Film Woman From Rote Island menggambarkan bagaimana kekerasan seksual masih menjadi momok mengerikan bagi para perempuan di pelosok negeri. Namun, parade trauma korban dalam film ini hanyalah bagian kecil dari yang sesungguhnya terjadi di Rote sana.
Selesai menonton film ini, bulu kuduk saya masih merinding. Padahal, tak ada satupun dedemit saya jumpai sepanjang film. Perasaan getir juga masih menyelimuti, meski nyatanya ini adalah pengalaman kedua saya menonton film pemenang Piala Citra 2023 itu.
Saat beranjak keluar studio, mencoba melepaskan rasa yang campur aduk ini, saya mendapati dua orang perempuan terlihat tengah menangis sesenggukan. Agak lama saya memperhatikan, sebelum akhirnya memberanikan diri untuk menghampiri mereka.
Juwita (28), salah satu dari dua perempuan yang sesenggukan, baru saja menyaksikan pemutaran film Woman From Rote Island. Ternyata, sepanjang film berdurasi 1 jam 48 menit tadi, kami berada di studio yang sama.
Bagi Juwita, ada alasan kuat mengapa ia begitu terbawa perasaan hingga menangis. Woman From Rote Island ternyata sangat relate dengan kehidupannya. Sebab, salah satu anggota keluarganya pernah mengalami apa yang menjadi premis utama film ini: kekerasan seksual.
“Kakakku pernah mengalaminya, 10 tahun lalu. Tapi traumanya masih dia rasakan sampai sekarang,” kata Juwita, menceritakan kisahnya kepada Mojok di salah satu sudut ruangan Empire XXI, Kota Jogja, Jumat (23/2/2024).
“Menyaksikan film tadi bikin aku jadi sadar lagi bagaimana beratnya kakakku melewati kehidupannya 10 tahun terakhir ini.”
Sementara Denisa (30), perempuan yang datang menonton bersama Juwita, mengaku tak bisa menahan air mata sepanjang nonton. Padahal, ini adalah kali kedua ia menyaksikan film karya Jeremias Nyangoen ini. Sebelumnya, Denisa menonton Woman From Rote Island pada pemutarannya di Jogja-NETPAC Asian Film Festival 2023, November lalu.
“Udah dua kali nonton dan rasanya masih sama,” kata Denisa. “Enggak bisa membayangkan betapa beratnya jadi Martha [tokoh dalam film] dan perempuan lain di luar sana yang menjadi korban kekerasan seksual.”
Ada banyak tangis-tangis lain
Film Woman From Rote Island, yang mulai tayang di bioskop sejak 22 Februari 2024, berpusat pada kisah Orpa (Merlinda Dessy Adoe). Ia merupakan ibu tunggal yang harus mengalami berbagai derita dalam hidupnya setelah kepergian sang suami.
Martha (Irma Novita Rihi), putri tertua Orpa, menjadi korban kekerasan seksual saat menjadi pekerja migran di luar negeri. Setelah kembali ke kampung halaman, Martha hidup dalam belenggu trauma. Ia sering melamun. Martha juga kerap berteriak histeris saat teringat kejadian tragis yang menimpanya itu.
Belum hilang trauma itu dari ingatannya, Martha kembali mengalami kekerasan seksual. Sayangnya, meski menjadi korban, ia justru harus membayar ganti rugi kepada orang yang melindung pelaku.
Sementara adik Martha, yakni Bertha (Bani Sallum Ratu), tiba-tiba menghilang. Naasnya, saat ditemukan, dia sudah dalam keadaan meninggal. Kondisi jasadnya juga penuh dengan luka, yang mengindikasikan bahwa Bertha adalah korban penculikan dan pembunuhan.
Sebagai orang yang dua kali menonton Woman From Rote Island, saya akhirnya paham mengapa Juwita dan Denisa amat emosional. Rasa haru, sedih, geram, sesenggungan hingga tangis, sulit kita lepaskan seusai menonton film ini.
