Berlangsung pada 1-5 Mei 2025, Pekan Dewantara 2025 menjadi momen refleksi penting sistem pendidikan di sekolah-sekolah Indonesia hari ini. Selain tentu untuk menyambut Hari Pendidikan Nasional dan mengenang 136 tahun kelahiran Bapak Pendidikan Nasional, Ki Hadjar Dewantara.
Pekan Dewantara 2025 berangkat dengan pertenyaan yang cukup mengusik, “Masihkah sekolah kita mendidik, atau sekadar meluluskan?”
Melalui pertanyaan tersebutlah, Pekan Dewantara 2025 hadir bukan untuk menjadikan Ki Hadjar Dewantara sebagai patung yang diberi bunga setahun sekali. Tapi untuk membongkar romantisme sejarah dan membumikan kembali pemikirannya secara relevan dan menyenangkan.
Nafas lama, langkah baru
Bertempat di Museum Dewantara Kirti Griya, acara ini bukan acara yang penuh petuah, pidato, dan panggung formal.
Pekan Dewantara tahun ini menjadi ruang hidup yang menggabungkan sejarah, seni, budaya, dan aktivisme pemuda dengan kemasan yang mengundang, bukan menggurui. Sebuah palagan yang hidup, ladang tempur yang tidak melibatkan senjata, tetapi melibatkan pemikiran, kesadaran, dan keberanian mendobrak sistem.

Tema tahun ini adalah “Palagan Abadi Sang Tuan Guru”. Sepintas terdengar puitis. Tapi jika direnungkan dalam-dalam, sesungguhnya ini adalah teguran yang halus tapi telak: Bahwa dunia pendidikan kita masih saja jadi medan juang.
“Bukan karena kurang guru, bukan karena kurikulum yang selalu bergonta-ganti, tapi kita masih belum sungguh-sungguh mendidik,” ujar Favian, salah satu panitia Pekan Dewantara 2025.
Napak tilas Ki Hadjar Dewantara bukan hanya tentang langkah kaki
Salah satu kegiatan dalam Pekan Dewantara adalah “Napak Tilas Djalan Dewantara”. Di mana peserta berjalan kaki dari Museum Dewantara Kirti Griya ke makam Ki Hadjar Dewantara di Taman Wijaya Brata.
Terik panas Yogyakarta waktu itu memang terasa menyengat, Tapi bagia Favian, itu tidak sebanding dengan perih yang mungkin dulu dirasakan Ki Hadjar Dewantara saat dibuang Belanda karena “terlalu cinta” pada bangsanya.
Napak tilas inipun, lanjut Favian, bukan sekadar urusan langkah kaki. Ia menjadi semacam ziarah ide. Saat menyusuri jejak perjuangan Ki Hadjar, Favian mengaku justru merasa sedang menyusuri luka-luka sistem pendidikan kita hari ini. Sekolah yang makin mirip pabrik. Siswa yang dikejar nilai, guru yang dikejar target, dan kepala sekolah yang dikejar Dapodik.

“Di sinilah saya teringat semboyan Ki Hadjar yang begitu manis di dinding ruang kelas tapi entah ke mana hilangnya dalam praktik: “Ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani”. Ah, betapa mudah kita menghafal, dan betapa sulit kita mengamalkan,” ujar Favian.
Sekolah hari ini: lebih banyak kelulusan formalitas daripada kelulusan hati
Melalui Pekan Dewantara 2025, Favian juga mengajak jujur pada sistem pendidikan Indonesia hari ini. Ketika sekolah atau kampus lebih sibuk mengejar akreditasi unggul daripada relasi hangat antara guru dan murid? Lebih banyak menilai daripada memahami. Lebih rajin bikin soal daripada menciptakan ruang bertanya. Lebih peduli pada laporan BOS daripada bimbingan moral.
Ki Hadjar Dewantara, kata Favian, pernah bilang bahwa pendidikan sejatinya menuntun segala kodrat anak agar mereka hidup selaras dengan alam dan masyarakatnya. Tapi kenyataannya, banyak siswa justru tercerabut dari akar sosialnya. Disuruh ikut olimpiade matematika, padahal hatinya ingin menggambar. Dilarang ambil jurusan sastra, karena “nggak ada kerjaannya.”
“Banyak sekolah hari ini seperti jalan tol: lurus, cepat, bebas hambatan. Tapi juga membuat anak-anak kehilangan kesempatan berhenti, menepi, dan merenung,” tutur Favian.

