MOJOK.CO – Pada 27 Mei 2006, gempa besar melanda Jogja dan Jawa Tengah dengan lebih dari 5.000 jiwa menjadi korban. Tujuh belas tahun kemudian, para fotografer memamerkan karya-karya fotonya, sebagai pesan kewaspadaan terhadap bencana yang bisa terjadi sewaktu-waktu.
Pameran foto jurnalistik bertema “Kilas Pitulas” berlangsung di Warung Mie Ayam dan Bakso Dhongso, Jongkang, Sariharjo, Ngaglik, Sleman, Yogyakarta. Acara yang diselenggarakan Pewarta Foto Indonesia Jogja ini berlangsung mulai Jumat 26 Mei 2023 hingga Jumat 2 Juni 2023.
Kegiatan ini untuk memperingati 17 Tahun gempa bumi berkekuatan 5,9 skala Richter yang mengguncang Yogyakarta dan Jawa Tengah pada 26 Mei 2006. Pameran foto menampilkan 59 foto jurnalistik karya dari pewarta foto lintas generasi dan media.
Hadir dalam pembukaan pameran antara lain Kepala Pelaksana BPBD DIY, Biwara Yuswantara, juga dari Basarnas dan para fotografer dari Yogyakarta dan Jawa Tengah.
Pameran foto gempa bumi untuk selalu waspada
Ketua panitia Devi Rahman dalam pembukaan pameran mengatakan, gempa Jogja 2006 merupakan sebuah peristiwa besar yang memakan korban yang juga besar. “Peristiwa itu tentu menjadi tugas kami sebagai pewarta foto untuk memberitakan dalam bentuk visual, agar menjadi pembelajaran bagi kita semua tentang bencana yang terjadi di Yogyakarta dan Jawa Tengah,” ujarnya.
Pameran ini dibagi menjadi tiga bagian, pertama peristiwa, kedua recovery, dan ketiga pemulihan. Semua bagian itu disatukan dan dirangkai menjadi sebuah cerita.
Sedangkan Kepala Pelaksana BPBD DIY, Biwara Yuswantara, kepada Mojok mengatakan, pameran ini untuk mengingat agar masyarakat lebih waspada. Jika masyarakat mengingat saja, maka hanya mengharu biru. Karena begitu banyaknya korban saat terjadi gempa 17 tahun yang lalu.
“Dalam catatan kami, sudah terjadi beberapa kali terjadi gempa di Jogja. Makanya dalam pameran ini, mengingat itu untuk waspada. Waspada dan harus kita pelajari,” katanya.
Lebih lanjut Biwara mengatakan, kewaspadaan itu penting karena menjadi bahan untuk mengantisipasi. Karena kesiapsiagaan itu salah satunya mengantisipasi. “Kita berharap itu tidak terjadi. Tapi nyatanya pernah terjadi karena gempa itu sifatnya berulang. Bisa 10 tahun, 20 tahun, 100 tahun,” imbuhnya.
Sehingga kemudian melalui pameran ini siapa pun dapat mengingat dan belajar untuk semakin waspada juga terus melakukan mitigasi dan terus memberi pemahaman pada masyarakat tentang berbagai hal yang harus kita siapkan. Rentang waktu tujuh belas tahun itu bisa membuat kita lupa terhadap berbagai hal yang kita siapkan. Namun, juga masa 17 tahun itu bisa digunakan untuk mempersiapkan berbagai hal untuk menghadapi bencana gempa.
Hal senada juga dikatakan oleh Ketua PFI Jogja Oka Hamied, bahwa pameran ini merupakan refleksi sekaligus mengenang peristiwa yang pernah terjadi dan menimpa masyarakat DIY dan Jawa Tengah 17 tahun silam.
Refleksi sekaligus pentingya mitigasi bencana
“Kilas Pitulas atau Kilas Tujuh Belas, kami jadikan sebagai tema besar dalam menghadirkan kembali kilasan peristiwa gempa 17 tahun lalu yang menelan korban jiwa lebih dari 5.700 orang. Banyaknya karya yang berjumlah 59 foto kami selaraskan dengan kekuatan gempa yang berkekuatan 5,9 skala richter,” ujar Oka Hamied.
Lebih lanjut Oka Hamied menjelaskan, tujuan dari pameran ini adalah agar pemerintah dan masyarakat dapat lebih peduli akan mitigasi kebencanaan. Karena gempa yang yang berpusat di Kabupaten Bantul 17 tahun yang lalu merupakan pelajaran penting bagi seluruh masyarakat. Dengan adanya mitigasi kebencanaan yang baik dan benar maka bisa mengantisipasi kerusakan dan korban bencana yang mungkin terjadi.
Sejumlah catatan sejarah menunjukkan bahwa gempa bumi sudah berulangkali terjadi di Yogyakarta. Setidaknya gempa bumi besar yang bersifat destruktif atau merusak. pernah melanda Jogja sebanyak 12 kali. Sebelum tahun 2006, bencana gempa juga terjadi pada tahun 1840 dan 1859 yang diikuti tsunami, lalu tahun 1867, 1875, 1937, 1943, 1957, 1981, 1992, 2001, 2004.
Gempa bumi yang terjadi pada hari Sabtu, 27 Mei 2006 silam menjadi bencana paling mematikan dalam sejarah modern di Yogyakarta dan Jawa Tengah. Ingatan pendek masyarakat menyebabkan banyak bencana yang pernah terjadi menjadi terlupa. Sehingga saat kembali berulang, kerusakan dan korban jiwa kembali berjatuhan.
Oka berharap, di masa depan gempa tak boleh lagi menjadi bencana mematikan. Oleh karena itu, masyarakat perlu meningkatkan kembali pengetahuan tentang gempa atau mitigasi kebencanaan. Terlebih di DIY menjadi daerah yang sangat rawan akan bencana.
“PFI Jogjakarta melalui pameran foto jurnalistik “Kilas Pitulas” berharap bisa mengajak masyarakat untuk menjaga kesadaran tentang risiko bencana gempa. Serta merawat memori kolektif akan bencana gempa, dan juga melihat ketangguhan masyarakat saat menghadapi bencana gempa,” harapnya.
Reporter: Eko Susanto
Editor: Agung Purwandono
BACA JUGA Jogja Berhati Banjir: Ketika Pemerintah Mengadu Warga dengan Bencana
Cek berita dan artikel lainnya di Google News