MOJOK.CO – Kasir suka curiga ada lansia, apalagi cuma naik motor, punya kartu BCA Prioritas. Kadang saya malah dianggap lupa ingatan. Padahal saya cuma tua.
Beberapa waktu yang lalu, utamanya di Twitter, sempat viral soal kartu BCA Prioritas. Memiliki kartu BCA Prioritas, menurut saya, tidak hebat-hebat amat. Apalagi kalau jarang memanfaatkan fasilitasnya. Rasanya sama saja seperti nasabah lain, terutama dalam hal transaksi perbankan. Kalau memang sepi, tak ada yang kirim honor tulisan, rekening saya walaupun BCA Prioritas tetap nggak nambah saldonya.
Saya punya kartu BCA Prioritas sudah lebih dari 20 tahun. Saya pikir dulu saya ditawari oleh BCA karena banyak membantu publikasi ketika BCA membuka ATM besar-besaran di sekitar tahun 1997. Dugaan lain karena rumah saya satu RW dengan kantor BCA. Kebetulan yang nawarin saya itu BCA KCU Kalimalang yang persis di depan perumahan saya, kompleks Billly & Moon. Saya masih punya saty dugaan lain. Mungkin karena saya pimpinan media massa makanya ditawari fasilitas ini.
Ternyata dugaan saya semuanya tidak benar. CS yang melayani saya mengatakan bukan. Akhirnya saya tanya kenapa saya diundang datang untuk menerima kartu BCA Prioritas? Si Mbak CS menjelaskan itu karena tabungan saya lebih dari Rp300 juta (waktu itu, lo). Batas minimum tersebut sudah dinaikkan menjadi Rp500 juta sejak sepuluhan tahun lalu.
Kontan saya jawab, tabungan Tahapan yang biasa saya pakai menerima transferan gaji cuma berisi Rp40 juta lho (itu pun karena tanggal muda, barusan ditransfer oleh bagian keuangan). Lantas dia menjawab, karena saya punya tabungan, deposito, ORI (Obligasi Republik Indonesia), dan ada pula reksadana yang dibeli lewat BCA. Kalau ditotal, memang sih jadi lumayan. Sombong sedikit boleh dong. Itung-itung saya menang umur. Hehehe….
Oke, lantas saya tanya apa syarat menerima kartu itu. Dia katakan, tidak ada syarat apa-apa. Syaratnya saldo akumulatif di BCA tidak boleh kurang dari syarat minimal itu. Kartu saya terima, warnanya hitam, tertulis BCA Prioritas di atas lingkaran warna emas, dan tulisan Platinum di sebelah kirinya (bisa saya kirim fotonya deh untuk yang pengin punya. Bisa dicetak dan disimpan di dompet kamu. Hehehe).
Kartu debit itu dikaitkan pada tabungan Tahapan saya. Jadi, kalau ada belanja, misalnya untuk hotel atau rumah sakit, langsung dipotong dari rekening saya di Tahapan itu. Walaupun di buku Tahapan saldonya tinggal lima juta, tapi kalau deposito dan lain-lain masih lebih dari syarat minimal, saya tetap berhak memegang kartu itu. Pemegang kartu BCA Prioritas kayaknya tidak dikenai annual fee seperti kartu kredit yang tarifnya berjenjang menurut kelasnya.
Beberapa tahun saya merasa kartu ini biasa saja. Nggak ada istimewanya kecuali, kalau saya melakukan transaksi atau mencetak buku tabungan atau membuka deposito, dilayani di ruang khusus. Untuk urusan dengan CS maupun teller, tetap saja antre. Cuma antrenya sambil duduk dan dilayani minum teh atau kopi. Nasabah BCA Prioritas tak perlu antre mengular di depan teller. Kadang-kadang ada kue atau biskuit juga.
Keramahtamahan di ruang BCA Prioritas sangat terasa. Memang berbeda dengan nasabah lain di teller atau konter umum. Selain disediakan kursi untuk menunggu, dihidangkan kopi atau teh, semua petugas sepertinya diajari untuk hafal nama-nama nasabah BCA Prioritas. Semua nasabah yang masuk disapa dengan namanya masing-masing. Bahkan, mbak-mbak yang melayani kopi atau teh pun hafal nama setiap nasabah. Begitu ada nasabah masuk, yang dekat pintu menyapa, “Selamat pagi, Pak Margana.”
Hal berbeda lain ialah beberapa kali saya mendapat kiriman kue pada hari ulang tahun. Fasilitas ini pasti tak dinikmati oleh nasabah BCA lain yang tak memegang kartu prioritas itu. Tambah lagi, ini yang paling saya suka, setiap akhir tahun saya mendapat jatah kalender satu set.
