MOJOK.CO – Mengapa langit berwarna biru dan mengapa warna biru dan hijau kerap tertukar.
Dua tahun lalu saya menulis, apa sih warna telur asin? Saya dan sebagian orang akan menyebutnya biru, sedangkan sebagian orang lain menyebutnya hijau. Usai menuliskan topik tersebut, saya menelusuri sejumlah referensi tentang warna yang ternyata sangat menarik.
Sebelum masuk ke referensi itu, teman-teman di Facebook urun rembug tentang apa warna telur asin ini. teman pertama bilang, di kalangan suku Minang, tidak ada biru. Sebagai gantinya, mereka memakai macam-macam hijau seperti hijau langit, hijau lumut, hijau terung, hijau daun, dan lain-lain. Teman kedua bilang, orang Sunda kadang memakai kata hejo untuk menyebut sesuatu yang berwarna biru.
Teman ketiga bilang, di beberapa tempat warna tak disebut dengan nama warna itu sendiri, melainkan dengan embel-embel bendanya. Misal, menyebut warna hijau/biru telur asin dengan “warna telur asin” atau warna hijau daun pisang dengan “warna daun pisang” (iya, seliteral itu). Sementara teman keempat memberi komentar yang sangat desainer, saya kutip lengkap, “Menurut Hexagonal Color Codes, warna telur asin itu #D7E5D8.” Oke.
Semua referensi itu mencerminkan bahwa warna biru kurang sering dipakai dalam penyebutan sehari-hari, yang sebagai gantinya, digunakanlah warna hijau.
Pencarian tentang betapa elastisnya batas biru dan hijau ini membuat saya sampai di satu rekaman siaran radio yang menurut saya sangat bagus. Di dalamnya, ada sesi wawancara dengan linguis Israel Guy Deutscher yang menceritakan sepotong bagian dari bukunya yang tak kalah menarik: Through the Language Glass.
Deutscher memulai ceritanya lewat kisah William Gladstone, seorang perdana menteri Inggris di abad ke-19 sekaligus fanatikus karya-karya pengarang Yunani, Homer. Dalam pembacaannya atas karya-karya pengarang puisi epik Odisseia itu,Gladstone menemukan hal aneh: Homer menggunakan istilah warna yang aneh untuk hal-hal yang tidak tepat. Misal, dengan menyebut laut dan sapi berwarna “anggur gelap”, domba dan besi berwarna “ungu”, dan madu berwarna “hijau”.
Dari keanehan ini, Gladstone lalu menyusuri seluruh larik di Illiad dan Odisseia untuk menghitung warna apa saja yang Homer sebut dan berapa kali ia menyebutnya. Salah satu hasil yang mengejutkan Gladstone, Homer tak sekali pun menyebut “biru”.
Singkat cerita, Gladstone kemudian memvonis Homer buta warna.
***
Di abad ke-19 juga mulai muncul di Eropa dan kemudian Amerika, perdebatan tentang bagaimana manusia bisa mengidentifikasi warna dan mengapa kemampuan identifikasi itu berbeda-beda dari satu masyarakat ke masyarakat lainnya. (Through the Language Glass mengulas panjang soal ini beserta contoh-contohnya, tapi saya ingin mengambil contoh yang lebih dekat: orang Madura menyebut daun berwarna biru sementara sebagian besar orang Indonesia menyebutnya hijau.)
Muncul teori-teori lain bahwa evolusi memengaruhi kemampuan manusia mengenali warna. Misal, ada yang menganggap masyarakat yang tidak punya kosakata warna biru karena mereka tak bisa melihat warna tersebut. Semacam buta warna massal. Namun, jawaban paling benar yang ditemukan di kemudian hari ialah, ketiadaan kosakata satu atau beberapa warna di satu masyarakat bukan tanda mereka tak mengenalnya, melainkan karena mereka tak membutuhkan kosakatanya. Dalam kasus biru, alasannya karena warna ini sangat jarang ditemukan dan tak ada satu pun tumbuhan yang secara natural berwarna biru. Biru adalah kosakata warna baru.
Deutscher kemudian mengujicobakan teori ini kepada putrinya, Alma. Sejak lahir hingga balita, Alma dikenalkan dengan nama-nama warna. Hijau untuk ini, merah untuk itu, biru untuk sana, dan kuning untuk sini. Namun, satu yang tak pernah diajarkan kepada Alma adalah: bahwa langit berwarna biru.
Di usia balita itu, suatu hari Alma diajak berjalan-jalan di siang yang cerah. Dalam perjalanan, Deutscher menanyai putrinya apa warna-warna hal-hal yang mereka temui. Hingga ketika ia bertanya apa warna langit, Alma terdiam agak lama. Ia kemudian menjawab, langit berwarna putih.
***
Kini kita tahu, identifikasi warna adalah kemampuan yang diajarkan. Kita memang bisa melihat warna-warna, namun bagaimana membedakan kuning dari merah, atau kuning dari jingga, atau hitam dari cokelat, ada kovensi budaya yang diwariskan turun-temurun, Jadi jangan heran jika penyebutan warna berbeda di setiap daerah.
Pengetahuan kita tentang warna juga terus berkembang. Jika standarnya kita dikenalkan pada warna-warna pelangi: merah, jingga, kuning, hijau, biru, ungu, kebutuhan akan kosakata yang lebih kompleks muncul ketika, misalnya, kita harus mengidentifikasi varian warna tekstil atau kosmetik. Muncul istilah-istilah warna yang belum diindonesiakan atau bahkan cukup ditandai dengan nomor.
Jadi, mengapa saya menyebut telur asin berwarna biru? Mungkin saya harus bertanya kepada ibu saya, jangan-jangan ia yang dulu mengajari. Dan mengapa langit berwarna biru? Jawaban dari sisi sains bisa dibaca di sini. Kalau dari sisi budaya, justru pertanyaannya, apa iya langit berwarna biru, dan bukannya putih, misalnya? (Sekarang sastrawan harus tahu, mereka butuh ketekunan pengamatan sekitar setara pelukis, alias tak boleh asal menyebut sesuatu sebagai sesuatu tanpa benar-benar mengeceknya.)
BACA JUGA Kata Paling Indah dalam Bahasa Indonesia dan esai Prima Sulistya lainnya.