MOJOK.CO – Keraton Yogyakarta memiliki lima pintu gerbang Benteng Baluwerti. Plengkung Wijilan menjadi salah satu yang terpopuler. Mengapa demikian? Bagaimana sejarahnya?
Benteng Baluwerti Yogyakarta berdiri pertama kali pada 1785. Bangunan ini berdiri atas prakarsa Pangeran Adipati Anom, putra mahkota Sultan Hamengku Buwono I sebagai reaksi atas berdirinya benteng Belanda di utara Keraton. Benteng kompeni tersebut bernama Benteng Rustenburg, kini Benteng Vredeburg.
Benteng Baluwerti memiliki lima pintu gerbang agar pergerakan dan mobilitas prajurit Keraton, warga, dan abdi dalem lebih leluasa. Pintu gerbang atau Plengkung tersebut antara lain; Plengkung Nirbaya (Gading), Jagasura (Ngasem), Jagabaya (Tamansari), Madyasura (Gondomanan), dan Plengkung Wijilan. Dari kelima gerbang Keraton, Plengkung Gading dan Wijilan yang populer.
Sejarah Plengkung Wijilan
Plengkung merupakan penyebutan untuk gerbang atau pintu masuk ke dalam benteng Keraton. Bernama “plengkung” karena struktur lubang pada bangunan ini punya penampang bulat, mirip seperti viaduk.
Sedangkan Wijilan merujuk pada nama kawasan di mana gerbang itu berada. Tepatnya di Jalan Wijilan, Panembahan, Kecamatan Kraton, Kota Yogyakarta, DIY atau lebih mudahnya di timur Alun-alun Utara. “Wijilan” sendiri terinspirasi dari nama putra Sultan Hamengku Buwana II, Wijil. Namun, ada beberapa warga Jogja yang menyebutnya Plengkung Mijilan.
“Mijil itu artinya keluar masuk benteng. Makanya ada yang sebut Mijilan,” kata Tedi Katyadi, warga yang tinggal di dalam benteng, melansir dari Kumparan.
Dahulu, Plengkung Wijilan terkenal dengan nama Plengkung Tarunasura. Dalam bahasa Jawa kuno “Tarunasura” berarti pemuda pemberani. Banyak yang meyakini penamaan tersebut merujuk pada penjaga plengkung ini pada zaman dahulu yang terdiri dari prajurit-prajurit taruna (muda).
Penerangan Plengkung Wijilan pada tempo dulu menggunakan kap lampu berbahan bakar minyak tanah/gas. Namun, kini sudah tergantikan dengan lampu LED yang terpasang di sisi luar bangunan ini.
Plengkung ini (juga ke-empat plengkung lain) dahulu memiliki jembatan gantung. Tiap pukul 20.00 WIB, jembatan ini diangkat dan dibuka lagi pukul 05.00 WIB. Suara trompet dan tambur (drum) dari prajurit-prajurit Keraton menjadi tanda momen buka-tutup tersebut.