Menelusuri sumur di Bulaksumur
Belanda tidak ingin kebun tebu yang luas kekurangan air. Oleh karena itu, mereka membuat sebuah sumur besar. Sumur itu berdiameter 7,5 meter dengan kedalaman 11 meter. Pompa berkekuatan setara mesin mobil terpasang untuk menaikkan air ke permukaan.
Pengerjaan sumur jumbo berada di bawah tanggung jawab Kartoredjo bersama tiga temannya. Kartoredjo adalah sesepuh daerah setempat yang pernah menjadi penjaga sumur tersebut. Setelah pengerjaan selesai, mantri klongsir atau seseorang yang bertanggung jawab di bidang agraria mengumpulkan lurah dan penduduknya setempat untuk melakukan peresmian.
Penduduk yang datang pada waktu itu adalah mereka yang tinggal di kampung Ngaglik dan Tegalrejo. Pada momentum peresmian itulah tercetus nama Bulaksumur atas saran seorang lurah bernama Hardjo Sentono.
“Ndoro, niki saene dinamaken mBulaksumur!” kata dia ketika mantri klongsir menanyakan persetujuan tentang nama. Saran itu mendapat persetujuan yang datang. Penamaan itu masih bertahan hingga saat ini.
Sayangnya, jejak sumur jumbo itu tidak berbekas sekarang. Pada 1951 pembangunan fisik UGM dimulai. Universitas yang sebelumnya menempati lingkungan Kraton Yogyakarta kemudian berpindah ke kawasan Bulaksumur. Pada 1960-an, sudah terbangun berbagai fasilitas mulai dari rumah sakit, pemancar radio, serta sarana lain yang mendukung proses pembelajaran bagi mahasiswa juga untuk melayani kepentingan masyarakat.
Saat ini ada berbagai versi yang menjelaskan letak sumber air itu. Ada yang menyebutkan sumur terletak di sisi timur Boulevard UGM yang kini sudah berdiri banyak bangunan. Sumber lain menyebutkan, sumur itu berada di sekitar kampus kehutanan UGM.
Penulis: Kenia Intan
Editor: Purnawan Setyo Adi