MOJOK.CO – Pemerintah DIY menolak disebut sebagai provinsi termiskin di Jawa. Justru DIY mengalami penurunan kemiskinan jika dilihat dari sisi angka kebahagiaan, usia harapan hidup, dan angka harapan rata-rata sekolah.
Badan Pusat Statistik (BPS) baru saja merilis angka kemiskinan di DIY tertinggi di Pulau Jawa. Dalam data BPS, jumlah warga miskin di provinsi ini mencapai 463.630 jiwa atau 11,494 persen.
Angka tersebut didapat dari hitungan quarter per quarter atau tiga bulan. Pada Maret 2022, angka penduduk miskin di DIY sebesar 11,34 persen atau sebanyak 454,76 ribu orang. Angka ini naik menjadi 11,49 persen atau terdapat sebanyak 463,63 ribu orang pada tahun ini.
Pemda DIY pun memberikan tanggapan terkait rilis tersebut. Menolak disebut provinsi termiskin di Jawa, Kepala Badan Perencana Pembangunan Daerah (Bappeda) DIY, Beny Suharsono menyatakan indikator kenaikan kemiskinan tidak bisa dibaca dari hitungan quarter per quarter.
“Mohon jangan dibaca sesempit itu. Karena proses perjalanan pertumbuhan ekonomi dan kemiskinan memang bicara quarter to quarter atau akumulasi ke akumulasi. Kemarin dirilis [BPS] adalah dari tiga bulan terakhir naik,” papar Beny di Kompleks Kepatihan Yogyakarta, Jumat (20/01/2023).
Alih-alih naik, Beny mengklaim, jika dihitung year to year atau periode per tahun, maka angka kemiskinan di DIY justru mengalami penurunan. Penurunan terjadi bila dibaca dari Indeks Pembangunan Manusia (IPM) di DIY.
BPS nggak hitung angka kebahagiaan dan angka harapan hidup
Berdasarkan variabel IPM seperti usia harapan hidup, angka kebahagiaan, angka harapan rata-rata lama sekolah, dan indeks kesejahteraan pun harus dihitung, ketiga hal itu justru mengalami peningkatan di DIY.
Dicontohkannya, usia harapan hidup DIY tertinggi di Indonesia. Bahkan Kulon Progo menjadi kabupaten dengan usia harapan hidup paling tinggi di Indonesia.
Sedangkan angka harapan sekolah di DIY juga mencapai 15,1 tahun. Hal ini mengindikasikan tingkat pendidikan penduduk DIY rata-rata minimal mencapai Diploma 3 (D3) atau tertinggi kedua setelah DKI Jakarta.
“Di Kulon Progo itu usia harapan hidupnya yaitu 75 tahun dengan angka kemiskinan 18 persen,” jelasnya.
Namun, diakui Beny, rekomendasi pembangunan dua kabupaten di DIY untuk mengatasi kemiskinan ekstrim memang perlu dilakukan. Karenanya Pemda DIY fokus dalam pembangunan selatan seperti Gunung Kidul dan Kulon Progo.
Pemda menyiapkan program penanganan kemiskinan esktrim di dua kabupaten tersebut. Di antaranya akan diluncurkan perlindungan dan jaminan sosial atas selisih angka kemiskinan tersebut. Bupati diminta memvalidasi angka kemiskinan di masing-masing daerah.
“Nantinya akan diusulkan ke gubernur kemudian diteruskan ke pusat untuk ada langkah penanganan berkaitan dengan kemiskinan tersebut,” paparnya.
Pembangunan Jaringan Jalan Lintas Selatan (JJLS) atau Jalur Pantai Selatan Jawa (Pansela) akan digenjot. Pembangunan infrastruktur di kawasan selatan diharapkan dapat menumbuhkan spot-spot pariwisata di kawasan selatan DIY.
“Sektor pariwisata dan perikanan jadi andalan di selatan karena kita punya 12 mil garis pantai,” jelasnya.
Warga jogja suka menabung
Secara terpisah Direktur Bank Indonesia (BI) Kantor Perwakilan Yogyakarta Budiharto Setyawan dalam keterangannya menyatakan angka kemiskinan di DIY memang masih tinggi meski warganya memiliki pekerjaan. Tingginya angka kemiskinan di DIY tidak terlepas dari pola konsumsi masyarakat DIY yang cenderung unik dan relatif berbeda dibandingkan daerah lain.
“Hal ini disebabkan oleh dua hal meliputi pola konsumsi masyarakat DIY yang cenderung sederhana dan metode pengukuran statistik belum sepenuhnya bisa menggambarkan purchasing power parity [paritas daya beli] masyarakat DIY yang sebenarnya,” paparnya.
Mayoritas masyarakat DIY memiliki budaya yang kuat dalam menabung dibandingkan dengan konsumsi. Hal ini dapat dilihat dari tingkat simpanan masyarakat di bank yang selalu lebih tinggi dibandingkan tingkat kredit.
Secara rata-rata rasio kredit dibandingkan dengan simpanan [Loan to Deposit Ratio/LDR] rumah tangga di DIY dalam 10 tahun terakhir berkisar 66,78 persen. Hal ini berarti masih rendah apabila dibandingkan dengan rasio ideal 80-90 persen.
Hal itu terus menjadi problem secara statistik karena penduduk dikategorikan miskin apabila rata-rata pengeluaran per kapita per bulan di bawah garis kemiskinan. Sebab semakin rendah pengeluaran penduduk maka akan semakin dekat dengan kemiskinan.
“Sementara itu, kesenjangan pendapatan yang didekati dengan pengeluaran penduduk lokal dengan penduduk pendatang sangat tinggi. Kesenjangan pengeluaran ini didominasi oleh produk tersier,” tandasnya.
Budi menambahkan, mayoritas penduduk pendatang melakukan pengeluaran yang signifikan lebih besar utamanya untuk produk makanan jadi dan sewa rumah. Selain itu pada produk gaya hidup seperti perawatan kecantikan dan kesehatan.
“Kesenjangan pengeluaran ini menjadi salah satu faktor yang menyebabkan ketimpangan di DIY menjadi tinggi,” imbuhnya.
Reporter: Yvesta Ayu
Editor: Agung Purwandono
BACA JUGA: Jadi Provinsi Termiskin di Jawa, Pemda DIY Didesak Fokus Tangani Dua Kabupaten . Dapatkan informasi terbaru Mojok.co di Google News.