MOJOK.CO – Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) resmi disahkan menjadi undang-undang oleh DPR RI dan pemerintah. Kendati demikian, undang-undang ini ramai dikritik, salah satunya karena berpotensi mengkriminalisasi perempuan.
Aliansi Nasional Reformasi KUHP telah menganalisis masalah-masalah yang ada dalam undang-undang baru ini. Salah satu yang menjadi sorotan adalah pasal Living Law di Pasal 2 RKUHP.
Menurut aliansi, pasal tersebut dianggap berbahaya mengingat tidak adanya batasan yang jelas mengenai hukum yang hidup dalam masyarakat. Dengan demikian, seseorang dapat dipidana jika ia melakukan sesuatu yang tidak disukai oleh orang-orang yang tinggal di lingkungannya.
Alhasil, menurut aliansi, pasal ini bakal membuka ruang persekusi dan main hakim sendiri terhadap siapapun yang dianggap tidak sesuai dengan kebiasaan yang berlaku di lingkungan. Sekalipun, perbuatan tersebut bukan merupakan kejahatan.
“Keberadaan pasal ini bisa berpotensi memunculkan diskriminasi-diskriminasi baru,” tulis hasil analisis Aliansi Nasional Reformasi KUHP, dikutip Jumat (9/12/2022).
“Dalam konteks diskriminasi terhadap perempuan, misalnya, keberadaan peraturan daerah yang selama ini diskriminatif terhadap perempuan bisa semakin kuat karena adanya dukungan dari pasal ini,” imbuhnya.
Sebagai informasi, aliansi mencatat bahwa berdasarkan data Komnas Perempuan, pada 2018 terdapat 421 Perda diskriminatif terhadap perempuan. Beberapa aturan, misalnya, mengatur soal pelarangan perempuan keluar pada malam hari, atau mengatur cara berpakaian perempuan.
Menurut mereka, kondisi hari ini akan makin mengkhawatirkan karena nantinya Pasal 2 ayat (1) RKUHP dapat menjadi legitimasi munculnya kembali aturan-aturan tingkat lokal yang mendiskriminasi perempuan.
Lebih lanjut, potensi kriminalisasi perempuan juga bakal terjadi akibat Pasal 417 dan 418 RKUHP. Pasal ini menyebut bahwa setiap bentuk hubungan seksual di luar ikatan perkawinan dan hidup bersama sebagai suami istri, dapat dipidanakan.
“Pasal ini bisa menjerat anak karena pasal tersebut tidak membatasi usia pelaku, berarti anak-anak yang berhubungan seksual bisa dipidana atas dasar aduan orang tuanya. Dalam kondisi ini, potensi kawin paksa, utamanya perkawinan anak bisa terjadi, perkawinan bisa dianggap sebagai ‘jalan keluar’,” paparnya.
Sebagai catatan, penelitian Koalisi 18+ (2019) menemukan, terkait dispensasi perkawinan di tiga daerah, menunjukkan bahwa alasan tertinggi (89 persen) permohonan dispensasi perkawinan adalah karena kekhawatiran orang tua mengenai anaknya yang sudah berpacaran. Terdapat asumsi orang tua bahwa anaknya telah melakukan hubungan di luar perkawinan.
“Dengan adanya pasal ini, orang tua akan memiliki ‘amunisi baru’ untuk memaksakan perkawinan pada anak perempuan, menjadikan perkawinan sebagai solusi,” tulis aliansi.
“Padahal banyak laporan telah menyatakan perkawinan anak membawa dampak buruk pada kesehatan fisik dan mental, pendidikan, dan partisipasi kerja,” tegasnya.
Penulis: Ahmad Effendi
Editor: Purnawan Setyo Adi