[MOJOK.CO] “Mendapat berita duka cita yang bikin lemes mendadak, guru dan teman kita semua Pak Bondan Haryo Winarno meninggal dunia tadi pagi jam 9.05 WIB di RS Harapan Kita Jakarta, jenazah akan dibawa ke rumah duka JL Bangsawan Raya Sentul City siang ini. Mohon doa untuk beliau dan keluarga.”
Twit itu muncul pukul 10 pagi tadi oleh akun @arieparikesit, mengabarkan berita duka yang datang di antara duka karena banjir dan longsor di Yogya dan Pacitan serta letusan gunung di Bali. Bondan Winarno telah berpulang di usia 67 tahun, meninggalkan seorang istri, dua putri, dan satu putra.
Ucapan selamat jalan segera lalu lalang usai twit itu menjadi viral. Kenangan tentang Pak Bondan dikisahkan ulang, terutama tentang Pak Bondan sebagai penulis hebat. Berikut tiga di antaranya.
Selamat jalan, Pak Bondan. Makan enak di sana ya, Pak!
***
Anton Kurnia: Dari sebuah grup WA saya mendapat kabar Bondan Winarno meninggal dunia. Kabarnya, beliau wafat di meja operasi. Gagal jantung. Meski berbeda pandangan politik, saya tetap menghormati beliau sebagai seorang penulis yang hebat. Dia adalah contoh penulis sukses yang berhasil hidup tanpa ijazah. Dia seorang mahasiswa drop out yang kemudian menjadi fotografer, wartawan, penulis terkenal, petinggi media, pengusaha, konsultan untuk lembaga internasional, pakar kuliner, presenter televisi, anggota parlemen, dan seabrek predikat lain.
Terakhir saya berjumpa dengan Pak Bondan waktu sama-sama menghadiri Makassar International Writers Festival beberapa bulan silam. Sebelumnya, pada awal 2000-an kami pernah berinteraksi. Saat itu dia penulis terkenal dan pemred Suara Pembaruan, saya penulis kecil yang nyambi berjualan buku online dengan nama alias. Pak Bondan salah satu pelanggan setia saya. Dia kerap membeli buku-buku sastra lawas, antara lain novel Tambera edisi awal karya penulis Lekra yang gugur di pengasingan, Utuy Tatang Sontani.
Saya mulai mengenal Bondan Winarno saat remaja lewat tulisan-tulisan lepasnya di Tempo dan Matra. Saya memiliki dua buku kumpulan tulisannya tentang kiat bisnis yang renyah dan asyik dibaca. Ada beberapa cerpennya yang pernah saya baca dan melekat dalam ingatan. Salah satunya berlatar Tiongkok tentang seorang adik yang membunuh kakak perempuannya yang berselingkuh. Cerpen itu saya baca di majalah Matra. Lalu satu cerpen berlatar Bosnia yang masuk dalam kumpulan cerpen terbaik Kompas.
Saya juga membaca kumpulan cerpen pertama dia, Cafe Opera, yang diberi pengantar oleh Goenawan Mohamad. Dalam pengantar itu Mas Goen menyebut Pak Bondan “pelari sprinter” dan bukan “pelari maraton” karena dia penulis spesialis tulisan pendek dan saat itu belum menulis novel. Buku Cafe Opera itu saya comot dari rak buku Mas Taufik Rahzen di kantor Intaran Institute di Bandung.
Ada saat datang, ada saat pergi. Atas kepergiannya, saya ucapkan selamat jalan. Jiwa boleh pergi dari dunia, tapi karya-karyanya tentu bakal dicatat dan dimaknai.
Hairus Salim: Bondan Winarno meninggal dunia. Orang banyak mengenalnya sebagai host acara kuliner terkenal dengan kata khasnya, maknyus. Tapi, Bondan sebenarnya seorang penulis yang piawai dan serbabisa. Esai-esainya dalam rubrik Kiat di Tempo sekian tahun silam hingga kini masih merupakan esai terbaik dalam bidang manajemen dan pemasaran. Esai-esai itu empuk dan renyah, dan seperti hakikat sebuah esai yang bagus, bikin orang yang bukan bidangnya suka dan jatuh hati.
Bondan juga seorang cerpenis. Cerpen-cerpennya yang muncul di Kompas dan Matra bercerita dengan mengalir lancar. Membacanya mungkin orang jadi berpikir bikin cerpen itu mudah. Saya ingat, misalnya, ia menulis cerpen tentang seorang anak yang pada bulan Ramadan bikin kembang api dan jatuh cinta pada anak pedagang kertas minyak tempatnya sering membeli bahan untuk kembang api. Cerita itu sederhana, tapi entah mengapa sangat menyentuh perkara hubungan lintas agama, ras, dan kelas. Sayangnya ia tak banyak menulis cerpen.