Namun dalam hal transaksi, saya merasa tak ada bedanya dengan nasabah lain. Transfer antarbank dikenai biaya, membeli reksadana kalau perlu materai kita juga harus beli, dan lain-lain. Apalagi bunga bank, semua sama seperti nasabah lainnya. Bedanya, kalau ada produk ORI (waktu itu) atau reksadana atau surat berharga lainnya, CS akan menawari lewat telepon atau WA.
Begiu juga fungsi kartu itu dalam transaksi. Setahu saya sama saja dengan kartu nonprioritas. Tidak ada fee tambahan atau diskon dengan kartu BCA Prioritas. Petugas di merchant memotong sesuai nilai pembayaran. Kartu BCA Prioritas benar-benar berfungsi seperti kartu debit.
Di luar urusan perbankan, saya kurang begitu banyak memanfaatkannya. Apalagi ketika itu saya tak banyak melakukan perjalanan ke luar kota. Paling untuk pembayaran di rumah sakit, dokter, restoran, atau hotel.
Saya merasa tidak terlalu merasakan perlakuan istimewa dengan kartu BCA Prioritas. Apalagi setelah menjadi lansia seperti sekarang ini.
Suatu ketika karena ada urusan transfer cukup besar, saya perlu ke ruang prioritas di salah satu kantor BCA di Jakarta Timur. Satpam di bawah mempersilakan dengan ramah setelah menyodorkan thermogun. Sampai di depan tangga ke lantai 2, saya tanya apakah ada ruang prioritas. Petugas yang jaga menelisik, mau apa? Saya jawab, mau transaksi. Karena petugas itu agak menghalangi, saya langsung menerobos ke lantai 2.
Sampai depan pintu, petugas di sana memberitahukan dan setengah mencegah bahwa itu ruang prioritas. Saya menerobos masuk saja. Saya masih sempat melihat reaksi satpam di depan pintu mengangkat tangannya karena saya masuk.
Setelah saya ke teller dan melakukan transaksi, si teller mengatakan, “Maaf, Bapak rupanya tak pernah ke sini ya.” Saya akui, saya baru pertama kali ke bank itu. Apa pakaian saya terlihat nggak meyakinkan ya? Nggak kelihatan kayak pemegang kartu prioritas.
Suatu ketika saya harus membayar biaya dokter. Biasanya, saya dikenal oleh kasir sebagai pasien BPJS. Karena surat rujukan dari puskesmas belum diperbarui, jadi saya membayar dengan kartu debit. Ketika saya menyodorkan kartu BCA Prioritas, mungkin hanya iseng atau memang curiga sama wajah tuwir saya, si kasir tanya: “Ini kartu Bapak?”
Saya kesal karena tidak dipercaya. Karena tak saya jawab, dia tanya lagi: “Tanda tangan atau PIN?” Saya jawab dengan nada memelas, “PIN, Mbak. Kan itu kartu debit.”
Terkesan Mbak Kasir tak percaya saya memegang kertu BCA Prioritas. Mungkin dia sudah terlalu hafal, yang memegang kartu seperti itu adalah para eksekutif muda, tampangnya keren, segar bugar, dan nggak pakai layanan BPJS kayak saya. Mungkin dalam persepsi dia, lansia umumnya sudah tidak masanya punya kartu seperti itu. Sedih.
Suatu ketika saya mengundang anak-anak dan keponakan makan siang di sebuah restoran di Jalan Kalimalang. Karena dekat dengan rumah, daripada repot mengeluarkan mobil dari garasi, saya datang dengan sepeda motor. Parkiran sepeda motor kebetulan tepat menghadap kasir, hanya berbataskan kaca. Jadi kasir bisa lihat siapa yang datang naik sepeda motor. Kebetulan salah satu pengendara sepeda motor adalah saya yang sudah lansia.
Selesai makan, saya langsung ke kasir menyodorkan kartu BCA Prioritas. Si kasir dengan nada menyelidik bertanya:
“Ini kartu Bapak?” Saya sempat curiga ini orang yang sama waktu di rumah sakit.
Saya jawab “Iya” dengan nada sesopan mungkin. Setelah di-swab, si kasir masih iseng nanya, “Ingat nomor PIN-nya?”
Saya sempat tertegun. Agak kesal. Saya memencet tombol di mesin pembayaran untuk memasukkan PIN sambil membatin, “Iya, saya tua. Tua. Bukan lupa ingatan.”
Saya pikir-pikir, apakah memang orang lansia apalagi naik sepeda motor seperti saya tidak layak punya BCA Prioritas? Jangan-jangan populasi lansia pemegang BCA Prioritas sudah menurun. Besok lagi saya mau datang ke restoran itu naik tank.
BACA JUGA Menjadi Nasabah BCA Prioritas Memang Sebuah Pencapaian, namun Menjadi Nasabah Biasa Bukan Berarti Kegagalan dan kisah seru lainnya di rubrik KONTER.