MOJOK.CO – Elektabilitas Ketua Umum Partai Gerindra, Prabowo Subianto, sedang di atas angin. Namanya meroket pada sejumlah hasil survei baru-baru ini. Salah satu faktornya karena suara Gen Z yang cenderung mendukungnya.
Survei lembaga Populi Center bulan Mei 2023, menempatkan Prabowo dalam daftar teratas capres dengan elektabilitas tertinggi. Ia meraup 22,8 persen dukungan, dan mengungguli dua pesaing terdekatnya, Ganjar Pranowo dan Anies Baswedan.
Hal serupa juga terlihat pada survei Litbang Kompas terbaru. Bahkan, khusus untuk segmen pemilih Gen Z (kelahiran 1997-2012), Prabowo unggul jauh dengan meraup 32,7 persen suara. Lagi-lagi, ia mengungguli Ganjar (24,5 persen) dan Anies (10 persen) di segmen pemilih muda ini.
Segmen pemilih Gen Z ini menjadi penting mengingat bersama Generasi Milenial (1981-1996), mereka jadi kelompok pemilih terbanyak pada Pemilu 2024—60 persen dari total keseluruhan pemilih.
Temuan tersebut pun menjadi diskusi menarik lantaran citra Prabowo yang selama ini lekat sebagai pelanggar HAM berat.
Seperti yang kita tahu, Prabowo bersama Tim Mawar dituding bertanggung jawab atas hilangnya sejumlah aktivis sepanjang 1990-an dan kerusuhan Mei 1998.
Lantas, apa yang bikin Gen Z pada akhirnya banyak yang mendukung Prabowo, terlepas dari citra buruk tersebut?
Gen Z cenderung rasional-pragmatis
Menurut pakar politik UGM Mada Sukmajati, salah satu alasan mengapa banyak Gen Z memilih Prabowo—meski punya rekam jejak kelam—adalah karena mereka cenderung pola pikir rasional-pragmatis.
Mereka berpikir rasional dengan cara memandang seorang melalui program kerja yang mereka tawarkan. Sementara pola pikir pragmatis berarti memilah program kerja mana yang akan menguntungkan mereka ke depannya.
“Artinya, para Gen Z ini cenderung melihat calon presiden bukan dari masa siapa figurnya, tapi apa yang ditawarkan dan punya implikasi apa ke kehidupan mereka ke depan,” kata Mada kepada Mojok, Senin (5/6/2023).
Dengan demikian, seandainya isu pelanggaran HAM Prabowo diangkat dan dibicarakan dalam kontestasi Pilpres 2024 sekalipun, Mada menilai isu itu tidak akan jadi prioritas yang jadi pertimbangan pemilih dalam menentukan dukungan mereka.
“Pemilih Gen Z itu kebanyakan lebih memprioritaskan ke isu yang relate dengan mereka, sifatnya jangka pendek dan konkret; seperti isu anak muda, perekonomian, atau lapangan kerja. Bukan di penegakan HAM, misalnya,” sambungnya.
Hal serupa juga peneliti Populi Center, Rafif Pamenang Imawan, sampaikan. Kata dia, selain pragmatis, Gen Z juga memiliki sentimen berpikir ke depan daripada membahas isu-isu di masa lalu.
Artinya, mereka lebih tertarik membahas soal masa depan politik, sosial dan ekonomi Indonesia, ketimbang berdebat terkait pelanggaran HAM di masa lalu—seperti Peristiwa 1998 yang menyeret Prabowo.
“Ini yang akhirnya bikin Gen Z susah relate dengan persoalan pelanggaran HAM di masa lalu,” jelasnya kepada Mojok, Selasa (6/6/2023).
Tak relate dengan Peristiwa ‘98
Rafif menambahkan, ketidak-relate-an Gen Z pada peristiwa pelanggaran HAM masa lalu bisa terjadi karena beberapa hal. Termasuk karena sosialisasi politik yang terbatas di isu tertentu, hingga isu pelanggaran HAM yang memang segmented di kelompok tertentu.
“Sehingga ketika membicarakan isu seperti pelanggran HAM atau penculikan aktivis, ini tidak masuk dalam alam berpikir pada Gen Z,” kata Rafif.
Selain punya kecenderungan berpikir rasional-pragmatis—yang bikin Gen Z juga tak terlalu peduli dengan peristiwa 1998—mereka juga tidak hadir dalam peristiwa tersebut.
Kata Mada, preferensi Gen Z atas peristiwa di masa lalu sangatlah terbatas. Kebanyakan Gen Z ini lahir di akhir 1990-an atau di awal 2000-an, sehingga bagi mereka tidak mengalami langsung masa kelam yang menyeret nama Prabowo tersebut, akan sulit bagi mereka untuk paham.
“Di samping mereka berpikir secara pragmatis, Gen Z juga tidak terlalu relate dengan Peristiwa ’98 karena tidak mengalaminya secara langsung,” kata Mada.
“Makanya, bisa dipahami mengapa isu tersebut akhirnya terbatas terbatas di kalangan orang-orang yang memang mengalami, aktivis HAM, ataupun korban saja,” lanjutnya.
Akan tetapi, Mada tetap menegaskan bahwa hasil survei terbaru tersebut masih bisa berubah. Mengingat Gen Z adalah pemilih rasional. Dukungan mereka masih bisa berubah tergantung program kerja dan kebijakan yang masih-masing kandidat tawarkan.
“Pilihan mereka masih bisa berubah. Karakter mereka berbeda dengan pemilih ideologis yang loyalitasnya lebih tinggi,” pungkasnya.
Penulis: Ahmad Effendi
Editor: Purnawan Setyo Adi