MOJOK.CO – Salah satu biang kerok yang sering menimbulkan pertengkaran dan (bisa jadi) memicu perselingkuhan dalam hubungan adalah ketidakterbukaan soal finansial. Emangnya apa sih susahnya mengatakan jumah penghasilan dan jumlah pengeluaran kepada pasangan?
Sahabat Celenger yang berniat setia saat kaya kelak,
Apa hal yang paling sulit dipertahankan di dunia ini, kesetiaan atau kekayaan? Sulit untuk menjawab, kan? Pertama karena belum kaya, kedua karena tidak yakin kita akan kuat dicoba dengan kekayaan. Hahaha.
Sampai sejauh ini, dalam benak banyak para pelaku ekonomi seperti kita pada umumnya, ukuran keberhasilan dalam hidup terlalu sering diukur dengan kelimpahan materi. Karir yang bagus kalau tidak menjamin mengalirkan harta ke pundi-pundi kita apa manfaatnya? Kemasyuran kalau tidak membuat kendaraan yang kita gunakan sebagai penunjang aktifitas kalau tidak terlihat mentereng apa gunanya?
Padahal setelah mempunyai banyak uang, di balik banyak kemudahan yang dapat kita lakukan, hal yang paling sering mendekat justru kesulitan! Sulit untuk mengontrol keinginan yang sebenarnya bukan tujuan hidup kita, sulit untuk membedakan antara kebutuhan dan keinginan, dan juga sulit untuk melewatkan tawaran-tawaran yang barangkali belum pernah mampir ke kehidupannya. Walaupun sulit, tetap saja orang antri untuk mendapat ujian kekayaan.
Dan begitu karir atau usahanya sukses, ada saja orang yang mendekat. Tiba-tiba saja didekati orang partai untuk berkiprah mengurusi negara. Bayangkan kalau mereka membujuknya dengan kalimat sakti, “negeri ini membutuhkan kiprah anda. Dengan masuk menjadi anggota partai politik, terbuka peluang untuk menjadi wakil rakyat atau bahkan eksekutif yang dapat membantu mensejahterakan rakyat”.
Kalau sudah begitu naluri purba manusia untuk menggenggam kekuasaan mengemuka. Bagaimana caranya, apa pun langkahnya akan ditempuh.
Di banyak kasus korupsi yang memenuhi ruang pemberitaan media kita, para pelakunya sebagian besar para politisi. Umumnya, mereka tertangkap tangan saat para penyelenggara negara tersebut kongkalikong dengan pengusaha untuk menggarong uang negara. Di rubrik celengan tentu saja kita tidak akan membahas bagaimana para politisi dan penguasaha tersebut melancarkan modusnya, tetapi lebih ke upaya untuk mengetahui motifnya.
Ya, karena begitu memutuskan untuk berpolitik. Sergapan pertama yang datang adalah ongkos politik yang mahal. Rumus yang umum berlaku, selain untuk mengongkosi diri sendiri juga “keharusan” untuk mengongkosi partai. Sangat mahal memang untuk yang sekedar kaya level awal. Bukan penghasilan satu dua tahun saja yang dipertaruhkan tetapi bagian yang kelak menjadi hak anak pun bisa ikut dipertaruhkan.
Kelirunya, hal tersebut dianggap sebagai investasi. Begitu menjabat, pikirannya hanya mengarahkan bagaimana mengembalikan pengorbanan yang dilakukan secepatnya. Eh, siapa tahu malah jadi berlibat seperti yang sudah-sudah. Tentu saja tidak semua seperti itu. Ini untuk menjelaskan mereka yang korupsi, berselingkuh bahu membahu dengan kekuasaan dengan melibatkan uang hehehe.
Kesulitan lain yang dihadapi begitu sudah menapak ke tangga sukses adalah pesona yang memancar. Perlu ditegaskan bukan soal ganteng apa cantik secara fisik, ya. Tetapi kepercayaan diri tidak pernah luput memoles manusia tampil ke dalam bentuk terbaiknya. Muka tidak berubah, kalau pun menjadi tampak lebih bersih karena lebih terawat, sesuatu yang wajar saja. Maka tidak perlu heran kalau kemudian ada pribadi lain yang tertarik dan ingin masuk ke kehidupan kita.
Problemnya, bagaimana kalau sudah tidak single?
Mudah, tolak saja. Itu jawaban paling sederhana yang sangat mungkin, sebenarnya tidak kita inginkan. Dalam bahasa lain, seperti halnya kekuasaan di atas, manusia mempunyai kecenderungan untuk diperhatikan. Coba, sebagian dari kalian tidak sedikit yang kelonjotan begitu ada yang menanyakan, “sudah makan belum?”
