MOJOK.CO – Kapasitas RAM dan resolusi kamera yang tinggi seringkali menjadi patokan orang awam saat menentukan ponsel mana yang lebih baik secara kinerja. Benarkah demikian?
Ada beberapa alasan bagi seseorang untuk menjatuhkan pilihan pada sebuah ponsel. Ia bisa saja menyukai desain dan kualitas materialnya, menggandrungi merek yang menjanjikan rasa aman, mengidolai brand ambassador dengan mentalitas militan, atau terkesima oleh data spesifikasi gajet pada brosur yang dibagikan di pinggir jalan.
Alasan terakhir itulah yang punya andil signifikan dalam mempengaruhi keputusan konsumen. Saat spesifikasi suatu ponsel dibandingkan dengan ponsel lainnya, yang menjadi acuan kerap kali adalah angka-angka pada spesifikasi ponsel mana yang lebih besar.
Meskipun bukan merupakan sesuatu yang mutlak keliru, memakai besaran angka sebagai acuan merupakan tindakan yang lugu. Bagaimanapun, ada banyak parameter yang mempengaruhi kinerja suatu ponsel yang justru tak disertakan di brosur. Keluguan itu pada akhirnya memunculkan dua takhayul di benak konsumen ponsel pintar tanah air. Pertama adalah takhayul soal kapasitas RAM. Kedua adalah takhayul soal resolusi kamera.
Berhubung duit THR situ sudah di depan mata dan kemungkinan situ mengganti ponsel sebesar peluang Liverpool mengganti kiper, maka ada baiknya bila kita membahas kedua takhayul tersebut sebelum situ buru-buru melancong ke konter terdekat.
Kapasitas RAM
“Ponsel yang powerful adalah ponsel yang memiliki kapasitas RAM superlega. Semakin besar kapasitas RAM, maka semakin sakti ponsel tersebut.”
Betulkah?
Mari kita berkenalan ulang dengan jenis penyimpanan yang satu ini. RAM alias Random Access Memory merupakan tempat penyimpanan data yang bersifat sementara pada suatu perangkat elektronik. Ia akan bekerja ketika perangkat diaktifkan. Data yang ada di dalamnya akan dihapus ketika perangkat tersebut dimatikan. Pendeknya, RAM seperti ruang peron pada stasiun; ia digunakan sebagai tempat persinggahan sementara bagi penumpang yang menunggu kereta datang.
Jenis RAM yang digunakan pada ponsel adalah jenis LPDDR (Low Power Double Data Rate). Berbeda dari jenis RAM yang ada pada komputer, RAM pada ponsel membutuhkan lebih sedikit daya untuk bekerja. Ini jelas berdampak pada performa RAM ponsel yang inferior dibandingkan RAM komputer. Namun, harus diingat bahwa ponsel memang didesain untuk mobilitas, bukan kebut-kebutan performa.
LPDDR memiliki beberapa interface yang mempengaruhi kinerjanya, yaitu LPDDR1, LPDDR2, LPDDR3, dan yang teranyar adalah LPDDR4. Semakin tinggi versi interface-nya, maka semakin cepat dan besar data yang bisa diproses dalam setiap satuan waktu.
Jenis interface ini jarang muncul di brosur ponsel, meskipun memegang peran kunci terhadap performa RAM secara keseluruhan. Brosur ponsel terbiasa menyampaikan besaran kapasitas penyimpanan RAM. Padahal kapasitas penyimpanan RAM yang sama pada dua ponsel berbeda bisa saja menganut jenis interface yang berbeda pula.
Sebagai pembanding adalah ponsel One Plus One dengan Sony Xperia C5 Ultra. Di atas kertas, One Plus One lebih powerful ketimbang Xperia C5 Ultra; ia menggunakan RAM 3GB, sementara saingan Jepang-nya menggunakan RAM 2GB. Namun, One Plus One ternyata menggunakan interface yang lebih jadul, yaitu LPDDR2, ketimbang Xperia C5 Ultra yang sudah menggunakan interface LPDDR3. Perbedaan kecepatan data yang mampu ditransfer mencapai dua kali lipatnya (800 Mbps berbanding 1800 Mbps), dan nilai tersebut mempunyai perbedaan yang signifikan.
Sebenarnya ada banyak parameter lain selain kapasitas RAM untuk menentukan kinerja suatu ponsel: kecepatan prosesor, jenis arsitektur prosesor, jenis kartu grafis, dan lain-lain. Menggunakan RAM sebagai satu-satunya acuan merupakan pemikiran yang terlalu terburu-buru, sementara menggunakan besaran kapasitas RAM sebagai jaminan mutu merupakan pemikiran yang… ah, sudahlah.
