Menjelang peringatan Hari Hak Asasi Manusia (HAM) Sedunia yang jatuh setiap 10 Desember, band metal asal Solo, Down For Life, merilis video musik terbaru berjudul “The Betrayal”.
Karya ini lahir dari kolaborasi bersama Trend Asia, Watchdoc, serta label independen Blackandje Records. Ia pun menjadi sebuah pertemuan lintas komunitas yang memperkuat pesan sosial dan politik, yang telah lama menjadi identitas band tersebut.
“The Betrayal” merupakan salah satu nomor dari album Kalatidha (2025), rilisan terbaru Down For Life yang meluncur pada akhir Mei lalu dan baru saja menyabet penghargaan Album Metal Terbaik di ajang AMI Awards 2025. Album ini menjadi tonggak penting dalam perjalanan band yang berdiri sejak awal 2000-an dan dikenal sebagai pelopor metal keras dengan muatan kritik sosial di Indonesia.
Video musik “The Betrayal” dirancang sebagai kolase visual: potongan dokumentasi produksi Watchdoc dan rekaman aksi-aksi lingkungan yang dihimpun Trend Asia, dipadukan dengan cuplikan penampilan panggung Down For Life di acara rilis album Kalatidha di Solo.
Format itu dipilih bukan hanya sebagai estetika, tetapi sebagai cara menghadapkan penonton pada realitas sosial yang kerap luput dari pemberitaan arus utama.
“Lagu ini bercerita tentang pengkhianatan atas harapan dan gagasan,” ujar vokalis Stephanus Adjie dalam keterangan tertulisnya kepada Mojok, Rabu (10/12/2025).
Ia mengaku, lirik yang ia tulis berangkat dari peristiwa sosial politik beberapa tahun terakhir, mulai dari kebijakan yang meminggirkan warga, proyek-proyek ekstraktif, hingga penyalahgunaan mandat publik oleh pejabat negara. Musiknya digarap oleh gitaris Isa Mahendrajati bersama seluruh personel, menghasilkan komposisi agresif yang menjadi ciri khas band tersebut.
Judul album Kalatidha sendiri merujuk pada karya sastra yang ditulis ulang Raden Ngabehi Ranggawarsita dari Serat Jangka Jayabaya. Di dalamnya tergambar situasi negara yang mengalami kemerosotan moral dan politik.
Down For Life melihat relevansi tersebut dengan kondisi Indonesia hari ini, ketika kepentingan rakyat kerap dikorbankan demi kepentingan kelompok kecil pemilik modal.
Anthem “wall of love” dan pesan kepada mereka yang dikhianati sistem
Saya sendiri sudah tiga kali mendengarkan “The Betrayal”, jauh sebelum video musiknya dirilis ke publik hari ini. Pertama kali adalah saat memutar CD Kalatidha di kos, beberapa hari setelah album itu keluar.
Saat itu, lagu ini langsung terasa sebagai satu dari komposisi paling emosional yang pernah ditulis Down For Life. Ia keras, tapi tidak sekadar marah; ada lapisan kekecewaan dan luka yang ingin disampaikan tanpa basa-basi.
Sementara dua kesempatan lain datang dari panggung besar: Rock in Solo 2025 dan JogjaROCKarta 2025. Di dua festival itu, “The Betrayal” bukan hanya menjadi bagian dari setlist, tetapi berubah menjadi ritual bersama antara band dan penonton.
Di panggung Rock in Solo, momen paling kuat justru hadir bukan dari ledakan riffs atau teriakan vokal Adjie, melainkan dari apa yang terjadi di tengah moshpit. Down For Life memperkenalkan “wall of love”, versi damai dari “wall of death” yang selama ini identik dengan tabrakan keras antarpenonton.
Jika wall of death adalah simbol energi destruktif yang dilepaskan, maka wall of love adalah kebalikannya: dua sisi massa yang berlari, lalu saling memeluk. Sederhana, tapi justru menyentuh–sebuah visual tentang bagaimana kemarahan bisa diolah menjadi solidaritas.
Saya sendiri pernah menuliskan momen ini dalam liputan “Wall of Love, Merayakan Lebaran Metal dengan Berpelukan di Tengah Moshpit Down For Life”
Di JogjaROCKarta 2025, momen serupa kembali muncul dan bahkan lebih lantang. Ketika intro gitar “The Betrayal” mulai dimainkan, penonton sudah tahu apa yang akan terjadi. Mereka membuka dua sisi barisan, menunggu aba-aba, lalu bergerak mendekat dengan pelukan terbuka.

Di tengah musik yang keras, ada damai yang sengaja diciptakan. Bagi saya, ini menunjukkan bagaimana sebuah lagu metal bisa memfasilitasi ruang emosional yang lebih lembut—dan itu terasa relevan dengan pesan lagu yang berbicara tentang dikhianati, dihancurkan, dan bangkit kembali.
Di atas panggung, Adjie beberapa kali menegaskan: lagu ini bukan hanya untuk orang-orang yang pernah dikhianati oleh orang terdekat, tetapi juga bagi mereka yang dikhianati oleh sistem.
“Kalau kamu pernah merasa dihianati negara, inilah saatnya!” teriaknya di Rock in Solo. Dalam konteks sosial politik beberapa tahun terakhir, kalimat itu bukan hiperbola. Banyak kebijakan yang terasa menyisihkan warga, dan Down For Life menjadikannya bahan bakar kreatif.
Dari tiga pengalaman itu, saya menangkap satu hal: “The Betrayal” bekerja bukan hanya sebagai lagu, tetapi sebagai ruang bersama. Ruang untuk marah, tapi juga untuk memulihkan diri. Ruang yang keras, tapi bisa menjadi tempat memeluk orang asing di moshpit sambil berharap dunia tidak semakin melukai.
Dirilis bertepatan dengan momen “bukti pengkhianatan negara kepada warga dan alam”
Waktu rilis video ini terasa signifikan. Indonesia tengah berduka akibat banjir bandang dan longsor yang menewaskan ratusan warga di sejumlah wilayah Sumatra.
Down For Life dan organisasi kolaborator menegaskan bahwa bencana itu bukan sekadar fenomena alam, melainkan akumulasi dari kebijakan ekstraktif dalam satu dekade terakhir. Mulai dari perluasan konsesi industri, pembukaan hutan, hingga lemahnya evaluasi lingkungan.
Semua itu, menurut mereka, adalah “biaya” dari pengkhianatan pengambil kebijakan terhadap mandat rakyat.
Keterlibatan Watchdoc, yang dikenal dengan film dokumenter investigatif seperti Sexy Killers dan Pulau Plastik, membawa gaya visual yang lugas dan kontekstual. Sementara Trend Asia menambahkan data pergerakan isu energi dan iklim yang mereka advokasi selama bertahun-tahun.
Kolaborasi ini membuat “The Betrayal” bukan sekadar video musik, melainkan pernyataan politik yang diproyeksikan lewat medium budaya populer.
Video “The Betrayal” sudah dapat disaksikan di kanal YouTube Blackandje Records dan Trend Asia mulai 10 Desember 2025. Down For Life berharap karya ini dapat menjadi pengingat bahwa harapan publik hanya dapat dipertahankan jika warga ikut menjaga, mengawasi, dan bersuara terhadap arah kebijakan negara.
Penulis: Ahmad Effendi
Editor: Muchamad Aly Reza
BACA JUGA: Saya Percaya, Album “Kalatidha” Down for Life adalah Soundtrack Terbaik untuk Kehidupan yang Buruk atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan












