MOJOK.CO – Wacana dikembalikannya proses pemilu ke sistem proporsional tertutup alias coblos partai sedang ramai dibicarakan. Gagasan ini banyak dikritik. Salah satunya karena ia dianggap bakal merugikan politisi perempuan.
Seperti diketahui, wacana kembalinya pemilu ke sistem proporsional tertutup mengemuka seiring dengan gugatan uji materi UU Pemilu yang saat ini berproses di Mahkamah Konstitusi (MK). Upaya mengembalikan pemilu pada sistem proporsional tertutup telah digaungkan sejumlah pihak sepanjang tahun ini, terutama—yang paling ngotot—PDIP.
Selain dianggap sebagai penggagas, parpol berlogo banteng ini juga disebut-sebut menjadi satu-satunya partai yang pro akan wacana ini. Semua fraksi, kecuali PDIP, menolaknya.
Penolakan ini bukan tanpa alasan. Terakhir kali Indonesia memakai sistem itu adalah tahun 1999, sekaligus mengakhiri rezim otoriter Orba. Maka, jika sistem ini kembali diterapkan, ditakutkan akan membuat proses demokratisasi berjalan mundur.
Selain itu, sejumlah pihak juga menilai, wacana proporsional tertutup hanya bakal merugikan calon legislatif (caleg) perempuan. Jelas, ini menjadi preseden buruk sekaligus kontraproduktif atas representasi 30 persen perempuan di parlemen, yang selama ini terus diupayakan.
Tidak relevan dan rugikan perempuan
Ketua Umum Perempuan Amanat Nasional (PUAN) Intan Fauzi, menilai bahwa penerapan sistem proporsional tertutup justru akan merugikan kaum perempuan. Berkaca dari pemilu-pemilu sebelumnya, metode coblos partai hanya bakal bikin perempuan sulit dipilih.
“Berkaca pada pemilu sistem proporsional tertutup (sepanjang Orba), caleg perempuan seringkali ditempatkan di nomor urut buntut, setelah petahana legislator, pengurus harian partai, dan kalangan elite partai,” ujar Intan, dalam keterangannya, Selasa (3/1/2023), dikutip Kumparan.
Dengan demikian, kata Intan, kondisi tersebut hanya bakal membuat perempuan sulit terpilih, apalagi jika dia bukan termasuk elite-elite partai.
Lebih lanjut, anggota DPR RI Komisi VI dari Fraksi PAN ini juga menegaskan, sistem pemilu yang digunakan sekarang alias sistem proporsional terbuka masih lebih relevan diterapkan pada Pemilu 2024 mendatang.
“Sistem proporsional terbuka yang diatur dalam UU Pemilu 7/2017 masih relevan untuk diterapkan pada Pemilu 2024. Sistem proporsional terbuka memenuhi prinsip demokrasi yang amat mendasar yakni pengakuan kedaulatan rakyat maupun prinsip equality before the law (persamaan di hadapan hukum),” kata Intan.
Ia menerangkan, dalam sistem proporsional terbuka, semua kader memiliki kesempatan yang sama untuk terpilih. Dengan demikian, menurut Intan, hal itu sangat tepat bagi caleg perempuan untuk ikut berkompetisi mendapatkan simpati di masyarakat.
“Semua para caleg satu partai juga berkompetisi. Jadi, para caleg benar-benar berjuang meyakinkan masyarakat menjadi calon wakil rakyat yang potensial dari setiap partai,” sambungnya.
Apa yang disampaikan Intan selaras dengan kajian yang pernah dibuat oleh Koalisi Perempuan Indonesia. Melansir laman koalisiperempuan.or.id, sistem proporsional tertutup hanya akan menjadi ancaman bagi perempuan, mengingat budaya patriarki masih menjangkiti parpol-parpol di Indonesia.
Parpol-parpol, cenderung mengutamakan politisi laki-laki dalam menentukan kebijakan, termasuk memilih “siapa yang bakal mewakili partai”. Dengan demikian, sifat maskulin elite-elite parpol ini bakal bikin perempuan kehilangan kesempatan untuk bersaing ke parlemen.
“Sistem proporsional tertutup hanya akan merepresentasikan kelompok tertentu dalam partai,” tulis laporan tersebut.
“Jika sistem ini disahkan, potensi keberagaman berdasarkan gender atau keragamanan masyarakat dalam parlemen akan semakin berkurang. Pilihan-pilihan masyarakat akan semakin terbatas,” sambungnya.
Penulis: Ahmad Effendi
Editor: Purnawan Setyo Adi