Resolusi Kamera
“Semakin besar ukuran megapiksel kamera suatu ponsel, maka hasil jepretannya bakal semakin ciamik.”
Betulkah?
Baru-baru ini Huawei membikin gebrakan dengan mengeluarkan ponsel berkamera superior bernama Huawei P20 Pro. Selain menggunakan tiga kamera belakang, salah satu lensa kamera pada ponsel itu dibekali resolusi yang tak main-main: 40 megapiksel!
Huawei dan pabrikan ponsel lainnya memang sedang terlibat perang di sektor kamera. Selain menjejalkan fitur AI dan menambah jumlah lensa, besaran resolusi menjadi medan perang yang seksi. Korban perang ini tentu saja adalah konsumen. Mereka terjangkiti takhayul kaum penyembah resolusi yang menganggap mutu kamera berbanding lurus dengan besaran resolusinya.
Mari kita sepakati bahwa kamera yang baik adalah kamera yang mampu mereproduksi citra sesuai dengan objek aslinya. Reproduksi citra di sini tak terbatas pada bentuk dan kedalaman gambar, tetapi juga pada reproduksi warna. Jika situ memotret gentong berwarna biru dan hasilnya berubah menjadi berwarna hijau pupus, sudah jelas kamera yang kalian gunakan itu butuh diruwat.
Kemampuan mereproduksi citra sesuai objek aslinya inilah yang menjadi persoalan. Ia membutuhkan banyak parameter yang lebih kompleks ketimbang menentukan performa RAM, seperti mutu optik yang digunakan, ukuran piksel, ukuran diafragma, mutu sensor, jenis software pengolah citra, dll.
Sementara itu, besaran resolusi kamera sebenarnya merupakan acuan yang paling tidak berarti. Ia hanya menunjukkan satuan kepadatan suatu gambar. Jika sebuah kamera ponsel memiliki resolusi, katakanlah 20 megapiksel, maka hasil foto yang diambil akan memiliki kepadatan gambar sebesar itu, tak peduli hasil foto tersebut cerah atau gelap gulita, fokus atau ngeblur parah.
Resolusi kamera baru diperhitungkan ketika suatu gambar ingin dicetak atau ditampilkan ke media yang lebih besar. Jika resolusi kamera situ sebesar 13 megapiksel dan ingin melihat hasil jepretannya di TV layar datar 42”, maka tidak akan jadi masalah. Berbeda urusannya kalau situ ingin mencetak foto beresolusi sebesar itu ke media seukuran baliho para cagub. Sudah pasti hasilnya akan pecah-pecah.
Pada kenyataannya resolusi kamera menjadi sektor yang paling digembar-gemborkan oleh para produsen ponsel. Ini barangkali disebabkan karena besarannya lebih mudah untuk diperbandingkan antarponsel. Calon pembeli tidak perlu memahami teknologi lensa atau definisi diafragma, mereka cukup mencari angka pada resolusi kamera ponsel mana yang lebih besar.
Strategi pemasaran yang tanpa penjelasan yang lengkap akhirnya memakan korban. Calon pembeli ponsel yang sebagian besar buta teknologi kamera dengan mudahnya membeli ponsel beresolusi kamera yang paling gahar sebelum kemudian menyesal karena hasil jepretannya tidak lebih baik dari mutu gambar kamera era Perang Dunia.
***
Era sekarang memberi kita akses tak terbatas untuk mencari informasi. Ada banyak sekali situsweb yang memfokuskan diri pada ulasan ponsel. Beberapa di antaranya merupakan situs yang kompeten, sementara sebagian besar sisanya hanya sekadar memindahkan data dari brosur pinggir jalan ke bentuk daring. Sialnya, beberapa situs ini memiliki rating yang tinggi.
Oleh sebab itu, alangkah eloknya bila kita memakai prinsip kehati-hatian saat menelusuri suatu informasi. Bersikaplah skeptis ketika mendapati spesifikasi ponsel yang too good to be true, apalagi bila dibanderol dengan harga yang menyalahi akal sehat.
Jangan sampai, naudzubillah, kita terpecah belah ke dalam kubu yang lebih menggelikan ketimbang cebongers dan bani unta. Kubu Xiaomi Garis Lengkung versus kubu Asus untuk Indonesia yang Lebih Unyu, misalnya.