Hal tersebut juga diakui Novi Hanabi, program manager Jakarta Film Week 2023, yang juga tergabung dalam produksi Woman From Rote Island. Selama pemutaran di Kupang, misalnya, ia mengaku banyak menyaksikan mama-mama dan opa-opa menyeka air mata seusai menonton.
“Mereka mendatangi saya, memeluk, sambil menangis,” kata Novi saat berkunjung ke kantor Mojok, Jumat (23/2/2024). “Mereka bilang, ‘terima kasih sudah membuat film yang begitu indah’, yang mewakili perasaan mereka selama ini.”
Woman From Rote Island hanya sekeping dari segudang tragedi
Meski secara terbuka menggambarkan fenomena kekerasan seksual para perempuan di Rote, kata Novi, sebenarnya ini hanya bagian kecil saja dari yang sesungguhnya terjadi. “Woman From Rote Island ini hanya versi mild dari apa yang sebenarnya terjadi di sana,” ujarnya.
Cukup lama tim produksi melakukan riset untuk film ini. Dan, kenyataan yang mereka jumpai, keadaan perempuan-perempuan di pelosok negeri, seperti Pulau Rote, memang jauh lebih memprihatinkan.
Ada banyak kasus kekerasan seksual terjadi di sana. Yang sialnya, sebagaimana tergambar dalam film, para korban dipaksa menerima traumanya karena tak ada penyelesaian dari pihak berwenang.
“Jadi, penggambaran dari film ini memang berdasarkan kisah sesungguhnya para perempuan di Rote, meski ini versi ringan saja. Karena gambaran sesungguhnya amat mengerikan,” sambung Novi.
Hal serupa juga diakui Van Jhoov, pemeran Damar–mantan kekasih Martha–dalam Woman From Rote Island. Kata lelaki asal Kupang ini, perempuan-perempuan di daerahnya memang sangat rentan mengalami kekerasan seksual.
Bahkan, lapisan fenomena ini sampai ke level yang lebih mengerikan. Seperti perdagangan manusia, misalnya, yang juga terpotret dalam film.
“Bagi masyarakat perkotaan di sini, mungkin itu hal baru. Tapi bagi kami, itu itu menjadi fenomena yang sangat mudah kami jumpai di sana [Rote],” kata Van Jhoov kepada Mojok.
Film ini adalah pengingat sekaligus penggerak
Lebih lanjut, menurut Van Jhoov, film ini pun menjadi penting karena memotret berbagai persoalan yang selama ini jarang mencuat di permukaan. “Ada banyak Martha-Martha lain di sana,” kata lelaki yang akrab disapa VJ ini. “Film ini adalah pengingat bagaimana selama ini perempuan-perempuan di pelosok sana hidup dalam ancaman kekerasan seksual,” lanjutnya.
Sementara Novi menyebut, melalui film ini penonton dapat berefleksi bahwa tak pernah mudah untuk hidup sebagai perempuan di negeri ini. Kekerasan seksual dan diskriminasi gender, terjadi setiap saat. Ia juga tak pandang bulu, menimpa banyak perempuan di semua lapisan dan level masyarakat.
“Bedanya, mungkin kita yang masyarakat perkotaan lebih punya privilese untuk menyuarakan. Tapi bagi perempuan-perempuan seperti di Woman From Rote Island, tak ada pilihan selain menanggung trauma yang berkepanjangan,” jelasnya.
Film ini, lanjut Novi, juga menjadi penting karena membawa pesan yang jelas. Bahwa kekerasan seksual hanya bisa masyarakat lawan jika bergerak bersama.
“Belajar dari Mama Matha di film, perjuangan melawan kekerasan seksual tak bisa sendirian. Kita harus bersama-sama melawannya,” pungkasnya.
Penulis: Ahmad Effendi
Editor: Agung Purwandono
Ikuti artikel dan berita Mojok lainnya di Google News.