Mojok
KIRIM ARTIKEL
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
Kirim Artikel
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Beranda Kilas

Renungan atas Palagan Ki Hadjar Dewantara: Sekolah Hanya Sekadar Meluluskan tapi Belum Mendidik

Redaksi oleh Redaksi
15 Mei 2025
A A
Renungan sistem pendidikan sekolah hari ini atas Palagan Ki Hadjar Dewantara MOJOK.CO

Renungan sistem pendidikan sekolah hari ini atas Palagan Ki Hadjar Dewantara.

Bagikan ke WhatsAppBagikan ke TwitterBagikan ke Facebook

Berlangsung pada 1-5 Mei 2025, Pekan Dewantara 2025 menjadi momen refleksi penting sistem pendidikan di sekolah-sekolah Indonesia hari ini. Selain tentu untuk menyambut Hari Pendidikan Nasional dan mengenang 136 tahun kelahiran Bapak Pendidikan Nasional, Ki Hadjar Dewantara.

Pekan Dewantara 2025 berangkat dengan pertenyaan yang cukup mengusik, “Masihkah sekolah kita mendidik, atau sekadar meluluskan?”

Melalui pertanyaan tersebutlah, Pekan Dewantara 2025 hadir bukan untuk menjadikan Ki Hadjar Dewantara sebagai patung yang diberi bunga setahun sekali. Tapi untuk membongkar romantisme sejarah dan membumikan kembali pemikirannya secara relevan dan menyenangkan.

Nafas lama, langkah baru

Bertempat di Museum Dewantara Kirti Griya, acara ini bukan acara yang penuh petuah, pidato, dan panggung formal.

Pekan Dewantara tahun ini menjadi ruang hidup yang menggabungkan sejarah, seni, budaya, dan aktivisme pemuda dengan kemasan yang mengundang, bukan menggurui. Sebuah palagan yang hidup, ladang tempur yang tidak melibatkan senjata, tetapi melibatkan pemikiran, kesadaran, dan keberanian mendobrak sistem.

Panitia Pekan Dewantara 2025
Panitia Pekan Dewantara 2025

Tema tahun ini adalah “Palagan Abadi Sang Tuan Guru”. Sepintas terdengar puitis. Tapi jika direnungkan dalam-dalam, sesungguhnya ini adalah teguran yang halus tapi telak: Bahwa dunia pendidikan kita masih saja jadi medan juang.

“Bukan karena kurang guru, bukan karena kurikulum yang selalu bergonta-ganti, tapi kita masih belum sungguh-sungguh mendidik,” ujar Favian, salah satu panitia Pekan Dewantara 2025.

Napak tilas Ki Hadjar Dewantara bukan hanya tentang langkah kaki

Salah satu kegiatan dalam Pekan Dewantara adalah “Napak Tilas Djalan Dewantara”. Di mana peserta berjalan kaki dari Museum Dewantara Kirti Griya ke makam Ki Hadjar Dewantara di Taman Wijaya Brata.

Terik panas Yogyakarta waktu itu memang terasa menyengat, Tapi bagia Favian, itu tidak sebanding dengan perih yang mungkin dulu dirasakan Ki Hadjar Dewantara saat dibuang Belanda karena “terlalu cinta” pada bangsanya.

Napak tilas inipun, lanjut Favian, bukan sekadar urusan langkah kaki. Ia menjadi semacam ziarah ide. Saat menyusuri jejak perjuangan Ki Hadjar, Favian mengaku justru merasa sedang menyusuri luka-luka sistem pendidikan kita hari ini. Sekolah yang makin mirip pabrik. Siswa yang dikejar nilai, guru yang dikejar target, dan kepala sekolah yang dikejar Dapodik.

Napat tilas Ki Hadjar Dewantara MOJOK.CO
Napat tilas Ki Hadjar Dewantara. (Pekan Dewantara 2025)

“Di sinilah saya teringat semboyan Ki Hadjar yang begitu manis di dinding ruang kelas tapi entah ke mana hilangnya dalam praktik: “Ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani”. Ah, betapa mudah kita menghafal, dan betapa sulit kita mengamalkan,” ujar Favian.

Sekolah hari ini: lebih banyak kelulusan formalitas daripada kelulusan hati

Melalui Pekan Dewantara 2025, Favian juga mengajak jujur pada sistem pendidikan Indonesia hari ini. Ketika sekolah atau kampus lebih sibuk mengejar akreditasi unggul daripada relasi hangat antara guru dan murid? Lebih banyak menilai daripada memahami. Lebih rajin bikin soal daripada menciptakan ruang bertanya. Lebih peduli pada laporan BOS daripada bimbingan moral.

