MOJOK.CO – PPATK memaparkan sejumlah modus pelanggaran aturan dana kampanye yang kerap terjadi menjelang pemilu. Termasuk di antaranya pemberian dana kampanye yang melebihi batasan, manipulasi dana politik, hingga green financial crime.
Setahun menjelang Pemilu 2024, pemberitaan terkait korupsi untuk kepentingan dana politik makin berseliweran. Terbaru, Bupati Kepulauan Meranti, Muhammad Adil, kena OTT Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). JHal ini terjadi setelah ada dugaan ia menggunakan uang setoran satuan kerja perangkat daerah (SKPD) untuk biaya politiknya di Pilgub Riau 2024 mendatang.
Sebelumnya, Bupati Kapuas Ben Brahim S. Bahat juga kena OTT lembaga antirasuah karena ada dugaan melakukan korupsi dana SKPD untuk kepentingan politik. Bersama istrinya yang juga seorang anggota DPRD, Ary Eghani, mereka kabarnya memakai duit korupsi buat membayar lembaga survei nasional dan modal kampanye pemilu.
Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) sendiri pernah memaparkan sejumlah modus pelanggaran aturan dana kampanye dalam pemilu.
Sebagai informasi, peserta pemilu baik itu partai politik, calon presiden dan wakil presiden, atau calon anggota DPD, diharuskan membuat Rekening Khusus Dana Kampanye (RKDK) untuk keperluan kampanye mereka.
“Modus pertama adalah adanya penerimaan dana kampanye yang melebihi batasan sumbangan dana kampanye dari pihak lain perseorangan dengan memecah-mecah transaksi sumbangan,” ujar Deputi Pelaporan dan Pengawasan Kepatuhan PPATK, Maimirza, mengutip dari Kompas, Selasa (18/4/2023).
Seperti yang sudah kita ketahui, peserta pemilu memang ada batasan dalam menerima sumbangan dana kampanye.
Menurut Pasal 326 dan 327 UU Pemilu, dari sumber perseorangan peserta pemilu capres-cawapres dan partai politik hanya dapat menerima sumbangan dana kampanye maksimum Rp2,5 miliar. Sementara peserta pemilu DPD hanya boleh menerima maksimum Rp750 juta.
Manipulasi dana politik
Lebih lanjut, kata Maimirza, modus berikutnya adalah penerimaan dana kampanye dari pihak perorangan kepada caleg via rekening pribadi alias tidak melewati RKDK. Bahkan, jumlahnya pun melebih ketentuan.
Maimirza juga mengungkapkan adanya penyetoran tunai dalam jumlah signifikan, sehingga tidak teridentifikasi profil pihak penyumbang dana.
Selain itu, ada pula modus pemanfaatan sarana rekening lainnya yang tidak terdaftar sebagai RKDK. Tetapi mereka gunakan untuk menampung dan menggunakan dana.
“Mayoritas kondisi RKDK hanya untuk sarana penampungan dan kamuflase transaksi,” jelasnya.
Di sisi lain, ada pula modus-modus pemberian dana kampanye dalam wujud lain. Seperti penjualan valuta asing dalam jumlah signifikan dari peserta pemilu maupun petugas partai.
“Modus yang digunakan berupa cash to cash ataupun cash to account,” papar Maimirza.
Cuci duit dengan green financial crime
PPATK, juga pernah mengungkapkan adanya dana Rp45 triliun yang terindikasi sebagai hasil tindak pidana pencucian uang (TPPU) yang dugaannya mengalir ke sejumlah politikus.
Ketua Humas PPATK M. Natsir Kongah menyebutkan, dana itu politikus gunakan untuk membiayai pemenangan pada Pemilu 2019 dan 2024.
“Dari total indikasi tindak pidana pencucian uang di kejahatan green financial itu ada Rp45 triliun. Di mana di antaranya mengalir kepada politikus,” kata Natsir.
“Dana itu digunakan pada periode sebelumnya, Pemilu 2019. Itu diduga juga untuk persiapan pemilu selanjutnya,” ungkapnya.
Natsir mengatakan, dana Rp45 triliun tersebut berasal dari green financial crime atau kejahatan finansial di bidang kehutanan, lingkungan hidup, serta perikanan dan kelautan.
Menurut penelitian PPATK, setiap periode pemilu akan muncul gejala kejahatan serupa yang polanya hampir sama.
“Seperti misalnya memberikan izin terhadap penggalian tambang atau lahan,” pungkasnya.
Penulis: Ahmad Effendi
Editor: Purnawan Setyo Adi