MOJOK.CO – Perempuan menjadi kelompok yang rentan terhadap politik uang. Minimnya pengetahuan akan regulasi kepemiluan dan edukasi politik menjadi pemicunya.
Hasil riset Direktur Democracy and Electoral Empowerment Partnership (DEEP) Indonesia Neni Nur Hayati berjudul “Money Politics and Regression of Democracy: Women Voters Vulnerability in Transactional Politics” menjelaskan bahwa perempuan memang rawan menjadi sasaran politik uang. Penelitian dengan pendekatan campuran kuantitatif dan kualitatif pada Juni-Desember 2021 itu mengungkapkan, salah satu alasan perempuan rentan terhadap politik uang karena minimnya literasi terkait regulasi kepemiluan dan edukasi politik.
Kondisi ini tentu mengkhawatirkan mengingat pemilih perempuan di Indonesia tidak sedikit. Melansir data Komisi Pemilihan Umum (KPU) Republik Indonesia (RI), lebih dari separuh dari total pemilih di Pemilu 2024 adalah pemilih perempuan. Jumlahnya mencapai 102,58 juta alias 50,09 persen dari total pemilih.
Dalam penelitian itu Neni mengategorikan pemilih menjadi lima tipe. Pertama, pemilih menikmati politik uang. Kedua, pemilih yang menolak politik uang tetapi menerima politik uang. Ketiga, pemilih menolak politik uang dan menghindarinya tetapi tidak mau melaporkan. Keempat, Pemilih menolak politik uang dan mau melaporkannya. Kelima, pemilih menyaksikan politik uang tetapi mengetahui informasi dan berani melaporkan.
Dari lima kelompok itu, kategori satu dan dua memiliki persentase paling tinggi. Perempuan tidak hanya mendominasi kategori pemilih yang menikmati politik uang, tetapi juga mendominasi pada kategori menolak politik uang tetapi tetap menerimanya.
Selain itu, hasil penelitian itu mencatat, pemilih di Indonesia tidak lebih dari suporter dalam pemain bola. Tidak ada kampanye yang bertujuan untuk mencari pendidikan politik, mendalami visi misi calon. Kampanye lebih pada bagaimana mendapatkan kaos, souvenir dan uang transport, bukan sebagai voters.
Ketidaksesuaian antara keyakinan dan perilaku
Neni mencermati ada ketidaksesuaian antara keyakinan dan perilaku di tengah pemilih perempuan. Neni kemudian menganalisisnya menggunakan teori Disonansi Kognitif yang dicetuskan oleh Leon Festinger pada 1957.
Hasilnya, ketidakselarasan itu dipicu oleh beberapa faktor seperti tekanan dari pihak lain, bimbang dalam memilih keputusan (kalau tidak menerima uang tidak bisa makan). Neni juga melihat adanya kekecewaan terhadap sosok pemimpin di Tanah Air menjadi faktor lainnya. Pemilih sebenarnya mengetahui bahwa pilkada itu tujuannya untuk melahirkan pemimpin yang jujur dan adil tapi sampai saat ini ternyata nyaris tidak ada pemimpin yang berpihak pada rakyat.
Kondisi ini menjadi tantangan pada tahun demokrasi 2024. Perlu ada sosialisasi yang lebih masif terhadap kelompok rentan. Penelitian ini juga menjadi pengingat untuk parpol agar bisa menjadi garda terdepan dalam memerangi dan memutus politik uang yang selama ini menjadi hal lumrah di masyarakat.
Selain itu, penyelenggara pemilu juga perlu memiliki data mana saja lokasi TPS yang rentan terhadap politik uang. Pada titik-titik itu, pengawasan terhadap praktik politik uang bisa diperketat. Neni juga mendorong kepada kandidat untuk lebih mengedepankan politik gagasan daripada menghalalkan segala cara demi meraih kemenangan.
Penulis: Kenia Intan
Editor: Purnawan Setyo Adi