MOJOK.CO – Kalau dapat undangan pernikahan, mending ngasih angpao atau kado ya buat hadiah pernikahan? Berapa sih budget ideal yang harus dikeluarkan? Nggak bisa ya kalau nggak ngasih hadiah apa-apa? Hehehe.
Sahabat Celenger yang sudah nyusun daftar undangan pernikahan tapi calonnya belum ditanya mau apa tidak,
Banyak anak milenial yang mungkin tidak paham sejarah bagaimana undangan pernikahan telah bertransformasi. Dulu, ada masa dimana undangan pernikahan ada gambar celengan di penutup amplopnya. Sungguh lokasi yang strategis! Itu artinya penyelenggara tidak menghendaki diberi kado, tapi cukup amplop berisi uang.
Inovasi malu-malu tapi mau duwit itu berangkat dari keprihatinan banyak penyelenggara pernikahan. Item kado pernikahan ragam pilihannya itu-itu saja. Piring-gelas, alasannya karena pengantin baru pasti membutuhkan makan agar tetap bahagia. Seprei, ini pikiran purba yang sepertinya lestari, pengantin baru pasti kerap membutuhkan ganti seprei. Terakhir kipas angin, bisa-bisanya orang berpikir kalo pengantin baru pasti sering sumuk.
Bayangkan kalau item yang sejenis banyak sekali. Ya, pengantin pasti sumuk. Tapi kan ngak mungkin menghidupkan 50 kipas secara serentak? Kayak pilkada aja. Duh, jangan kado lagi dong! Bagaimana kalau uang aja? Itu sejarahnya. Uang selain memang membuat mata ijo, fleksibilitasnya memang dapat diandalkan untuk menjawab mahalnya biaya pernikahan.
Kalau kalian merasakan budgeting pernikahan itu memusingkan, kalian tidak sendiri! Banyaknya orang yang mengeluhkan mahalnya biaya pernikahan sudah merupakan peristiwa biasa. Tapi ya begitu, walaupun kalian sambat, tetap saja jalan terus! Bahkan tidak jarang dari semula berusaha memangkas biaya, akhirnya malah tabungannya yang terpangkas semakin dalam.
“Ay, kalo pake busana pengantin Jawa seperti pemain kethoprak itu kayaknya kok nggak banget yah. Selain sumuk, dandannya juga bakal lama. Acaranya jam 7 malam, dandannya harus mulai jam 7 pagi.”
“Jadi enaknya gimana nih, Hon? apa pake busana Eropa Timur aja? Selain ringkas juga sepertinya bakal irit biaya.”
“Ya nggak masalah sih. Cuma akunya yang kawatir. Bukannya terlihat modern dan perlente malah jadi kaya Pangeran Dracula lagi dapat order main sulap.”
Itu baru busana. Belum konsep pestanya yang semakin beragam saja, dari mulai penyelenggaraan di dalam gedung hingga di antara semak belukar. Hahaha. Padahal tidak sedikit veteran pesta pernikahan seperti saya yang tidak henti-hentinya menyarankan akan lebih baik kalau sebagian dana pernikahan dialokasikan untuk kehidupan setelah acara pernikahan. Apa mau menunggu pesta pernikahan yang menguras tabungan dinyatakan haram oleh MUI?
Eh, sebentar. Kayaknya ada yang luput dari perhatian kita. Ngapain juga kita terlalu mikirin orang yang memang sudah punya niat menghamburkan uang untuk biaya pernikahan yang instagramable, facebookable? Lha trus yang mikirin nasib anggaran kita untuk sumbangan pernikahan siapa?
Judulnya padahal sumbangan, yang artinya berapapun angpao yang akan kita berikan jumlah uangnya bersifat sukarela. Entah siapa yang memulai, orang kemudian menentukan klasifikasi besaran angpao berdasarkan jenis aktivitasnya. Bukan sekadar jenisnya saja, para penentu tradisi nyumbang tersebut kemudian menjelajah jauh hingga ke urusan suasana hati. Semakin gembira semakin besar angpaonya.
Lho ini serius. Kasta terendah dari isi angpao justru di acara takziyah, melayat orang meninggal. Coba bayangkan, keluarga yang ditinggalkan sudah pasti sedih. Apalagi kalau yang meninggal tulang punggung keluarga. Itu belum kalau masih ada tunggakan biaya berobat saat masih hidup.
Berikutnya barongsai. Kita yang melihat atraksi tersebut gembira, nganga, dan berdecak kagum melihat kelincahan para pemainnya. Tapi itu sebenarnya menyedihkan lho. Bayangkan saja pemainnya harus koprol-koprol dulu dengan kostum naga, baru diberi uang. Kenapa nggak ngamen saja coba? Hasilnya lebih besar, tidak perlu koprol, dan tidak harus menunggu hari imlek tiba untuk mempertontonkan atraksinya.
