Minggu 1 Juli kemarin tampaknya menjadi hari yang cukup menguji kesabaran dan kemantapan stabilitas ekonomi segenap insan transportasi tanah air, pasalnya, per 1 Juli kemarin, PT Pertamina (Persero) resmi menaikkan harga Pertamax (yang oleh Pertamina dihaluskan sebagai “penyesuian harga bahan bakar khusus”).
Per minggu kemarin, bahan bakar jenis Pertamax, ditetapkan mengalami kenaikan sebesar Rp600, dari Rp8.900 menjadi Rp9.500.
Keputusan menaikkan harga Pertamax tersebut diambil pihak Pertamina karena memang ada kenaikan harga minyak dunia.
“Harga minyak dunia naik, dan faktornya 90% karena harga bahan bakunya ya. Kita kan sudah net oil importir,” ujar VP Corporate Communication PT Pertamina (Persero) Adiatma Sardjito. “Rata rata sudah di atas US$ 70an dalam 3 bulan ya. (Harga minyak dunia) memang belum stabil kan. Bisa naik bisa turun kita ambilnya rata rata,” lanjutnya.
Secara aturan, Pertamina memang boleh menaikkan harga Pertamax dan bahan bakar umum lainnya, berbeda dengan Premium yang harganya ditetapkan oleh pemerintah.
“Aturannya memang kalau Pertamax itu boleh dinaikkan, ditentukan oleh badan usaha setelah mendapat izin dari pemerintah, dalam hal ini Kementerian ESDM,” terang Adiatma.
Kenaikan harga Pertamax ini dinilai tidak akan terlalu banyak berpengaruh pada kemampuan daya beli masyarakat, sebab pengguna Pertamax selama ini sebagian besar adalah masyarakat kelas menengah ke atas.
“Kemarin itu hitung-hitungannya kalau yang gajinya sekitar Rp 3 juta yang biasa pakai Pertamax dia nggak pindah,” kata Adiatma.
Lantas, benarkah bakal demikian adanya? Entahlah, tapi yang jelas, dari dulu, setiap ada kenaikan harga bahan bakar, entah naiknya besar atau kecil, semua orang, baik yang kaya maupun yang miskin, semuanya sama-sama protes.
Mungkin memang itulah risiko sebagai pengguna kendaraan bermotor, bukan pengguna odong-odong.