Ki Hadjar Dewantara, kata Favian, pernah bilang bahwa pendidikan sejatinya menuntun segala kodrat anak agar mereka hidup selaras dengan alam dan masyarakatnya. Tapi kenyataannya, banyak siswa justru tercerabut dari akar sosialnya. Disuruh ikut olimpiade matematika, padahal hatinya ingin menggambar. Dilarang ambil jurusan sastra, karena “nggak ada kerjaannya.”

“Banyak sekolah hari ini seperti jalan tol: lurus, cepat, bebas hambatan. Tapi juga membuat anak-anak kehilangan kesempatan berhenti, menepi, dan merenung,” tutur Favian.

Iklan
Dokumentasi acara Pekan Dewantara 2025
Dokumentasi acara Pekan Dewantara 2025

Dan ada satu kenyataan baru yang seolah terlupakan: Ruang kelas sekarang bukan lagi di ruang kelas. Karena anak-anak zaman sekarang hidupnya sudah pindah ke gadget dan internet.

“Mereka bermain, belajar, bertransaksi, bergaul, dan bahkan “bertempur” di TikTok, Google, dan YouTube. Semua tugas sekolah yang diberikan guru, sering kali dipecahkan bukan dengan membuka buku pelajaran, tapi dengan browsing di dunia maya,” beber Favian.

“Kelas fisik sudah ditinggalkan. Maka mengapa kita masih ngotot memperbaiki jendela , bangku, dan segudang masalah adminstrasi tapi tak pernah memperbaiki pendekatan mengajarnya?” Sambungnya.

Maka, menurut Favian, barangkali sudah waktunya menggeser cara mendidik dari pedagogi dan andragogi, menuju cybergogi. Sebuah pendekatan pendidikan yang berakar pada dunia digital, di mana guru tak lagi jadi satu-satunya sumber ilmu, tapi menjadi pemandu, penjaga etika, dan pemantik keingintahuan.

Sebab, Ki Hadjar Dewantara mengajarkan bahwa pendidikan bukanlah pemaksaan, tapi penuntunan. Bukan dari atas ke bawah, tapi berdiri sejajar. Bukan indoktrinasi, tapi dialog. Dan semangat itu justru bisa lebih mungkin dilakukan di dunia digital yang demokratis dan cair asal mau membuka mata.

Pasar gagasan, bukan pasar basa-basi

Pekan Dewantara 2025 menghadirkan Pasar Krempyeng Pendidikan, bukan pasar makanan, melainkan pasar gagasan. Komunitas-komunitas dan pelaku-pelaku pendidikan alternatif dari Yogyakarta dan sekitarnya berkumpul untuk berbagi praktik, menawarkan zine, buku, hingga menggelar diskusi kilat.

Komunitas Cakra Dewantara yang menjadi motor utama acara ini, menampilkan instalasi “Kelas Tanpa Meja” sebagai simbol dari pendidikan yang merdeka, terbuka, dan tidak membatasi anak-anak dalam kotak-kotak sempit bernama “mata pelajaran wajib”.

Ada juga lomba menulis “Nyerat Dewantara” dan Pekan Mengajar, yang memperlihatkan bahwa anak-anak bisa bahagia jika proses belajar bukan soal siapa paling cepat menjawab soal, tapi siapa paling ikhlas memahami kehidupan.

Di Pendapa, bukan di podium

Acara puncak digelar di Pendapa Agung Taman Siswa dengan pertunjukan kolaboratif: musik, tari, puisi, dan seni rupa. Tidak ada panggung tinggi, tidak ada pidato pejabat. Semua duduk sejajar. Guru, seniman, pelajar, bahkan warga sekitar.

Rasanya seperti oase di tengah padang gurun akademik yang kering akan kasih sayang kalau meminjam istilah Favian.

Dan semua acara inipun gratis. Karena panitia percaya bahwa pendidikan sejati tak boleh dipagari uang. Ia adalah hak, bukan barang dagangan.

Palagan Ki Hadjar Dewantara belum selesai

Bagi Favian, palagan Ki Hadjar Dewantara dalam membangun sistem pendidikan inklusif masih belum tuntas. Pasalnya, hingga saat ini, ruang kelas masih kerap membungkam ide-ide anak-anak.

Kampus pun lebih sibuk membuat program kerja daripada kerja untuk program. Kementerian juga masih seenaknya mengubah kurikulum seperti menukar skin Mobile Legends.

Tapi Favian percaya, selama masih ada orang-orang yang percaya bahwa mendidik adalah mencintai, bahwa belajar adalah merdeka, dan bahwa guru bukan robot pengisi soal pilihan ganda, maka palagan itu akan terus hidup, bukan sebagai nostalgia, tapi sebagai gerakan.

