MOJOK.CO – Kalau bukan karena menyandang status mahasiswa veteran, saya tidak akan sempat cicip Nokia N-Gage, gaming phone terbaik pada zamannya.
Saya bersyukur pernah menyandang status “mahasiswa veteran”. Kejar-kejaran antara dosen pembimbing, skripsi, dan revisi memang menyebalkan. Namun, ada satu sisi menyenangkan dari status mahasiswa veteran, yaitu kamu akan bersyukur karena nggak ketinggalan perkembangan teknologi.
Bagi mahasiswa yang pada 2004 masih berkutat dengan revisian skripsi, kampus menjadi semacam ruang komunal mendapatkan informasi apa saja. Ini saya syukuri banget, karena ketika lulus pada 2005 dan menjadi guru, waktu saya habis untuk membuat bahan ajar dan ngurusin anak-anak SMP yang bandelnya minta ampun.
“Pak, tahu nggak ini hape apa?” Seorang anak SMP yang kalau ke sekolah cuma bawa satu buku tulis tiba-tiba bertanya sambil menunjukkan sebuah hape yang lebih mirip gameboy. Orang Jawa melafalkan gameboy menjadi gamebot. Sungguh “solutip” kalau kata Bu Tejo mengingat lidah Jawa itu nggak gampang melafalkan beberapa istilah dalam bahasa Inggris.
Saya, yang menerima pertanyaan itu, langsung bersyukur dalam hati. Saya nggak “gaptek” banget. Gawat kalau terlihat punya kelemahan di depan murid-murid SMP kurang ajar ini.
“Tahu, dong. Nokia N-Gage itu. Enak banget buat main biliar,” jawab saya dengan penuh keyakinan.
Dasar bocah-bocah sableng, mereka malah tertawa terbahak-bahak. “Pak, masak tahunya cuma biliar. Main Asphalt, lah. Bapak tahunya balapan sapi, sih.”
Mungkin yang dimaksud bocah sableng itu Karapan Sapi, tapi jadi balapan sapi. Ya sudahlah, saya diamkan saja ketimbang masalah Nokia N-Gage jadi panjang urusannya. Lha wong saya tahunya cuma main biliar kalau di kampus.
Tahun 2004 adalah tahun perdana keluarnya Nokia N-Gage. Buat mahasiswa veteran yang cuma tahu hape Nokia batangan dan hape lipat warna putih merek Samsung, melihat perawakan Nokia N-Gage bikin naik alis mata. Wujud gameboy yang dilafalkan gamebot langsung terbayang.
Kalau tidak salah ingat, Nokia N-Gage generasi awal dijual seharga Rp3 juta. Sangat mahal untuk ukuran periode 2004-2005. Oleh sebab itu, di kampus, tidak banyak yang punya Nokia N-Gage. Mereka yang beli hape ini antara suka banget sama game atau turah duwit alis anak orang kaya.
Salah satu teman saya, bukan mahasiswa baru bukan pula mahasiswa veteran, datang ke kampus untuk pamer Nokia N-Gage. Anak ini memang lebih banyak main sama “para mahasiswa berkerak” ketimbang yang lebih muda atau satu angkatan. Kayaknya dia nggak punya teman karena dianggap “aneh”.
Lantaran hape Nokia N-Gage itu dipamerkan ke “artefak-artefak kampus”, maka yang terjadi adalah dicuekin. Datang bawa hape baru nggak bikin kamu keren. Coba datang bawa anggur merah cap orang tua sama sebotol bir dingin. Wah, kamu bakal langsung dirangkul dengan hangat.
Ketika kami lagi asyik ngobrolin sepak bola, dia berusaha menarik perhatian dengan mainin Nokia N-Gage itu. Kalau saya tidak salah ingat, dia main Sonic Advance, salah satu game populer hape ini bersama Asphalt, Tom Clancy’s Splinter Cell, FIFA Football 2004, Ashen, dan Pathway to Glory.
Saya tidak terlalu tahu jeroan hape. Sejauh yang saya tahu, OS Symbian hape ini sudah mendukung internet, bluetooth, GPRS, dan punya loudspeaker yang lumayan. Jadi kalau lagi main game, suaranya itu kayak memaksa telinga untuk mendengar. Aplikasi JAVA MIDP bantu hape ini bisa main banyak game.
Ketika si bocah ini lagi asyik main Sonic Advance, satu teman saya, yang juga berstatus relik kampus, mendekati dia dan mencoba meminjam. Dasar relik kampus, dia kesulitan main Sonic Advance padahal sudah dijelaskan berulang kali. Si bocah ini mungkin berpikir dirinya menyesal banyak ngumpul sama para jompo kampus dan mulai mempertimbangkan berteman sama teman sebaya.
Karena gregetan sama Sonic Advance, teman saya secara “ngawur” keluar dari game itu. Si pemilik Nokia N-Gage diam saja nggak berani membantah. Mungkin takut kualat kalau melawan orang tua. Teman saya asyik memilih game sampai akhirnya dia menemukan game biliar itu.
“Nah, iki lho lagi main,” kata teman saya sambil memencet shortcut game itu. Game biliar di hape Nokia N-Gage itu jelas lebih mudah dipahami dan dimainkan oleh para relik kampus ketimbang Sonic Advance atau Asphalt.
Maka yang terjadi adalah hape Nokia N-Gage itu diangsurkan dari satu tangan ke tangan lain untuk cicip main biliar virtual. Sejak saat itu, kalau bawa hape itu ke kampus, sampai baterai hape habis, si bocah hampir nggak kebagian main game. Yah, kita anggap saja sebagai caranya diterima di lingkungan pertemanan kampus.
Itulah alasan saya cuma tahu game biliar di hape Nokia N-Gage. Mau bagaimana lagi, kalau sebuah permainan sudah dianggap cocok dan bisa jadi bahan “judi kecil-kecilan” (dan menghasilkan), orang-orang jadi sulit berpaling. Tapi, saya kan nggak mungkin menjelaskan hal itu ke anak-anak SMP yang kurang ajar itu.
Saya rasa, sampai sekarang, hape Nokia N-Gage ini hape yang konyol sekaligus menyenangkan. Konyol banget terutama ketika yang punya menerima telepon. Desain hape ini namanya taco, semacam kuliner Meksiko. Karena bentuknya seperti itu, Nokia memindahkan speaker dan penerima suara di sisi hape. Maka jadilah, ketika menerima telepon, kamu akan pakai gaya sidetalking. Konyol betul.
Sayangnya, setahu saya, Nokia N-Gage ini tidak bertahan lama. Salah satu kegagalan Nokia adalah gagal mencegah pembajakan game. Untuk main game secara resmi, kamu harus membeli game card seharga Rp300 ribu. Namun, pada kenyataannya, dengan duit Rp10 sampai Rp20 ribu, kamu bisa “beli” banyak game bajakan di konter-konter pulsa. Edaaan.
Yah, untungnya, sebelum Nokia N-Gage nggak populer lagi, saya sempat cicipi game Asphalt. Ternyata memang seru. Semacam main Need for Speed, game PlayStation di hape.
Siapa yang mengajari saya? Ya tentu saja anak-anak SMP kurang ajar itu tadi. Mereka mengajari saya di burjoan setelah tertangkap basah bolos sekolah. Salah sendiri bolos, udad-udud di burjoan tapi nggak ngajak saya.
BACA JUGA Nokia 5.3 dan Nokia 5310: Nokia Memang Paling Jago Bikin Hape Nostalgia dan ulasan hape lawas lainnya di rubrik KONTER.