MOJOK.CO – Kebijakan Gubernur NTT untuk memajukan jam masuk sekolah peserta didik SMA mendapat respon negatif. Pakar berpendapat jika hal ini bisa berdampak buruk bagi siswa.
Baru-baru ini, Gubernur NTT Viktor Laiskodat menelurkan kebijakan yang kontroversial. Ia mengusulkan jam masuk sekolah peserta didik setingkat SMA maju jadi pukul 05.00 WITA (kemudian ia revisi menjadi pukul 05.30 WITA).
Viktor berdalih, budaya masuk sekolah lebih pagi menurutnya dapat mengasah kedisiplinan dan etos belajar para peserta didik. Ia pun meyakini, kebijakan baru ini akan terasa berat bagi peserta didik maupun pengajar. Namun, ia berpendapat bahwa harus ada pengorbanan sebelum melakukan perubahan.
Terkait usulan tersebut, pengamat perkembangan anak, remaja, dan pendidikan Fakultas Psikologi UGM Novi Poespita Candra, menilai bahwa kebijakan itu kurang bijaksana dan tidak komprehensif.
Menurut Novi, sampai saat ini belum ada kajian maupun studi perkembangan dan pendidikan yang menjustifikasi kalau jam sekolah mulai lebih pagi punya signifikansi pada etos belajar, kedisipilinan, maupun prestasi siswa.
“Dengan begitu, kebijakan ini kurang bijaksana,” jelas Novi, mengutip laman ugm.ac.id, Jumat (2/3/2023).
Berdampak buruk ke siswa
Lebih jauh, Novi juga menjelaskan bahwa kebijakan tersebut punya dampak buruk jika tetap berjalan. Kebijakan sekolah masuk lebih pagi, kata dia, bisa berdampak negatif pada fisik, emosi, maupun kognisi siswa.
Dari sisi fisik, misalnya, masuk sekolah lebih pagi akan memengaruhi kualitas tidur sehingga berpengaruh pada kondisi fisik anak. Sementara itu, penambahan jam sekolah—yang jadi konsekuensi majunya jam sekolah—dapat berakibat pada kelelahan kronis pada anak. Dan berikutnya akan menurunkan imunitas tubuh sehingga lebih rentan terserang penyakit.
“Masuk lebih pagi, terburu-buru, dikhawatirkan anak-anak jadi tidak sempat sarapan, atau sarapan tapi kurang berkualitas, sehingga memengaruhi konsentrasi belajar di sekolah,” imbuh Co-Founder Gerakan Sekolah Menyenangkan ini.
Sementara dari segi emosi, perkara masuk pukul 5 pagi hanya bakal memantik lingkaran emosi negatif. Melansir penelitian Terra D. Ziporyn dkk. dalam jurnal Sleep Health (2022), salah satu problem yang sering remaja alami ketika kurang tidur adalah gangguan emosi. Lalu, dapat memicu gangguan neohormonal dan meningkatkan perilaku berisiko.
Akibatnya, seorang remaja bakal lebih sering depresi, stres, mudah marah. Kondisi ini bisa berakibat pada perkelahian maupun meningkatkan potensi kecelakaan di jalanan. Pun pada akhirnya, jika lingkaran emosi negatif ini terus berlangsung dalam jangka panjang, khawatirnya dapat menurunkan motivasi belajar siswa dan mengajar guru.
Lebih lanjut, Novi juga menambahkan bahwa jam sekolah lebih pagi juga dapat memengaruhi aspek kognitif pada anak. Kata dia, otak manusia akan berfungsi secara optimal jika kondisi seluruh tubuh berada dalam keadaan fit dan bahagia.
“Jika hal itu tidak terjadi, maka otak tidak dapat berfungsi secara optimal sehingga berkontribusi pada penurunan kualitas numerasi, literasi, serta pengambilan keputusan,” paparnya.
Jam masuk sekolah yang ideal
Menurut laporan Journal of Clinical Sleep Medicine, durasi tidur ideal bagi remaja berusia 13 hingga 18 tahun adalah 8–10 jam per hari.
Bahkan, American Academy of Sleep Medicine merekomendasikan sekolah menengah dan atas untuk memulai aktivitasnya tidak lebih cepat dari pukul 08.30 pagi. Tujuannya, agar siswa mendapatkan tidur yang cukup. Ini karena sebagian besar remaja mengalami fase waktu tidur dan bangun yang lebih lambat, yang dapat menggeser jam internal tubuh hingga dua jam.
Dalam laporan yang sama, juga menemukan bahwa tidak ada korelasi memulai aktivitas lebih pagi di sekolah dengan kedisiplinan maupun prestasi siswa.
Dengan demikian, Novi pun menegaskan bahwa kebijakan yang telah Pemprov NTT tetapkan selain kurang bijak dan tidak komprehensif, juga tidak tepat sasaran.
“Problem anak sekarang ini ‘kan 79 persen itu karena kebosanan. Kalau jam pelajaran bertambah justu akan menambah kebosanan anak yang akan menurunkan motivasi belajar,” katanya.
Menurutnya, jika tujuannya untuk meningkatkan kedisiplinan dan etos belajar, maka cara efektifnya adalah dengan membentuk kultur belajar yang manusiawi. Caranya, kata Novi, adalah dengan memfasilitasi kodrat-kodrat manusia yang berupa rasa keingintahuan, dialog, serta kreativitas.
“Untuk meningkatkan displin, etos belajar, dan prestasi pada siswa remaja ini yang dibutuhkan adalah motivasi atau kesadaran dalam diri siswa. Kalau di sekolah dibangun rasa ingin tahu, belajar berdasar kasus, eksperimen, maka akan-anak akan dengan sadar dan punya motivasi belajar,” pungkasnya.
Penulis: Ahmad Effendi
Editor: Purnawan Setyo Adi