MOJOK.CO – Siapa saja bisa mengalami Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO), tidak terkecuali Perempuan Pembela Hak Asasi Manusia (PPHAM). Jumlah kasusnya pun cenderung meningkat dari tahun ke tahun.
Komnas Perempuan mulai menerima laporan ancaman terhadap PPHAM melalui platform online sejak 2015. Berdasarkan pengamatan Komnas Perempuan, pelaporannya semakin intensif pada tahun-tahun berikutnya. Adapun yang dimaksud dengan perempuan pembela HAM antara lain merupakan para pendamping korban, baik pada isu perempuan maupun isu kekerasan terhadap perempuan, serta isu terkait lingkungan dan kemiskinan
“Pengalaman kekerasan yang dihadapi semakin menegaskan bahwa ada risiko yang sangat khas bagi PPHAM karena gendernya dan juga isu pembelaan HAM perempuan yang dipilih,” ujar Ketua Komisioner Komnas Perempuan Periode 2020-2024, Andy Yentriyani seperti dikutip pada laporan riset SAFEnet yang dapat diunduh di laman “Awas KBGO!”.
Peningkatan kekerasan yang dialami perempuan pembela HAM secara daring ini sejalan dengan peningkatan kekerasan siber berbasis gender (KSBG) terhadap perempuan. Bahkan, pada 2020 pengaduan langsung kepada Komnas Perempuan, kasus KSBG atau lebih dikenal sebagai KBGO melonjak 235 persen. Dari 281 pada 2019 menjadi 942 kasus pada 2020. Melesatnya data tersebut tidak terlepas dari perkembangan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) dan jumlah pengguna media sosial di Indonesia.
Dalam laporan riset berjudul “kami jadi TARGET: Pengalaman Perempuan Pembela HAM menghadapi Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO)”, 11 narasumber perempuan menceritakan KBGO yang mereka alami di antaranya berbentuk: perusakan reputasi dan kredibilitas, ancaman, pelecehan, penggunaan prasangka, serta stigma dan pelabelan yang direkatkan dengan identitas subordinat perempuan dan seksualitas perempuan.
Beragam bentuk kekerasan itu tidak berdiri sendiri. Akan tetapi, dapat berlangsung dalam satu waktu ataupun berurutan secara sistematis. Ini dimaksudkan untuk menghadirkan kekuatan ancaman yang berlipat ganda terhadap dan bagi aktivis perempuan pembela HAM.
Diserang akun bodong dan buzzer
Salah satu kategori pelaku KBGO terhadap perempuan pembela HAM yang dapat dipetakan adalah buzzer dan akun bodong. Buzzer dalam konteks ini adalah buzzer politik atau pasukan siber (cyber troops). Pasukan siber adalah sekumpulan aktor pemerintahan atau partai politik yang bertugas memanipulasi opini politik publik secara online.
Sementara akun bodong adalah akun-akun yang dibuat beberapa saat sebelum melancarkan serangan. Ini bisa diidentifikasi dengan jumlah followers yang sedikit, bahkan nol. Jumlah tweet lebih banyak digunakan untuk trolling, menonjolkan anonimitas, bahkan menampilkan nama dan foto profil yang direkayasa atau dicuri.
Biasanya jenis trolling yang dilakukan akun bodong ini beragam, mulai dari permintaan open BO yang menanyakan seseorang membuka layanan berbayar untuk berhubungan seks, sampai ancaman pembunuhan. Akun-akun bodong itu menjadi pelaku sekunder dengan melakukan doxing melalui berbagai kanal media sosial.
Dalam laporan riset yang dipublikasikan pada Maret 2022 ini, salah seorang narasumber (W1) menceritakan bahwa dirinya sempat menerima foto penis melalui direct message di Instagram pribadinya. Kejadian itu pernah terjadi sebanyak dua kali. Ketika W1 mengecek akun yang mengirimkannya, akun tersebut adalah akun baru yang tidak ada pengikutnya.
“Kemungkinan pelaku kekerasan terhadap klien yang sedang ditangani saat itu,” jelas dia.
Di tengah pendampingan kasus kekerasan yang berbeda, W1 mendapat telepon dan chat melalui WhatsApp yang tidak dikenal dengan pesan sapaan yang mencurigakan. Selain isi dan identitas yang tidak dikenal dari pengirim pesan dan penelepon, waktu kejadian juga menjadi indikator penting untuk mengidentifikasi kemungkinan pelaku. Walau memiliki dugaan kuat, W1 tidak pernah sampai pada suatu kesimpulan.
Rekayasa foto untuk narasi fitnah
Kisah narasumber W6 lain lagi. Narasumber yang bekerja sebagai jurnalis sekaligus aktivis HAM dan demokrasi ini menceritakan pengalamannya disebut sebagai mantan pelacur oleh salah satu akun bodong. Ia juga menceritakan pengalaman buruknya dengan buzzer. Fotonya dimanipulasi tidak berpakaian kemudian disandingkan dengan foto koleganya dengan narasi perselingkuhan. Setelah ditelusuri, manipulasi foto tersebut berafiliasi dengan grup Facebook pendukung Jokowi.
Sekitar 60 akun membagikan foto tersebut, dan banyak pula yang me-retweet, serta like. Akun-akun ini pun biasanya saling like dan retweet untuk meningkatkan engagement post satu sama lain, sehingga terlihat ramai dan akhirnya mampu menggiring opini audiens.
Pasukan siber tidak serampangan ketika menyerang. Mereka bekerja secara terorganisir. Narasumber W2 bercerita, sempat ada seseorang yang meminta maaf kepadanya karena orang tersebut merupakan bagian yang melakukan penyerangan terhadap W2.
“(Dia) minta maaf, kasih tahu content planning, aku salah satu target utama. Dari tidak tahu tentang (yang kukerjakan), karena selalu dicekoki, kok ada yang nggak bener ya, dia riset sendiri, resign, dan minta maaf (sama aku),” ungkapnya.
Ancaman-ancaman tersebut perlu dipahami lebih dari sekadar kejadian individu. Fakta ini melihat sejauh mana penindasan secara sistematis dan struktural terjadi karena perbedaan identitas gender dan/atau karena pekerjaan yang mereka lakukan pada isu-isu terkait gender.
Di samping itu, KBGO perlu menjadi perhatian karena dikhawatirkan meluas hingga kekerasan di dunia nyata. Contohnya, yang pernah terjadi di India, jurnalis Gauri Lankesh yang menerbitkan kritik terhadap ekstremisme Hindu, terbunuh pada 2017 setelah meluasnya seruan online untuk melakukan kekerasan terhadapnya.
Penulis: Kenia Intan
Editor: Amanatia Junda