Angpao lebaran besarannya masih mending dari keduanya. Sudah suasananya bertabur kegembiraan, bisa makan sepuasnya setelah sebulan berpuasa, masih juga dapat angpao. Nah, ini derajat pendidikan juga berpengaruh. Kalau anak SD 25ribu, maka mahasiswa angpaonya 100ribu. Pertimbangannya rasional, si pemberi berharap si anak kecil menggunakannya untuk snack aneka micin, sementara mahasiswa bisa untuk beli rokok dapat untuk membeli buku karangan penulis rubrik celengan, eh, pokoknya buku.
Nah, yang aneh memang angpao untuk pesta pernikahan. Bagaimana bisa untuk acara yang diniatkan untuk hedon, enak-enak, senang-senang kok akhirnya membebani yang diundang? Mengapa YLKI tidak memahami suasana kebatinan termutakhir, dimana penduduknya diam-diam ingin menulis hestek #IndonesiaDaruratAngpao #IndonesiaDaruratNyumbang #IhNyumbangLagi.
Sahabat Celenger yang dalam merencanakan pernikahan lebih terbayang nominal uang daripada kantor KUA,
Kita seperti dipaksa memahami bahwa biaya pernikahan itu mahal! Komponennya banyak, saya sebutkan mulai dari pos yang terbesar: biaya catering, biaya gedung, busana termasuk rias, dan dokumentasi. Itu relatif ya, bisa saja biaya dokumentasinya justru yang paling meroket karena menggunakan fotografer kondang, Darwis Triadi. Itu bisa 500 juta.
“Serius, Om?”
“Santai, kalem, tenang…. Mahal murah itu kan relatif. Kalau kalian tinggal di Jakarta dan berencana menggunakan jasanya mulai dari pre-wedding yang berlokasi di Pulau Sumba, Derawan, trus pindah ke Kei hingga resepsi pernikahannya. Jangankan Darwis Triadi, Darwis Triono pun pasti akan mahal!”
Kita sebagai yang diundang tentu paham mahalnya biaya pesta pernikahan. Masalahnya, mengapa budaya seperti membelit kita untuk turut meringankan beban acara pernikahan? Hahaha. Terlepas dari rasa bersyukur mempunyai banyak teman, era media sosial juga lebih mudah lagi menjangkau kita untuk soal undangan.
“Eh, aku nggak perlu kirim undangan ya. Cukup ke whatssapp group”
Penyelenggara pernikahan jelas secara cerdas melakukan penghematan biaya, apa iya kemudian kita membuat kalkulasi, kalau dikirim undangan menyumbang 500ribu, karena di WAG jadi cukup 450? Tidak. Masak kita sematematis itu?
Banyak anak milenial yang saat ini mulai merasakan kelelahan finansial dan ingin mengembalikan marwah kado pernikahan. Bukan uang yang sangat materialistik dan memang menggiurkan. Bedanya dengan generasi sebelumnya, komunikasi mereka lebih terbuka. Mereka bisa saling bercakap akan kebutuhan akan barang yang bermanfaat untuk pengisi rumah misalnya, atau bahkan perhiasan yang selain dapat untuk mempercantik diri juga bisa digadaikan jika tengah membutuhkan dana.
Kado secara pribadi bisa, satu group pun memungkinkan. Tapi yang namanya tradisi yang sudah berurat dan berakar, uang sampai sejauh ini masih tetap dijadikan pilihan utama. Padahal penyumbang sering kebingungan dalam menentukan besarannya. Teman SD-SMP jarang bertemu 100ribu, teman SMA-Kuliah jarang bertemu 150, sering bertemu 250. Nah teman sekantor yang bikin pusing, hahaha.
Saya kira penggagas kasta angpao untuk pernikahan harus paling besar itu harus diusut tuntas! ahli ekonomi pengusung kapitalisme saya kira ada di balik setiap keluhan, juga keresahan finansial masyarakat di bulan-bulan tertentu dimana gajian jadi terasa kecil, tabungan menyusut, dan penghematan di semua sendi kehidupan menyiksa jiwa raga.
Padahal yang kita tunggu saat ini sebenarnya adanya perubahan yang fundamental. Bukan soal lebih baik kado barang atau angpao, tetapi jika di undangan pernikahan dituliskan “Eh, lo datang ke pernikahan gue ya. Udah gosah bawa kado apa lagi uang. Sudah ga jaman!”
Asyik, seru, bersahabat, privat dan bakalan keren. Sampai kemudian orang tua meralat undangan itu dan mengirimkan ulang. Undangan pernikahan dengan logo celengan!