Padahal di versi yang lebih baru, cara memperhatikan orang sudah lebih advanced lagi. Bukan sekedar chat atau telepon menanyakan hal yang klasik, kalau tidak mau disebut basi, tetapi dengan cara mengirimkan rantangan.
“Eh, kebetulan aku lagi nyobain resep rendang dari nenek nin. Dimaem ya, jangan cuma dilihatin. Oh iya, satu lagi, ada pantun. Pagi hari makan roti, siangnya makan rendang. Mau bagaimana lagi, kalau sudah sayang.”
Entah kalian, saya sih gentar kalau menghadapi cobaan seperti itu. Walaupun pantunnya bikin ilfil pun tetap tidak akan terlihat kalau kita sudah ditampar dengan perhatian hahaha. Dia-yang-tidak-mau-disebut-nama lamanya kisahnya kan kurang lebih begitu, eh. Tiap hari dikirimi makanan rantangan, padahal sudah ada ransum dan uang berlimpah kalau memang mau niat jajan. Tetapi apa dia tahan menolak perhatian?
Ujung dari saling memperhatikan inilah yang memungkinkan terjadinya perselingkuhan!
Seperti halnya politik kekuasaan, ongkos perselingkuhan memang semahal politik elektoral. Tidak saja mahal secara finansial tetapi juga sosial. Untuk menghindari perdebatan yang tidak perlu, poligami dikecualikan dalam pembahasan ini. Jelas ya, mengingat tidak semua orang sanggup memikul konsekuensi tersebut atas nama apa pun. Apakah perselingkuhan beririsan dengan faktor ekonomi? Dalam beberapa kasus mungkin, tetapi itu bukan kecenderungan umum.
Om, apakah menerapkan keterbukaan masalah finansial antar pasangan bisa meredam niat selingkuh?
Ini sulit menjawabnya. Mungkin iya, secara tidak langsung. Banyak pertengkaran di dalam rumah tangga sering terjadi karena ketidakterbukaan soal finansial. Suami tidak terbuka dengan jumlah penghasilannya, istri tidak terbuka dengan jumlah pengeluarannya. Itu yang jamak terjadi. Apa susahnya mengatakan jumah penghasilan dan jumlah pengeluaran masing-masing pihak? Bagaimana bisa membangun suasana harmonis kalau setiap saat ricuh soal uang? Suami tidak percaya istri mengelolanya dengan baik, istri menganggap suaminya menyembunyikan gaji.
Untuk yang masih pacaran pun keterbukaan finansial tetap diperlukan. Karena tidak jarang banyak pasangan justru menjadi ragu untuk membangun rumah tangga. Jangan sampai setelah membangun rumah tangga justru situasinya menjadi lebih parah.
“Ay… gajimu tuh besar, lho. Hampir dua kali gajiku. Tapi tujuan finansialku lebih terarah. Aku setiap bulan masih kirim orang tua, bantu biaya kuliah adek, nabung, bayar premi asuransi. Lha kamu kan nggak punya kewajiban seperti itu. Tabungan nggak ada, barang yang terlihat itu-itu aja. Uangmu kemana saja?”
Tetapi prinsip keterbukaan finansial jauh lebih luhur dari itu. Untuk yang pendapatannya dari gaji, paham baik sumber penghasilan maupun kebutuhan rumah tangganya. Syukur-syukur paham soal berbagi peran, bahwa pasangan yang mengerjakan serangkaian pekerjaan domestik pada dasarnya adalah bekerja.
Sementara untuk yang mempunyai usaha, paham soal utang dan piutang usahanya dan terbiasa membicarakan urusan bisnis. Karena tidak sedikit orang yang semula mengira hidupnya baik-baik saja, tidak pernah melibatkan diri dalam urusan bisnisnya, begitu pasangannya meninggal ternyata hanya mewariskan kewajiban. saat aset dilepas, hilang sudah kesejahteraaan.
Keterbukaan pengaturan finansial justru akan melahirkan suasana yang cair, harmonis dan romantis. Selama ada usaha memperbaiki pengaturan keuangan rumah tangga. Itu harapannya. Tetapi kejiwaan seseorang memang lain-lain. Sudah saling terbuka tetap saja suasana yang terbangun seperti konser musik trash metal dengan dua vokalis.
“Mama beli tas terosss, beli sepatu terosss, anaknya beli kinderjoy terosss”
“Papa jajan terosss. Karaoke terosss”