MOJOK.CO – Lomba mural Gejayan Memanggil: Ketika mural-mural dihapus, ketika itu peluang menang semakin besar.
Dalam beberapa bulan terakhir ini, bermunculan mural-mural yang berisi protes dan kekecewaan terhadap pemerintah utamanya terkait kondisi ekonomi dan penanganan pandemi yang dinilai tidak pro-masyarakat kelas bawah. Aturan PSBB sampai PPKM yang tidak disertai dengan jaminan kebutuhan pangan bagi warga terdampak turut menjadi salah satu pemicu.
Dalam beberapa bulan pula, banyak mural-mural yang kemudian dihapus karena dianggap meresahkan, beberapa pelaku pembuat mural bahkan diburu oleh aparat seperti yang terjadi pada mural “404: Not Found” dengan background wajah mirip Jokowi di salah satu tembok di Batu Ceper, Tangerang. Mural tersebut kemudian dihapus dengan cat hitam. Aparat memburu pembuat mural tersebut karena dianggap menghina lambang negara.
Beberapa mural lain pun bernasib sama. Di antaranya adalah mural “Tuhan Aku Lapar” di Tigaraksa, Tangerang, lalu mural “Thx Jokowi, I’m Dead” di Terowongan Pelita, Batam, hingga mural “Dipaksa Sehat di Negara yang Sakit” di Bangil, Pasuruan.
Keprihatinan terhadap pembatasan berekspresi melalui mural tersebut membuat kolektif Gejayan Memanggil justru berinisiatif membuat lomba mural.
Pengumuman lomba mural bertajuk “#LombaDibungkam” tersebut diumumkan langsung di akun Instagram @gejayanmemanggil. Lomba tersebut berlangsung dari tanggal 23-31 Agustus 2021.
Sejak pengumuman lomba mural tersebut diumumkan, sudah ada banyak karya yang masuk. Mural-mural perlawanan dengan gambar dan kalimat yang kreatif dari berbagai komunitas dan kolektif mural pun lahir dari lomba ini.
Kolektif Tembok Perlawanan, misalnya, membuat mural keren dengan tulisan yang menohok, “Jangan takut, tuan-tuan, ini cuma stret art”. Sementara kolektif Kawan Tembok membuat moral menggunakan modifikasi lirik lagu Iwan Fals “Urus saja moralmu, jangan urus muralku!”
“Corat-coretan di tembok adalah cara-cara ketika kebebasan bersuara terbatas dan sekarang coretan itu pun dibatasi,” terang Humas Gejayan Memanggil yang minta namanya disamarkan sebagai Mimin Muralis kepada Detik. “Di Indonesia sebaliknya, mural dianggap kriminal. Sementara baliho sampah visual dianggap representasi suara rakyat, padahal itu suara oligarki.”
Pada awalnya tidak ada hadiah besar yang dalam lomba ini, hanya sebatas exposure untuk para pemenang. Namun seiring berjalannya waktu, banyak pihak yang menyumbangkan hadiah untuk lomba ini, dari buku, kaos, totebag, dan merchandise-merchandise lainnya.
Yang paling unik dari lomba ini adalah, bukan hanya kualitas mural, pesan yang disampaikan, serta faktor tempat strategis mural dibuat yang dipakai menjadi pertimbangan juri untuk menentukan pemenang, namun juga penghapusannya oleh aparat.
Mimin Muralis menjelaskan bahwa mural peserta lomba yang semakin cepat dihapus oleh aparat, maka akan mendapatkan nilai lebih.
“Penghapusan mural oleh aparat menjadi nilai lebih bagi penilaian juri untuk setiap karya yang akan ditetapkan sebagai pemenang. Nah dengan adanya penghapusan mural tersebut bagi kami itu nilai penting karena mungkin muatannya sangat bermakna untuk rakyat hingga perlu disensor oleh negara.”
Konsep penjurian berdasarkan semakin cepat dihapus oleh aparat ini tentu saja menjadi hal yang sangat unik dalam sebuah lomba mural.
Maka, tak berlebihan jika menyebut lomba mural ini adalah lomba yang “melibatkan” aparat sebagai jurinya, sebab semakin cepat mereka menghapus mural dari peserta, semakin besar kans mural tersebut untuk menjadi juara.
Yah, semoga lomba ini berjalan dengan meriah dan ikut berperan besar dalam khazanah per-mural-an Indonesia yang memang sedang tidak baik-baik saja itu.
Sedangkan buat para aparat, selamat bertugas menjadi juri. Silakan hapus mural sesuka kalian, peserta bakal manut, sebab dalam lomba, keputusan juri kan memang tidak bisa diganggu gugat.
BACA JUGA Mural Jokowi: Kayak Gini Aja Negara Baru Campur Tangan dan artikel KILAS lainnya.