Nama Kapolri Jendral Pol Tito Karnavian baru-baru ini sedang menjadi bahan pembicaraan. Hal tersebut adalah buntut dari pernyataanya soal wacana koruptor kecil tak perlu dipidana asal mengembalikan uang kerugian negara.
Pernyataan itu ia katakan usai rapat dengan Komisi III DPR, di Gedung Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu, 14 Maret 2018 lalu.
“BPK kan biasanya kalau ada temuan, dia ngasih batas waktu untuk mengembalikan kerugian negara. Kalau sudah dikembalikan kerugiannya, enggak perlu dilakukan dengan proses hukum,” ujar Tito.
Untuk memperkuat pernyataannya itu, Tito mencontohkan penanganan kasus dugaan korupsi yang terjadi di Kabupaten Boven Digul saat ia menjabat Kapolda Papua.
“Berapa biayanya untuk mengangkut saksi, mengangkut barang bukti, penyitaan, dan lain-lain bisa ratusan juta. Sementara kerugian mencapai lima puluh juta. Dari pada begitu, lebih baik diselesaikan saja dengan cara dia mengembalikan,”
Wacana untuk tidak mempidanakan koruptor kecil ini juga didukung oleh Kabareskrim Polri Komjen Ari Dono Sukmanto. Ia mengatakan pemrosesan tindak pidana korupsi justru bisa merugikan negara.
“Kalau sekarang biaya penyidikan Rp 208 juta, penuntutan berapa, kemudian juga sampai peradilan, sementara kerugian negara hanya sedikit. Kita hanya buang waktu, buang biaya, maka negara akan rugi,” ujar Ari.
Wacana ini tentu saja langsung dikritik oleh banyak orang, terutama oleh para aktivis pegiat antikorupsi.
Ahli hukum Universitas Andalas, Feri Amsari mengatakan bahwa logika yang dipakai oleh kepolisian soal koruptor kecil ini aneh.
“Itu logikanya aneh. Kalau begitu harus adil, semua pelaku pencurian dapat mengembalian hasil curiannya. Jadi kenapa hanya dikhususkan untuk koruptor, sikap itu memperlihatkan keberpihakan kepada koruptor.” kata Feri.
Yah, mungkin Pak Kapolri atau Pak Kabareskrim lupa, bahwa perkara korupsi bukan melulu soal untung dan rugi, tapi pada titik tertentu, ia adalah perkara harga diri.