Jogja terbuat dari rindu, pulang, dan angkringan. Begitu kata penyair nyentrik Joko Pinurbo alias Jokpin itu. Apa yang dikatakan oleh Jokpin tentu saja tidak lahir dari ruang hampa. Jogja, tak bisa tidak, memang punya sejarah panjang dengan khazanah perbadogan bernama angkringan itu.
Jogja bukan hanya istimewa, namun juga sederhana (tak terkecuali UMR-nya). Walau mungkin sudah tak lagi relevan, namun masih banyak amplifikasi yang terus didengungkan tentang betapa murahnya biaya hidup di Jogja.
Satu dari sekian hal yang membuat amplifikasi tersebut begitu masif tentu saja adalah keberadaan angkringan.
Di angkringan, seseorang bisa mengganjal perutnya meski dengan uang yang sangat sedikit. Hal tersebut karena hanya angkringanlah yang menjual nasi dalam kemasan “sachet”.
Di masa ketika satu porsi pecel lele berada di angka lima ribu rupiah, angkringan bahkan menjual satu bungkus kecil nasi (a.k.a nasi kucing) dengan harga seribu rupiah saja dan gorengan seharga lima ratus rupiah. Itu artinya, seseorang bahkan sudah bisa makan hanya dengan uang seribu lima ratus rupiah. Yah, urusan kenyang dan tidak, itu lain soal.
Di masa sekarang, tentu harganya sudah beda. kendati demikian, citra murah pada angkringan masih tetap bisa terbaca. Sekarang, satu bungkus nasi kucing umumnya harganya dua ribu rupiah, sedangkan gorengannya dua ribu dapat tiga.
Dengan harga segitu, orang sudah bisa punya kepantasan untuk makan dan nongkrong hanya dengan uang tujuh ribu rupiah saja. Rinciannya: 3 gorengan, 2 nasi kucing, 1 teh anget.
Di angkringan, tentu bukan makanan belaka yang bisa didapatkan. Sesuai dengan namanya, ia juga menjadi menjadi ajang untuk “nangkring” sambil ngobrol banyak hal.
Angkringan, mampu menjadi tempat yang pas untuk berbagai atau mencari gosip dan rasan-rasan tentang apa saja. Ya tentang bola, tentang politik, tentang kamtibmas, dan segala perkara lainnya.
Selain bisa ngobrol sama pengunjung lainnya, juga bisa ngobrol sama penjaja angkringannya. Si penjaja sudah barang tentu adalah juragan isu, sebab ia pasti sudah mendengar banyak hal dari para pelanggannya.
Maka, tak mengherankan jika seseorang bisa betah berlama-lama nongkrong di angkringan.
Tapi ya kalau bisa tahu diri. Kalau jajan cuma habis tujuh ribu, ya nongkrongnya jangan lama-lama, gantian sama yang lain.
BACA JUGA Angkringan atau Hik Terbuat dari Kehangatan, Kedekatan, dan Kepercayaan antara Penjaja dan Pelanggan dan artikel LUPUS lainnya