Dan ada satu kenyataan baru yang seolah terlupakan: Ruang kelas sekarang bukan lagi di ruang kelas. Karena anak-anak zaman sekarang hidupnya sudah pindah ke gadget dan internet.
“Mereka bermain, belajar, bertransaksi, bergaul, dan bahkan “bertempur” di TikTok, Google, dan YouTube. Semua tugas sekolah yang diberikan guru, sering kali dipecahkan bukan dengan membuka buku pelajaran, tapi dengan browsing di dunia maya,” beber Favian.
“Kelas fisik sudah ditinggalkan. Maka mengapa kita masih ngotot memperbaiki jendela , bangku, dan segudang masalah adminstrasi tapi tak pernah memperbaiki pendekatan mengajarnya?” Sambungnya.
Maka, menurut Favian, barangkali sudah waktunya menggeser cara mendidik dari pedagogi dan andragogi, menuju cybergogi. Sebuah pendekatan pendidikan yang berakar pada dunia digital, di mana guru tak lagi jadi satu-satunya sumber ilmu, tapi menjadi pemandu, penjaga etika, dan pemantik keingintahuan.
Sebab, Ki Hadjar Dewantara mengajarkan bahwa pendidikan bukanlah pemaksaan, tapi penuntunan. Bukan dari atas ke bawah, tapi berdiri sejajar. Bukan indoktrinasi, tapi dialog. Dan semangat itu justru bisa lebih mungkin dilakukan di dunia digital yang demokratis dan cair asal mau membuka mata.
Pasar gagasan, bukan pasar basa-basi
Pekan Dewantara 2025 menghadirkan Pasar Krempyeng Pendidikan, bukan pasar makanan, melainkan pasar gagasan. Komunitas-komunitas dan pelaku-pelaku pendidikan alternatif dari Yogyakarta dan sekitarnya berkumpul untuk berbagi praktik, menawarkan zine, buku, hingga menggelar diskusi kilat.
Komunitas Cakra Dewantara yang menjadi motor utama acara ini, menampilkan instalasi “Kelas Tanpa Meja” sebagai simbol dari pendidikan yang merdeka, terbuka, dan tidak membatasi anak-anak dalam kotak-kotak sempit bernama “mata pelajaran wajib”.
Ada juga lomba menulis “Nyerat Dewantara” dan Pekan Mengajar, yang memperlihatkan bahwa anak-anak bisa bahagia jika proses belajar bukan soal siapa paling cepat menjawab soal, tapi siapa paling ikhlas memahami kehidupan.
Di Pendapa, bukan di podium
Acara puncak digelar di Pendapa Agung Taman Siswa dengan pertunjukan kolaboratif: musik, tari, puisi, dan seni rupa. Tidak ada panggung tinggi, tidak ada pidato pejabat. Semua duduk sejajar. Guru, seniman, pelajar, bahkan warga sekitar.
Rasanya seperti oase di tengah padang gurun akademik yang kering akan kasih sayang kalau meminjam istilah Favian.
Dan semua acara inipun gratis. Karena panitia percaya bahwa pendidikan sejati tak boleh dipagari uang. Ia adalah hak, bukan barang dagangan.
Palagan Ki Hadjar Dewantara belum selesai
Bagi Favian, palagan Ki Hadjar Dewantara dalam membangun sistem pendidikan inklusif masih belum tuntas. Pasalnya, hingga saat ini, ruang kelas masih kerap membungkam ide-ide anak-anak.
Kampus pun lebih sibuk membuat program kerja daripada kerja untuk program. Kementerian juga masih seenaknya mengubah kurikulum seperti menukar skin Mobile Legends.
Tapi Favian percaya, selama masih ada orang-orang yang percaya bahwa mendidik adalah mencintai, bahwa belajar adalah merdeka, dan bahwa guru bukan robot pengisi soal pilihan ganda, maka palagan itu akan terus hidup, bukan sebagai nostalgia, tapi sebagai gerakan.
“Karena Ki Hadjar Dewantara sudah membuka jalan, sekarang giliran kita menapakinya, meski tertatih, meski tertatih di Wi-Fi gratisan warung kopi,” tandas Favian.***(ADV)
BACA JUGA: Perjalanan Keliling Asia untuk Belajar Bahasa Isyarat demi Ajari Ngaji Anak-anak Tuli di Sleman atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan












