepakat apabila perubahan kelas BPJS ke KRIS bisa menghapus diskriminasi antara si kaya dan si miskin. Sebab, kata dia, setiap orang berhak mendapatkan fasilitas kesehatan yang sama.
“Setiap orang yang sakit berhak mendapatkan pelayanan yang tepat, cepat, dan ramah,” ucapnya.
Begitu juga menurut Febriana (25) yang merupakan penerima BPJS kelas 3. Dia menilai kenijakan tersebut justru memberatkan dirinya sebagai kelompok menengah ke bawah.
“Aku malah makin merasa nggak butuh banget BPJS, karena saat adanya perbedaan kelas pun pihak rumah sakit memberatkan, apalagi saat sudah disamaratakan,” ucap Febriana.
Penulis: Aisyah Amira Wakang
Editor: Ahmad Effendi
BACA JUGA: Daftar 21 Penyakit yang Tidak Ditanggung BPJS Kesehatan, Pasien Masih Sering Salah Mengira atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan.