MOJOK.CO – Bangunan yang dulu pusat perbelanjaan dan hiburan, kini berubah menjadi gedung mangkrak nan suwung. Pasaraya Sri Ratu, riwayatmu kini…
Di balik kaca gedung berjajar ragam walpaper bergambar robot, alat olahraga, busana, dan lain sebagainya. Mata bocah mana yang tidak tertarik melirik dan ingin masuk ke bangunan bernama Pasaraya Sri Ratu. Dan di momen lebaran lah keinginan itu bisa terlaksana.
Saya menghabiskan 8 tahun masa kecil di Jakarta. Pulang kampung di Pekalongan hanya di momen Lebaran. Di sana, saya bertemu kakak saya dan mendapat cerita tentang sebuah mal di jantung kota. Mal yang dulu jadi pusat belanja warga Pekalongan, kini hanya jadi gedung suwung karena bangkrut tergerus zaman.
Sejarah Pasaraya Sri Ratu
Pasaraya Sri Ratu adalah pusat perbelanjaan milik sepasang suami-istri, Tresno Santoso dan Tutik Santoso. Pertama kali beroperasi pada 28 Juli 1978 di Jalan Pemuda No. 29-33, Semarang. Pasangan tersebut sebelumnya bekerja selama bertahun-tahun sebagai sales yang berkeliling ke Pulau Jawa dan Bali.
“Keyakinan kami didasari teman-teman dan saya sendiri yang sering belanja ke Jakarta bahkan ke Hong Kong untuk kebutuhan fesyen,” kata President Director Sri Ratu Group, Tresno Santoso dikutip dari SWA.co.id.
Keyakinan itu yang mendasari keduanya untuk mendirikan sebuah toko modern yang menyediakan kebutuhan orang dari ujung rambut hingga kaki. Bisnisnya sukses. Tiap dua tahun ia buka cabang di berbagai kota salah satunya Pekalongan.
Sri Ratu pertama di Kota Batik didirikan pada 1990 di Jl Jendral Sudirman No 447. Menyusul cabangnya Sri Ratu Mega Centre di Jl. Urip Sumoharjo, Medono pada 2003.
Kenangan warga Pekalongan
Sewaktu kecil, saya sering ke sana dengan kakak. Entah untuk membeli sesuatu atau sekadar melihat-lihat baju dan mainan. Biasanya saya ke sana dengan menggunakan sepeda sebab jarak dari rumah agak jauh, sekitar 2-3 km.
Bagi warga kota lain, yang lahir dan tumbuh di Pekalongan, tentu kenangannya lebih mendalam lagi. Sebab boleh dibilang Sri Ratu merupakan mal modern pertama di kota ini. Warga kota berbondong-bondong ke sini untuk membeli segala kebutuhan sandang, papan, pangan, hingga mencari hiburan.
“Nek bodho becakan rame2 demi tuku opo mbuh penting ngentekke duit angpao (Kalau lebaran naik becak rame-rame demi beli apa nggak tahu yang penting habisin duit angpao),” tulis @nur.ismaa di kolom komentar postingan tersebut.
“Kilingan Cilikane seneng rene mbek bapak ibu, ibuk wedi numpak eskalator (Inget pas kecil sering ke sini sama bapak ibu, ibu takut naik eskalator),” tulis @_anhni.
Bukan hanya sekadar pusat perbelanjaan
Di masa kejayaannya, mal ini tak hanya jadi pusat perbelanjaan, melainkan juga pusat hiburan. Di tahun 1990-an, ada bioskop yang letaknya bersebelahan dengan mal ini: Atrium. Bioskop tersebut menyediakan 4 studio pertunjukan. Ini menjadi daya tarik sendiri sebab pada saat itu sedikit sekali hiburan modern yang disediakan kota.
Sayang, semua kini hanya tinggal kenangan. Pada tahun 2000-an akhir mal ini mulai kalah bersaing dengan mal-mal lain yang berdiri di Pekalongan antara lain Mal Matahari dan Mal Borobudur. Hingga akhirnya secara resmi berhenti beroperasi pada 20 November 2013.
Pada 2020, sempat muncul wacana bangunan ini akan dijadikan pusat pelayanan dan perdagangan oleh Wali Kota Achmad Afzan Arslan Djunaid. Ada juga wacana dimanfaatkan untuk Transit Oriented Development (TOP) atau tempat transit transportasi kota untuk para wisatawan yang hendak berkunjung ke berbagai tempat wisata di Pekalongan. Namun, hingga artikel ini terbit belum ada kejelasan lebih lanjut.
Penulis: Iradat Ungkai
Editor: Agung Purwandono
BACA JUGA Arion Mall Rawamangun: Mal Mungil Tempat Sejuta Kenangan Indah Merekah dan Terbawa Hingga Jogja