Ketika orang banyak berdiskusi tentang laporan investigasi atau jurnalisme sastrawi, Bondan langsung mempraktikkannya dengan menelusuri isu emas Busang di Kalimantan Timur. Bisa dikatakan ia merupakan perintis jusnalisme sastrawi di Indonesia.
RIP, Om Bondan!
Ardyan M. Erlangga: Pak Bondan, Jurnalis yang Sudah “Naik Haji”
Di Indonesia, tidak banyak jurnalis sukses “naik haji”. Wujud naik hajinya jurnalis itu berat sekali, kata senior saya di persma dulu. Naik haji terbaik seorang jurnalis adalah menerbitkan hasil liputan investigasinya dalam bentuk buku. Apalagi bila bukunya sukses menguak cerita luar biasa, berdampak luas, dan menampilkan semua jenis keterampilan teknis menggali data maupun keterangan narasumber. Bondan Winarno jelas sudah “naik haji” sebagai jurnalis.
Bre X: Sebungkah Emas di Kaki Pelangi adalah karya jurnalistik pilih tanding yang berhasil menelanjangi kebohongan pengusaha maupun pengambil kebijakan pertambangan menjelang runtuhnya Orde Baru. Skandal pemalsuan mata bor yang mengindikasikan ada potensi emas di Busang, Kaltim oleh Michael de Guzman, berhasil dikuak Bondan mendetail. Bondan mengeluarkan ongkos pribadi ke Kanada, Filipina, bolak-balik Jakarta—Kalimantan, dan kota-kota lainnya. Termasuk ongkos untuk membuktikan Guzman memalsukan kematiannya sendiri. Walaupun tidak akurat betul, film Gold (2016) yang dibintangi Matthew McConaughey bisa menggambarkan rumitnya kasus pemalsuan data tambang di Indonesia, yang berujung pada goreng-gorengan saham Wall Street tersebut.
Sebelum Bre-X, Bondan melahirkan buku jurnalistik Tampomas II: Neraka di Laut Jawa, hasil liputan bencana transportasi memilukan saat masih berkarier di Tempo. Artinya, ketika dia belum menjadi sosok yang matang seperti ketika mengungkap skandal Bre-X, dia sukses menghasilkan feature panjang memikat. Dua buku tersebut menjadi acuan belajar siapa pun yang ingin berkarier sebagai jurnalis. Merugilah bila ada anggota pers mahasiswa atau anak komunikasi tak memiliki Bre-X ataupun buku Tampomas II di rak pribadinya.
Saya heran mendengar kritikan beberapa orang, sebagian saya kenal, soal pilihan politik Pak Bondan sekian tahun belakangan. Sempat juga dulu muncul boikot segala macam terhadap bisnis kafenya. Padahal politik adalah hak pribadi beliau. Sebagai sesama jurnalis, saya tetap pada pendirian begini: kalau ada jurnalis muda ingin mengikuti jejak Bondan Winarno, itu aspirasi yang baik.
Tapi, Pak Bondan memang “curang”, bakatnya terlalu beragam. Beliau bisa menulis fiksi. Punya stamina menulis luar biasa. Sepanjang kariernya sebagai jurnalis, ia berhasil independen. Memiliki keluwesan dan kegigihan menembus narasumber. Piawai membahas isu ekonomi yang rumit menjadi renyah dibaca di rubrik Kiat, pengelola media yang andal selama di majalah Swa, serta satu dekade terakhir sukses melakukan rebranding personal: menjadi penikmat kuliner disegani (serta penulis panduan makan yang ciamik). Lihat betapa lengkap tema yang sudah beliau jelajahi. Dari skandal perusahaan emas sampai mangut lele, semua bisa ditulis Pak Bondan sama menariknya.
Andai Pak Bondan meninggalkan sepenuhnya jurnalisme di masa senjanya dan hanya makan enak saja, sebenarnya tak mengapa. Bre-X adalah amal bakti yang begitu besar bagi perkembangan jurnalisme Indonesia. Pak Bondan sudah mencatatkan namanya dalam sejarah.
Jika ingin membaca Bre–X, silakan berburu buku fisiknya di Blok M Square, seingat saya masih ada beberapa eksemplar tersisa. Atau sila baca versi digitalnya di tautan ini.
(Kawan Aunurrahman Wibisono, seperti saya, termasuk salah satu pengikut ideologis Pak Bondan. Kini dia turut menekuni jurnalisme kuliner. Saya yakin saat status ini dibuat, Nuran sedang pontang-panting membuat obituari untuk media tempatnya bekerja.)
Bagi banyak orang, almarhum akan dikenang sebagai sosok presenter TV kebapakan yang membuat liur kita menetes tiap berkata, “Maknyus!”
Untuk saya, Bondan Winarno adalah jurnalis yang sudah “naik haji”, jurnalis sesungguhnya. Salah satu yang terbaik sepanjang sejarah republik ini.
Selamat jalan! Selamat beristirahat Pak Bondan. Hidup dan kariermu begitu maknyus!