MOJOK.CO – Percayalah, setiap profesi itu diam-diam punya kasta. Begitu pula dengan profesi kriminal, yaitu maling motor.
Sudah kadung menjadi stereotipe kalau terminal bus merupakan daerah rawan. Di situ tak hanya menjadi tempat kedatangan dan keberangkatan bus, melainkan juga menjadi arena kejahatan: pencopetan, penodongan, premanisme, hingga—seperti yang terjadi di terminal Kampung Melayu—aksi terorisme.
Empat tahun bermukim di sekitar terminal sebuah kota besar, membuat saya mengamini stereotipe tersebut. Sebagian orang yang bermukim di kampung saya ini memang orang-orang yang lurus. Tapi sebagian sisanya adalah orang-orang yang telah berjasa besar terhadap kelangsungan profesi sipir dan polisi.
Sebagian begundal yang saya kenal mengabdikan dirinya untuk menggasak motor orang, dan mereka memilih warung kopi yang berada di dekat rumah saya sebagai semacam markas komando. Di sinilah saya mengenal manis-getir dunia permalingan dari para pelakunya sendiri, yang membuat cara pandang saya terhadap mereka tak lagi hitam-putih.
Contohnya, hampir semua maling motor yang saya kenal adalah pribadi supel yang luar biasa menyenangkan—kecuali saat beroperasi, tentu. Tak ada yang merajah tato, menenteng golok, gemar menampari orang, atau ciri-ciri lainnya yang biasa digambarkan secara serampangan di novel-novel. Intinya, mereka orang-orang yang baik, yang kebetulan punya profesi jahat.
Selain itu, saya juga akhirnya tahu bahwa terdapat dunia permalingan motor bukanlah dunia yang egaliter. Ini saya sadari ketika beberapa orang bersikap amat takzim terhadap orang-orang tertentu. Mereka berbicara dalam bahasa Jawa halus, terus menunduk saat diajak ngobrol, dan sedikit-sedikit menyorongkan kopi dan kretek sembari membungkukkan badan. Pokoknya, sikap mereka akan membuat siapapun merasa bangga dan tersanjung.
Lewat pergumulan intensif selama bertahun-tahun, setidaknya terdapat tiga kasta sosial maling motor di terminal dekat rumah saya, yang saya ketahui.
Kasta Ultima Rebel
Mencuri motor adalah perkara ruwet berisiko tinggi. Oleh karena itu, demi kelancaran operasi dan keselamatan diri, seorang maling mestinya mengedepankan sikap pragmatis ketimbang idealis. Tak menjadi soal bagaimana teknik mencurinya, yang penting tujuannya tercapai.
Meski begitu, masih saja ada ruang bagi seorang idealis garis keras untuk berkecimpung di khazanah permalingan motor ini. Anehnya, merekalah yang menduduki strata sosial tertinggi.
Contohnya adalah tetangga saya. Namanya Suwito, yang bukan nama sebenarnya (tapi, buat apa juga saya sensor, wong Anda paling-paling juga tidak kenal). Di usianya yang setengah abad, Bapak Suwito memiliki segala yang disarankan oleh penyuluh Keluarga Berencana: punya keluarga yang rukun, pekerjaan yang bagus, dan kehidupan sosial yang semarak. Andaipun terdapat kekurangan, itu adalah cara Bapak Suwito mengisi masa pensiunnya dengan nyolong motor.
Kendati demikian, beliau memegang teguh prinsip yang membuatnya disegani oleh maling motor lainnya. Misalnya, beliau merasa wajib untuk beraksi sendirian. Lalu, beliau paling anti melukai korbannya. Namun, ideal yang menjadikannya top of the top adalah keengganannya mencuri motor pabrikan Jepang.
Kepada saya beliau mengaku pernah menggasak Ducati Streetfighter 848, BMW K1300S, Piaggio Vespa, KTM Duke, dan tentu saja Harley Davidson Fourty Eight. Demi menghindari endusan aparat, motor-motor tersebut beliau preteli untuk kemudian dijual kembali dalam rupa sparepart. Cuma spion yang beliau pertahankan sebagai cendera mata.
Kegemarannya mencuri motor mahal ini telah berlangsung selama lima belas tahun. Saat suasana hatinya kelihatannya sedang teduh, iseng saya bertanya mengenai alasannya mencuri dan idealismenya yang membikin dahi mengernyit.
Dan jawaban beliau menjadi pelajaran moral pertama: “Hidup itu butuh seni dan tantangan. Kalau nggak ada keduanya, terus buat apa kita hidup?”
