MOJOK.CO – Tahapan pemilihan anggota legislatif dalam Pemilu 2024 dimulai dengan pendaftaran balon calon legislatif (bacaleg). Sejumlah kader organisasi masyarakat (ormas) Muhammadiyah pun ikut ambil bagian dalam kontestasi politik tersebut melalui sejumlah partai politik (parpol).
Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, Haedar Nashir pun menyampaikan pesannya. Haedar menegaskan dirinya tidak mempermasalahkan para kader yang masuk parpol ataupun ikut bertarung dalam pemilihan legislatif (pileg). Namun, mereka jangan sekali-kali mempolitisasi Muhammadiyah.
Jangan politisasi Muhammadiyah
“Orang Muhammadiyah kan sejak dulu sudah masuk partai, dari berbagai partai tidak hanya satu partai. Namun, jangan mempolitisasi Muhammadiyah maupun mempolitisasi agama [demi mendapatkan suara] dan lain sebagainya yang kemudian membawa masalah baik bagi organisasi bagi umat maupun bagi masyarakat luas,” papar Haedar usai menyampaikan pidato ilmiah Milad ke-42 Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Jumat (12/05/2023),
Haedar mempersilahkan Kader Muhammadiyah untuk mencari dukungan suara, baik dari organisasi tersebut maupun dari masyarakat. Sebab dalam politik, mencari dukungan orang lain demi mendulang suara sah-sah saja.
Namun, para kader harus berpolitik untuk kemajuan bangsa. Mereka pun harus mengedepankan moralitas dan misi Muhammadiyah yang mencerdaskan dan mencerahkan alih-alih memecah belah seperti yang sudah-sudah.
“Pandai-pandailah mencari dukungan baik dari Muhammadiyah maupun masyarakat, karena politik itu kan mencari dukungan dan wajar. Tapi jangan menyalahgunakan institusi dan simbol organisasi,” tandasnya.
KPU jadi wasit yang adil
Haedar berharap, untuk mengantisipasi konflik antarparpol dalam tahapan Pemilu, Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (bawaslu) harus berdiri tegak di atas prosedur dan peraturan yang berlaku. Mereka juga harus mampu menjadi wasit yang adil dan obyektif agar penyelenggaran Pemilu bisa berjalan dengan baik dan benar.
“Konflik tersebut terjadi biasanya karena ada celah atau kekurangan dalam penyelenggaraan pemilu,” ujar Haedar Nashir.
Masyarakat pun meski berbeda afiliasi politik, agama, suku, ras , golongan, kedaerahan maupun pilihan politik harapannya semakin dewasa dalam mengikuti proses pemilu. Terlebih Pemilu telah berlangsung setiap lima tahun. Sejarah reformasi pun sudah berlangsung selama dua dekade.
Karenanya masyarakat diminta tidak lagi terjebak pada konflik karena perbedaan pilihan politik. Pilihan politik seharusnya bersifat politik alih-alih ideologis.
“Ideologisnya kan sama, Pancasila, jangan bawa ke konflik ideologi itu perbedaan pilihan politik. Yang menang harus menjadi bagian dari proses demokrasi dan menjalankan mandat yang tidak ringan, yang kalah juga harus menerima. Kalau ada sengketa-sengketa itu harus diselesaikan secara hukum,” tandasnya.
Peran PTMA
Guru Besar Sosiologi ini menambahkan, Perguruan Tinggi Muhammadiyah dan Aisyiah (PTMA) harapannya ikut ikhtiar menjadikan Agama Islam ini menjadi rahmat bagi seluruh alam, bahkan kepada manusia yang tidak beriman sekalipun. Misi dakwah ini sudah menjadi inspirasi, visi dan orientasi Muhammadiyah untuk membangun kehidupan yang lebih baik di masa-masa mendatang.
“Kampus adalah kekuatan pilar yang memiliki kesempatan langsung untuk mencerdaskan bangsa, dan ini juga sejalan dengan cita-cita nasional kita. Sekaligus ptma sebagai pilar serta peran dan tanggung jawab moral untuk kehidupan,” papar Haedar Nashir.
Rektor UMY, Gunawan Budianto berharap UMY menjadi pusat gerakan dakwah Muhammadiyah dan Aisyiyah. Salah satu caranya adalah dengan mendorong keaktifan dosen dan tenaga didik di setiap level kepemimpinan di Persyarikatan Muhammadiyah.
Reporter: Yvesta Ayu
Editor: Agung Purwandono
BACA JUGA 10 Madrasah Aliyah Terbaik di Indonesia Versi LTMPT.
Cek berita dan artikel lainnya di Google News.