“Karena Ki Hadjar Dewantara sudah membuka jalan, sekarang giliran kita menapakinya, meski tertatih, meski tertatih di Wi-Fi gratisan warung kopi,” tandas Favian.***(ADV)

BACA JUGA: Perjalanan Keliling Asia untuk Belajar Bahasa Isyarat demi Ajari Ngaji Anak-anak Tuli di Sleman atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan

 

Terakhir diperbarui pada 15 Mei 2025 oleh

Tags: JogjaKi Hadjar Dewantaramakam ki hadjar dewantara
Redaksi

Redaksi

Artikel Terkait

Keturunan Keraton Yogyakarta Iri, Pengin Jadi Jelata Jogja Saja! MOJOK.CO
Esai

Keresahan Pemuda Berdarah Biru Keturunan Keraton Yogyakarta yang Dituduh Bisa Terbang, Malah Pengin Jadi Rakyat Jelata Jogja pada Umumnya

18 Desember 2025
UMP Jogja bikin miris, mending kerja di Jakarta. MOJOK.CO
Ragam

Menyesal Kerja di Jogja dengan Gaji yang Nggak Sesuai UMP, Pilih ke Jakarta meski Kerjanya “Hectic”. Toh, Sama-sama Mahal

17 Desember 2025
Berantas topeng monyet. MOJOK.CO
Liputan

Nasib Monyet Ekor Panjang yang Terancam Punah tapi Tak Ada Payung Hukum yang Melindunginya

15 Desember 2025
Peringatan Hari Monyet Ekor Panjang Sedunia di Jogja. MOJOK.CO
Bidikan

Pilu di Balik Atraksi Topeng Monyet Ekor Panjang, Hari-hari Diburu, Disiksa, hingga Terancam Punah

15 Desember 2025
Muat Lebih Banyak
Tinggalkan Komentar

Terpopuler Sepekan

borobudur.MOJOK.CO

Borobudur Moon Hadirkan Indonesia Keroncong Festival 2025, Rayakan Serenade Nusantara di Candi Borobudur

15 Desember 2025
Gedung Sarekat Islam, saksi sejarah dan merwah Semarang sebagai Kota Pergerakan MOJOK.CO

Upaya Merawat Gedung Sarekat Islam Semarang: Saksi Sejarah & Simbol Marwah yang bakal Jadi Ruang Publik

20 Desember 2025
Gagal dan tertipu kerja di Jakarta Barat, malah hidup bahagia saat pulang ke desa meski ijazah S1 tak laku dan uang tak seberapa MOJOK.CO

Dipecat hingga Tertipu Kerja di Jakarta Barat, Dicap Gagal saat Pulang ke Desa tapi Malah bikin Ortu Bahagia

19 Desember 2025
UGM.MOJOK.CO

UGM Berikan Keringanan UKT bagi Mahasiswa Terdampak Banjir Sumatra, Juga Pemulihan Psikologis bagi Korban

18 Desember 2025
SD Negeri 3 Imogiri Bantul: Belajar Bergerak dan Bertumbuh lewat Sepak Bola Putri

SD Negeri 3 Imogiri Bantul: Belajar Bergerak dan Bertumbuh lewat Sepak Bola Putri

18 Desember 2025
Lulusan IPB kerja sepabrik dengan teman-teman lulusan SMA, saat mahasiswa sombong kinin merasa terhina MOJOK.CO

Lulusan IPB Sombong bakal Sukses, Berujung Terhina karena Kerja di Pabrik bareng Teman SMA yang Tak Kuliah

17 Desember 2025

Video Terbaru

SD Negeri 3 Imogiri Bantul: Belajar Bergerak dan Bertumbuh lewat Sepak Bola Putri

SD Negeri 3 Imogiri Bantul: Belajar Bergerak dan Bertumbuh lewat Sepak Bola Putri

18 Desember 2025
Ketakutan pada Ular yang Lebih Dulu Hadir daripada Pengetahuan

Ketakutan pada Ular yang Lebih Dulu Hadir daripada Pengetahuan

17 Desember 2025
Undang-Undang Tanjung Tanah dan Jejak Keadilan di Sumatera Kuno pada Abad Peralihan

Undang-Undang Tanjung Tanah dan Jejak Keadilan di Sumatera Kuno pada Abad Peralihan

14 Desember 2025

Konten Promosi



Summer Sale Banner
Google News
Ikuti mojok.co di Google News
WhatsApp
Ikuti WA Channel Mojok.co
WhatsApp
Ikuti Youtube Channel Mojokdotco
Instagram Twitter TikTok Facebook LinkedIn
Trust Worthy News Mojok  DMCA.com Protection Status

Tentang
Kru
Kirim Artikel
Kontak

Kerjasama
Pedoman Media Siber
Kebijakan Privasi
Laporan Transparansi

PT NARASI AKAL JENAKA
Perum Sukoharjo Indah A8,
Desa Sukoharjo, Ngaglik,
Sleman, D.I. Yogyakarta 55581

[email protected]
+62-851-6282-0147

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.

Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal Mojok
  • Mau Kirim Artikel?

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.