MOJOK.CO – Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN) Petrus Reinhard Golose, menyebut ada fenomena narko-politik (narcopolitics) dalam peredaran narkoba di beberapa daerah di Indonesia belakangan ini.
Seperti yang ia ungkapkan kepada Antara, menurutnya modus baru peredaran narkoba narcopolitics ini melibatkan para tokoh politik sebagai pengedar. Mereka berjualan narkoba untuk kepentingan pribadi dan politiknya.
“Sekarang di daerah Sumatera Selatan [praktiknya], menurut kapolda, Kepala BBNP dan gubernurnya, praktik ini dinamakan dengan narko-politik,” kata Petrus, dalam acara “Gema War On Drugs” di Kabupaten Badung, Bali, Selasa (7/3/2023) lalu.
Ia pun lantas membeberkan modus narcopolitics itu dijalankan tokoh tertentu menggunakan suatu organisasi. Menurutnya, politisi ini akan mengumpulkan massa dari suatu organisasi, kemudian orang-orang inilah yang akan mengedarkan narkoba.
“Jadi tokoh-tokoh politik ini, mereka menggunakan cara ‘organ-tunggal’ dan cara ‘remix’. Mereka mengundang massa, dan membagi narkotika itu. Motifnya politik,” ungkap pria yang pernah menjadi Kapolda Bali itu.
Petrus tak menyebutkan secara gamblang siapa tokoh politik yang dimaksud itu. Ia juga tak membeberkan lebih lanjut di daerah mana saja secara spesifik modus narcopolitics dijalankan.
Namun, ia mengatakan bakal berkoordinasi dengan aparat kepolisian di daerah untuk mengatasi fenomena tersebut.
“Saya baru monitor tetapi ini sudah mulai dilaksanakan ada di tempat lain, tapi tidak ada di Bali,” ujar jenderal bintang tiga itu.
Diprediksi Marak Jelang Pemilu
Sementara itu, Ketua Indonesia Narcotic Watch (INW) Budi Tanjung mengatakan, potensi politikus menjalankan bisnis narkoba sangat besar karena mereka mencari biaya politik.
Ia mengungkapkan bahwa fenomena ini sebenarnya sudah lazim ditemukan di Indonesia, apalagi mendekati pemilu. Menurut dia, situasi ini dipengaruhi oleh pencarian sumber dana politik yang tinggi supaya bisa ikut kontestasi.
“Kemungkinannya bagi mereka, untuk mencari biaya politik dari uang-uang yang haram dari praktik-praktik kejahatan,” ujar Budi.
“Sebenarnya bukan hal baru. Dulu kita pernah oknum caleg yang kedapatan mengedarkan narkoba, yang ketika itu disebutkan, hasil penjualannya digunakan untuk biaya caleg juga,” ujarnya.
Budi juga menambahkan, bahwa maraknya peredaran narkoba di Indonesia tidak terlepas dari peran atau keterlibatan oknum-oknum aparat hukum seperti polisi. Polisi Toraja Utara yang menjadi bekingan bandar narkoba baru-baru ini hanyalah contoh terbaru.
“Itu sudah menjadi rahasia umum, banyak aparat penegak hukum kita yang nakal [bekingi bandar narkoba],” ujar Budi.
Mirip di Filipina
Modus baru politisi jualan narkoba ini, juga pernah terjadi di negara lain. Khususnya negara-negara yang memang darurat narkoba, bahkan mendapat julukan “narco-state” seperti Mexico, Kolombia, Afganistan, dan tentunya Filipina.
Melansir kantor berita Philippine News Agency (PNA), per Mei tahun lalu saja Presiden Rodrigo R. Duterte mengumumkan kepada publik daftar politisi negaranya yang terkait transaksi penjualan narkoba.
Tak main-main, terdapat 46 nama yang dilaporkan ke BNN-nya Filipina atau PDEA. Bahkan, 36 nama di antaranya mencalonkan diri dalam pemilu berikutnya.
Sebelumnya lagi, pada tahun Mei 2018, Wali Kota Rondo, Mariano Blanco ditemukan tewas ditembak mati oleh sekelompok pria bersenjata di kantornya. Ia menjadi walikota ketiga di Filipina yang ditembak mati dalam tiga bulan terakhir saat itu.
Awalnya, penembakan ini diduga aksi kriminalitas biasa. Namun, belakangan CNN Filipina melaporkan bahwa pembunuhan ini terkait dengan kartel narkoba. Mariano sendiri, diduga menjadi salah satu kepala daerah yang melakukan praktik narcopolitics.
Penulis: Ahmad Effendi
Editor: Amanatia Junda