MOJOK.CO – Indonesia masih berjuang memenuhi kuota 30 persen keterwakilan perempuan di parlemen. Sementara, keterwakilan perempuan di beberapa negara lain sudah melebihi batas itu. Sistem pemilu menjadi kunci.
Keterwakilan perempuan dalam parlemen memang terus meningkat sejak kebijakan afirmasi diterapkan. Namun, jumlahnya belum pernah memenuhi kuota hingga 30 persen. Kondisi ini masih menjadi pekerjaan rumah bersama di Indonesia.
Dilansir dari Rumah Pemilu, meminjam data International Institute for Democracy and Electoral Assistance (IDEA), ada 57 negara yang sudah mengafirmasi perempuan dalam sistem pemilunya. Pencapaian tertinggi dicatat oleh Bolivia hingga 53,08 persen dari 139 kursi tersedia. Adapun rata-rata persentase keterwakilan perempuan di 57 negara itu adalah 27 persen.
Salah satu faktor yang mempengaruhi terpenuhinya persentase minimal keterwakilan perempuan adalah kecocokan sistem pemilu dengan konteks politik dan ragam variabel sistemnya. Afirmasi perempuan melalui pemilu saja tidak menjamin persentase minimal terpenuhi.
Mengutip artikel berjudul “Sistem Pemilu Apa yang Lebih Signifikan Meningkatkan Keterwakilan Perempuan” yang ditulis oleh Usep Hasan Sadikin, ada 18 negara yang keterwakilan perempuannya melebihi 30 persen. Dengan kata lain 31,6 persen negara sudah memiliki sistem pemilu yang cocok. Adapun tiga sistem pemilu yang dipakai oleh 18 negara itu adalah sistem pluralitas/mayoritas, sistem proporsional representasi (PR), dan sistem campuran (mixed).
Sistem pluralitas/mayoritas biasa disebut dengan sistem distrik. Sistem ini seperti yang diterapkan di Amerika dengan First Past the Post (FPTP). Pluralitas/ Mayoritas berwujud kompetisi satu kursi untuk setiap daerah pemilihan (dapil). Sementara itu, sistem proporsional berwujud kompetisi yang alokasi kursi setiap dapilnya berjumlah lebih dari satu secara proporsional dibandingkan jumlah penduduknya. Sistem campuran atau mixed adalah penggabungan sistem pluralitas/mayoritas dan sistem proporsional dalam satu penyelenggaraan pemilu parlemen.
Di antara 18 negara yang sudah melebihi keterwakilan 30 persen itu, kebanyakan menggunakan sistem proporsional. Temuan ini tidak mengherankan karena sesuai dengan sifat dari sistem pemilu proporsional yang lebih menerima kemajemukan. Oleh karenanya, sistem ini lebih sesuai untuk kebutuhan peningkatan keterwakilan perempuan. Tidak seperti pluralitas/ mayoritas yang cenderung menyingkirkan kemajemukan.
Pemilu proporsional yang lebih ramah terhadap keberagaman sebenarnya disadari oleh global. Dari 1990 hingga 2010, setidaknya ada 27 negara yang mengubah sistem pemilu secara signifikan. Tren perubahan terjadi dari sistem pluralitas/mayoritas ke sistem pemilu proporsional.
“Tampaknya, sifat representatif hasil pemilu lebih dibutuhkan untuk dikuatkan dibanding sifat efektivitasnya.” jelas Usep dalam tulisannya.
Di antara 12 negara yang menggunakan sistem pemilu proporsional itu, beberapa negara menerapkan afirmasi perempuan melalui jaminan konstitusi seperti Meksiko, Argentina, perancis, Ekuador, Serbia, dan Italia. Sementara lainnya dinilai memiliki demokratisasi kelembagaan parpol yang baik, sehingga memiliki iklim politik kompetitif, termasuk dalam afirmasi perempuan.
“Banyak partai politik di negara ini yang berinisiatif menambah afirmasi perempuan internal partai politik, baik pada tahap pendidikan/kaderisasi, pencalonan, kampanye, atau keterpilihan,” imbuh dia.
Penulis: Kenia Intan
Editor: Purnawan Setyo Adi