MOJOK.CO – Cuti haid dan cuti melahirkan merupakan hak pekerja perempuan. Tapi, bagaimana sih pengusaha melihat itu dalam kepentingan bisnisnya?
Masalah perempuan bekerja, cuti melahirkan, menikah, resign setelah menikah/melahirkan belakangan ini sering dibenturkan dengan pemilik usaha. Dan sebagai sosok idola media sosial, tokoh penjaga moral netizen, saya merasa tidak mungkin berdiam diri. Saya harus bersuara.
Jadi gini. Sebelum ke mana-mana, kita harus sepakat dulu bahwa perempuan itu akan mengalami hal-hal seperti haid, hamil, melahirkan, nifas, menyusui, dan lain sebagainya. Hal-hal yang tidak akan dialami pria. Meski secara kodrat fisik berbeda, tapi perempuan tetap punya hak yang sama dalam berkarier maupun mengekspresikan diri.
Nah, oleh sebab itu, untuk keadilan, harus ada aturan khusus karena kodrat fisik yang dialami perempuan. Ingat ya, ini hak khusus, bukan hak istimewa.
Hal inilah yang kemudian terwujud dalam bentuk cuti melahirkan, ruang laktasi, child care terjangkau, bahkan gratis hingga kuota khusus untuk perempuan yang menduduki jabatan tertentu. Sebuah kondisi yang kelihatannya cukup ideal. Mungkin karena terkesan ideal, banyak yang melihatnya sebagai utopia. Kayak mustahil banget diterapin.
Padahal, ada lho di Indonesia, perusahaan kecil yang sudah memberlakukan cuti melahirkan 6 bulan. CEO-nya cukup terkenal. Namanya… ah, rahasia ah.
Di sisi lain, sebuah perusahaan tentu berupaya memaksimalisasi profit dengan modal sedikit. Masalahnya, ketidakstabilan dalam usaha yang dipicu keluar masuk pekerja (kalau nggak salah istilahnya turnover rate) tentu bikin kesal pengusaha.
Apalagi dengan mewajibkan kuota perempuan di jabatan tertentu. Mana masih harus siapin space untuk ruang laktasi dan lain-lain, pengusaha bisa saja melihat ini semua sebagai cost center.
“Hellooowww… Kami ini buka usaha, bukan yayasan!” kira-kira begitu protesnya.
Pengusaha yang pada titik tertentu sulit menerima hal ini, bisa aja akhirnya memutuskan… ya udah kalau aturan cuti makin panjang, harus siapin ruang laktasi, padahal tempat usaha sempit.
Mau mengizinkan cuti haid atau cuti panjang setelah melahirkan, produksi sedang dikejar deadline. Akhirnya langkah pendek pun dipiliih: ganti semua pekerja perempuan dengan pekerja laki-laki. Beres.
Ada juga pengusaha yang ala-ala motivator yang doyan menyemangati karyawati tentang cuti melahirkan. “Anu, rasanya nggak perlu cuti melahirkan sampai 6 bulan deh. Sebulan saja cukup ya? Kalau kelamaan cuti nanti tidak bisa berkarier loh.”
Padahal yang ngasih motivasi ini adalah eksekutif perusahaan yang mungkin lahir dengan derasnya privilege dari keluarga dengan gaji belasan bahkan ratusan kali UMR. Seolah menyemangati untuk karyawati, padahal targetnya adalah tidak mau kehilangan talent plus ogah menganggarkan buat paid leave 6 bulan.
Selain cuti melahirkan, cuti haid juga kerap diributkan. Ada yang sampai tega ngatain sesama perempuan yang mengalami kram/sakit saat haid awal sebagai perempuan yang kurang sehat, kurang olahraga, kurang menjaga nutrisi. Seolah melupakan fakta kalau fisik masing-masing perempuan itu berbeda kalau sedang mengalami haid.
Pendek kata, mari saling adu kepentingan untuk memberikan keadilan atas kodrat perempuan dengan kebutuhan perusahaan. Perusahaan memikirkan bagaimana bisnis berjalan, sementara banyak yang memandang pengusaha kok jahat banget sama perempuan.
Pekerja kan berhak dapat fasilitas dan quality time dengan keluarganya. Tak semata hanya menjadi hamba sahaya kapitalis. Wah, ngomongnya sambil gebrak meja keren nih.
Di sisi lain, jadi pengusaha itu berat loh. Dugaan saya, 80-90% usaha rintisan baru, biasanya sering mati pada tahun pertama. Pada tahun kedua, dari sedikit yang tersisa 70-80% mati. Yang kuat bertahan di tahun ketiga.
Setelah itu mulai stabil namun tantangan akan makin berat. Pengusaha pasti berpikir kelangsungan usaha. Ada nanti success trap pertama, kedua, dan ketiga. Ini semua sih hasil perasan diskusi saya dengan Pak Typo, alias smsl, alias @amal_alghozali.