Oke, Bapak. Suka-suka situ aja, deh.
Kasta Pragmatis-Medioker
Jika Anda pernah mendapati berita tentang penangkapan maling motor. Lalu di situ Anda melihat maling tersebut berkata,”Butuh duit, Pak,” dengan kepala tertunduk ketika ditanyai alasannya mencuri. Maka Anda telah mengetahui salah seorang yang berdiam di kasta sosial ini.
Inilah kelas menengah dalam dunia permalingan. Dan seperti halnya kelas menengah lain, ada lebih banyak orang yang menghuni tempat ini ketimbang kelas sosial lainnya. Merekalah yang berkontribusi paling besar dalam menjaga eksistensi profesi maling motor, dan sialnya mereka pula yang paling sering diciduk polisi.
Tujuan keberadaan mereka cuma satu: ngembat motor sebanyak-banyaknya.
Adam (bukan nama sebenarnya), 32 tahun, adalah teman ngopi saya yang berada di kasta sosial ini. Mengawali kariernya sejak masih SMA, lelaki ini mengaku telah mencuri lebih dari seratus motor dan puluhan sepeda pancal. Hebatnya, dia belum kunjung disikat aparat.
“Pengen berhenti sih, sebenarnya,” ujarnya dengan mimik serius yang tak dibuat-buat. “Tapi nyari kerjaan halal di zaman sekarang itu susah bener.”
Klise memang. Namun, alasan ekonomi itu pula yang mendorong Fina (juga bukan nama sebenarnya) banting setir menjadi maling motor. Sebelumnya, gadis manis di usia matang ini berprofesi sebagai kasir swalayan. Baru empat tahun lalu ia mengajukan surat resign dan berfokus pada karier barunya yang penuh tantangan.
Tak seperti maling motor lain yang mengawali sepak terjangnya dari mencuri sepeda pancal, Fina pada awalnya mencoba peruntungan dari menggasak sepeda roda tiga. Menurutnya, itu langkah awal teraman karena, yah, siapa sih yang bakal lapor ke polisi gara-gara kehilangan sepeda balita?
Selama empat tahun tersebut Fina berhasil menggondol sebelas sepeda roda tiga, enam sepeda pancal, dan lima sepeda motor. Namun, kariernya tersendat akibat terpaksa mendekam di bui baru-baru ini. Penyebabnya cukup konyol: Fina ketahuan saat tengah menuntun Yamaha Xabre milik seorang anggota provost. Gadis itu ternyata tak bisa menggunakan motor berkopling.
Kasihan Fina. Namun, setidaknya ia telah memberi kita pelajaran moral nomor dua: belilah buku tulis Sidu agar tahu pepatah practice makes perfect.
Kasta Klepto-Subversif
Sejak era yang tak lagi bisa dirunut, tindak curanmor memiliki tujuan yang amat spesifik: mendapat keuntungan secara instan. Maka bila ada seseorang yang mencuri motor dengan tujuan yang menyalahi cita-cita esensial tersebut, sudah pasti ia adalah pelaku subversif. Dan tempat yang pantas bagi pengkhianat model begini adalah kasta terbawah.
Cuma ada satu orang yang saya kenal yang berada di kerak dunia permalingan ini: Rico (lagi-lagi bukan nama sebenarnya). Lulusan Akademi Perhotelan ini mengaku sengaja mencuri beberapa motor untuk melengkapi kegilaannya pada kegiatan curi-mencuri.
Di salah satu kamar rumahnya yang berada di belakang terminal, saya dipameri beragam jenis koleksi benda-benda curiannya. Pada dinding tergantung ratusan bolpoin, karet penghapus, cakram DVD, dan topi aneka merek. Semuanya masih terpasangi label harga.
Di kamar itu juga terdapat empat unit sepeda motor hasil curian. Pada knalpotnya tertempel isolasi kertas bertuliskan tanggal beserta tempat motor tersebut diembat. Rico berencana untuk menambah koleksinya dalam waktu dekat.
Saya sungguh tak bisa memahami kegemarannya mencuri dan kegigihannya untuk tak menjual hasil curiannya. Dia sendiri menyadari bahwa ada sesuatu yang keliru pada dirinya, tetapi tak tahu bagaimana membetulkannya.
“Dinikmati aja lah, Mas. Mungkin udah takdir saya begini,” pungkasnya.
Takdir atau bukan, yang pasti terselip pelajaran moral nomor tiga pada kebiasaan Rico tersebut: tak hanya kemiskinan, korsleting otak pun ternyata mampu mendekatkan seseorang pada kejahatan.