Jadi kepentingan untuk tempat dan aturan kerja yang layak bagi perempuan akan selalu berbenturan dengan pengusaha. Ya ada juga pengusaha yang mikir kebijakan bagus untuk perempuan, tapi mungkin tidak banyak. Bisa dihitung jari. Jari pertama adalah CEO yang namanya saya rahasiakan tadi.
Nah, menurut saya, pemerintah pusat dan daerah seharusnya menjadi jalan tengah benturan pekerja perempuan dan perusahaan. Sudah selayaknya negara menyerap sebagian beban pengusaha terkait pekerja perempuan agar tidak semua dibebankan kepada pengusaha.
Ini penting, terutama di segmen usaha padat karya dan UMKM, terkhusus UMK (usaha mikro dan kecil). Kita belum bicara yang pekerja informal (pasar tradisional, dll) lho ya.
Nah, dari sana, saya setidaknya punya lima usulan fasilitas penting yang bisa dikerjakan pemerintah/pemda. Usulan nomor empat akan membuat Anda terkejut. Anjaaay klikbet.
Pertama, ruang laktasi bersama dan child care gratis/terjangkau. Pemerintah membangun fasilitas khusus dekat tempat usaha untuk fasilitas ini. Pengusaha kecil tentu senang jika pemerintah dukung hal ini. Pekerja perempuan juga senang karena bisa menyusui anak yang dititipkan tidak jauh dari tempat kerja.
Kedua, fasilitas gratis pengiriman ASI ke rumah. Ini bisa dilakukan untuk pekerja yang rumahnya relatif jauh dan tidak ada fasilitas penitipan anak.
Ketiga, insentif untuk pengusaha yang memberikan cuti melahirkan lebih panjang. Syukur-syukur diberlakukan setelah revisi UU 13/2003 terutama pasal mengenai istirahat melahirkan.
Juga insentif pajak atau kemudahan izin jika perusahaan mewajibkan cuti haid, memberikan kuota khusus untuk perempuan menduduki jabatan tertentu.
Cuti haid wajib? Kenapa tidak. Selain masalah fisik (kram perut, pusing, mual dan yang lainnya), haid hari pertama kerap mengakibatkan mood perempuan buruk. Bukannya lebih baik istirahat saja atau kerja di rumah?
Keempat, kartu pekerja (ini sih berlaku ke semua gender) untuk gratis naik kendaraan umum pulang dan pergi. Mengurangi biaya transportasi juga insentif yang baik untuk pekerja maupun pengusaha. Mungkin untuk yang berpendapatan relatif rendah, kartu pekerja bisa juga ditambah fasilitasnya untuk mendapatkan sembako murah.
Kelima, kartu/fasilitas khusus ibu tunggal yang memiliki anak, bekerja informal/UMR. Kartu ini menjamin ibu dan anak-anaknya mendapat KIS, KIP, PKH, dan akses prioritas terhadap bantuan pemerintah.
***
Pertanyaannya, mengapa negara yang harus ambil alih sebagian beban tersebut? Ya karena negara yang akan mendapatkan manfaat dari kepedulian terhadap pekerja perempuan.
Perempuan yang memberikan ASI eksklusif 6 bulan, anaknya lebih sehat dan kuat. Biaya kesehatan anak berpotensi turun. Yang diuntungkan tentu negara karena biaya kesehatan untuk anak bisa turun dan generasi penerus bangsa lebih mantap menjalani masa depan.
Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) perempuan di Indonesia cukup tinggi. Jika digantikan pria semua dengan alasan pekerja perempuan “merepotkan”, secara nasional tidak akan cukup. Belum kalau pekerja perempuannya punya talenta yang bagus. Mencari penggantinya tentu sulit.
Jika ruang bekerja untuk perempuan cukup adil dan ramah, perempuan akan tetap bekerja. Output ekonomi terjaga, pendapatan bersama (suami-istri) bisa mencukupi keluarga dengan layak.
Negara tentu dapat manfaat juga karena ekonomi meningkat, pajak meningkat, anggaran negara meningkat. Makin banyak yang bisa dikorupsi dipergunakan untuk kemaslahatan umat.
Kebijakan negara tentu dipengaruhi kepentingan politik. Well, sekarang kita tahu sumber keruwetan benturan kepentingan pekerja perempuan dan pengusaha ini ada di mana? Ya pada kebijakan pemimpin tertinggi negara untuk mau membela kepentingan pekerja perempuan atau tidak.
Oleh karena itu, jangan salah lagi. Pada 2024 nanti pastikan Anda memilih…
…
…
…%@*#&$ (dikekep Kepala Suku Mojok dari belakang).
BACA JUGA Hak Cuti Haid, Bukti Indonesia Pernah Progresif pada Suatu Masa dan tulisan Kokok Dirgantoro lainnya.